Ia memejamkan mata. Ia tahu tak bisa menghindar lagi. Tubuhnya remuk tak bertenaga dan tak mampu bergerak untuk menghindari pisau-pisau Anila yang siap menghujam tubuhnya.
Gadis itu sudah pasrah. Telinganya sakit mendengar teriakan Ranggadewa yang disiksa Maruta sementara ia tak mampu berbuat apapun. Baik dirinya maupun Ranggadewa sedang menghadapi mautnya masing-masing.
Dan akhirnya suara pisau-pisau yang menancap kuat terdengar. Namun ia tak merasakan apapun. Bahkan rasa sakit pun tidak. Benar-benar ia tak merasakannya pada tubuhnya.
Pelan ia pun membuka mata ingin mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya. Seakan tak percaya, begitu ia membuka mata yang dilihatnya kain putih terbentang tepat di depan wajahnya. Dan pisau-pisau itu menancap di sana. Ujungnya yang tajam sedikit menembus kain itu. Prasasti beringsut mundur.
Kain itu melayang jatuh ke tanah. Agak jauh di depannya, Anila melotot marah ke arahnya. Bukan padanya, melainkan seseorang yang berdiri tak jauh darinya.
Prasasti mendongak ke samping. Seorang perempuan berbaju biru, mengenakan cadar menjulang anggun di sana.
"Dewi."
Lagi-lagi gurunya datang tepat waktu. Menyelamatkan nyawanya. Sang Dewi mengulurkan tangan padanya, membantunya berdiri.
"Oh, ada yang mau ikut campur rupanya." Alis Anila menaik. Jelas dongkol setengah mati karena gagal menghabisi Prasasti.
Dengan napas memburu dan amarah yang menyeruak di dada Anila segera menyerang sang Dewi. Dan perempuan itu meladeninya dengan tenang. Semua jurus Anila dapat dipatahkannya dan dalam satu gerakan saja Anila dibuatnya tersungkur. Gadis itu meringis, matanya menyala-nyala penuh api.
"Aaarrrgghh...."
Teriakan itu membuat Sang Dewi dan Prasasti terkejut. Mereka menoleh ke sumber suara. Hati Prasasti mendadak sakit sekaligus terbakar.
Tanpa ampun Maruta menjadikan tubuh Ranggadewa bulan-bulanannya. Kondisi pangeran itu terlihat mengenaskan. Ia bahkan tak mampu bangkit melawan. Wajahnya kembali mencium tanah ketika Maruta melayangkan tinjunya.
Mulutnya berdarah. Tubuhnya pun berdarah terkena sabetan pedang. Maruta menginjak punggungnya sambil menyeringai licik. Tangannya terkepal dan memunculkan sinar merah api. Siap menghantamkannya ke kepala Ranggadewa.
Lelaki itu berteriak kencang melepaskan pukulan penuh tenaga. Tanah di samping kepala Ranggadewa berlubang hitam mengeluarkan asap. Ranggadewa membeku tak bergerak dan Maruta terpental jauh ke belakang.
Dengan segera Maruta bangkit. Amarah memenuhi dadanya.
"Siapa kau berani ikut campur? Mau sok pahlawan, hah?" Matanya menyala ke arah Sang Dewi yang sudah berdiri tak jauh dari Ranggadewa. Ia yang telah menyelamatkan pangeran itu dengan membelokkan serangan Maruta hingga sasarannya hanya menghantam tanah.
"Aku tak suka pengecut yang menganiaya orang yang sudah tak mampu melawan," ucap Sang Dewi tenang.
"Kau mampu melawanku?" Maruta menantangnya. Walaupun ia tak tahu tingkat kanuragan perempuan bercadar itu, ia merasa orang itu mudah saja diselesaikan.
Namun Maruta salah duga. Sang Dewi bahkan mampu meladeninya dengan begitu tenang seolah tak perlu mengeluarkan tenaga. Semua jurus Maruta berhasil dipatahkannya membuat pemuda itu penasaran sekaligus marah.
Ia menyerang sang Dewi dengan jurus pamungkasnya. Ia merasa perempuan itu harus cepat dihabisi agar tak menjegal langkahnya lagi. Tubuh Maruta bersinar merah. Tangan kanannya terkepal. Lalu dengan segenap tenaga ia melemparkan bola api mengarah tepat ke jantung Sang Dewi.

KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Ficción histórica"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...