Bab LI

1.6K 185 23
                                    

"Panggilkan Uttari kesini."

Jnanaloka berkata dengan dingin. Ia terbangun pagi itu dengan rasa sakit di kepala. Ia kembali ke biliknya sebelum tengah malam dan harus ditopang dua prajurit agar bisa berjalan.

Setelah mandi dan mengganti pakaiannya, barulah Darupalla menghadapnya. Tidak biasanya ia melapor dengan suara rendah dan hampir berbisik seperti itu. Padahal saat itu tak ada orang lain di bilik Jnanaloka.

Pengawal itu menyembah lalu keluar menjalankan perintah. Kemudian Jnanaloka keluar dari biliknya menuju pendopo kediamannya diiringi para pengawalnya.

Uttari datang dengan wajah sedikit kesal. Ia tidak diiringi dayangnya yang biasa. Abdi dalem di keputrennya mengatakan dayang kesayangannya tengah sakit. Terpaksalah ia dilayani dayang lain yang ketakutan karena diomeli sejak pagi buta.

Sesampai di istana, wajah Uttari berubah sumringah. Tidak pantas rasanya menghadap Raja dengan muka mendung dan berkerut. Ia menyembah dengan anggun di hadapan Rajanya sebelum duduk dengan khidmat.

"Ampun Gusti Prabu, ada apakah gerangan Gusti memanggil hamba sepagi ini?" Uttari memiliki suara yang merdu yang menggoda. Tak heran mendiang Jnanashiwa mengambilnya sebagai istri ketiga.

Sang Nata, Jnanaloka menghembuskan napas kesal. "Aku sakit kepala. Bisakah kau mengambilkan aku obat? Kau punya tabib yang sakti kan?"

"Apakah Gusti terlalu banyak minum? Saya harus tahu dulu penyebabnya agar bisa membawa obat yang tepat."

"Ya." Sahut Jnanaloka dengan malas. "Bawakan kemari secepatnya."

Uttari menyembah lagi sebelum keluar. Jnanaloka mengikuti dengan pandangannya hingga perempuan itu menghilang di luar dinding istana. Lalu ia berpaling pada Darupalla.

"Kau sudah menyampaikan pesanku pada Paman Patih dan Jayantaka?"

"Hamba, Gusti Prabu. Pesan sudah diterima. Mereka dalam perjalanan."

Jnanaloka mengangguk. Ia melirik ke arah kanan, ke ruangan yang dibatasi oleh dinding kayu. Matanya yang tajam menyorot kejam. Ia mewarisi itu dari ayahnya. Tidak ada yang tahu apa yang berada di dalam kepalanya saat itu. Ia lebih banyak diam sehingga para pengawalnya berpikir ia benar-benar sakit.

Pendopo itu biasanya digunakan oleh raja untuk pertemuan tidak resmi atau kadang sebuah pertemuan rahasia sang raja dan tangan kanannya saja. Luasnya hanya seperempat balai agung kedaton utama yang biasa digunakan untuk paseban.

Uttari datang kembali tak lama kemudian membawa sebuah bejana kecil dari tanah liat. Senyumnya mengembang saat menyerahkan ramuan itu kepada Jnanaloka.

"Ini adalah rebusan akar singhabaira. Bisa menghangatkan badan dan menghilangkan sakit kepala. Silakan diminum, Gusti."

Jnanaloka menerima cawan dan segera menghirup aroma yang asing.

"Kenapa aromanya seperti ini?" Sang Prabu menghirup dan seketika rasa hangat mengaliri penciumannya.

"Memang seperti itu. Sedikit panas dan tajam. Itulah yang akan menyingkirkan keluhan Gusti."

Jnanaloka menghirupnya sekali lagi sebelum menyesapnya sedikit. Rasanya agak panas di lidah. Lalu sedikit lagi. Rasa hangat menyebar ke pembuluh darahnya. Dan lagi. Rasa itu naik ke kepala. Melawan rasa sakit disana dan perlahan menekannya.

"Aku suka ini."

Uttari tersenyum. "Apakah....Gusti mau dipijit juga? Itu akan meredakan sakit kepala."

"Kau tidak boleh menyentuh kepalaku," sahut Jnanaloka menaikkan suara. Membuat Uttari seketika menyurut.

"Ampun, Gusti. Hamba tidak berani melakukannya."

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang