Jayantaka melompat turun bahkan sebelum kudanya berhenti. Ia terpaku di gapura mandala.
Ia terlambat. Padepokan gurunya telah rata dengan tanah. Yang tersisa hanyalah arang-arang hitam yang basah oleh air hujan. Abunya bahkan sudah menghilang.
Putra Jnanashiwa itu melangkah dengan dada sesak. Ia merasa gagal. Ia murid yang tidak berbakti karena gagal menyelamatkan gurunya. Namun ia juga tak mampu membalaskan dendam itu pada ayahnya sendiri.
"Maafkan saya, Guru." Ia bergumam dalam sesal.
Harusnya ia mempercayai Dhyanindita. Harusnya ia tak membuang waktu menemui Patih Ragawa ataupun mencari prajurit kepercayaannya.
Ia marah pada denawa yang mengganggu perjalanannya ke gunung Kemulan hingga membuang waktunya yang berharga. Ia marah padanya yang telah menghalangi dirinya menyelamatkan sang guru.
Disapunya sekeliling padepokan dengan perasaan kacau. Ia masih hapal setiap sudutnya. Ingat semua saudara-saudara seperguruannya. Kini mereka semua telah jadi abu.
Tunggu. Mungkin masih ada yang tersisa. Masih ada asap kecil yang mengepul di bawah sana. Jayantaka mendatangi sumbernya.
Ia tak percaya pada penglihatannya. Orang itu disana. Menggosokkan kedua telapak tangannya seraya tersenyum puas. Tatkala orang itu berbalik, dia tak kalah terkejutnya dengan sang pangeran.
"Raden?"
Mata Jayantaka berkilat. "Kau yang melakukan semua ini?"
Orang itu sedikit tergagap ketika hendak menjawab namun Jayantaka kembali menyambarnya.
"Paman Patih yang menyuruhmu?"
Dia mengangguk. "Benar, Raden."
"Pratiksa!"
Hampir saja orang itu melompat saking terkejutnya. Itu pertama kalinya ia mendengar Jayantaka membentaknya. Tangan sang pangeran mengepal di sisi tubuhnya.
"Kau tahu Resi Gaharu adalah guruku bukan?"
Pratiksa menghaturkan sembah dengan raut wajah bersalah. "Hamba, Raden."
"Dan kau, berani sekali kau membunuh guruku dan saudara-saudara seperguruanku. Tanpa sisa. Manusia macam apa kau? Hah?"
Sang prajurit hanya mampu tertunduk mendapat kemurkaan sang Pangeran.
"Oh, aku tahu. Kau akan menjawab bahwa kau hanya melaksanakan perintah. Benar bukan?"
Jayantaka mengatupkan gerahamnya menahan ledakan dalam dirinya. Ia sadar bagaimanapun prajurit di depannya hanyalah menerima perintah. Ia tak memungkiri pemuda itu prajurit yang setia.
Ia juga tak lupa Pratiksa yang telah mengorbankan diri untuk menyelamatkan dirinya hingga tubuhnya jadi menghitam seperti sekarang.
Jayantaka jadi serba salah. Bagaimana dia harus bersikap adil dalam hal ini? Ia akan jadi putra yang menghormati ayahnya ataukah murid yang berbakti pada gurunya? Ataukah jadi pangeran yang menjadi panutan bawahannya? Ataukah seorang manusia yang tahu balas budi?
Ia tak bisa memilih semuanya karena akan saling bertentangan.
Berkali-kali menelan ludah. Menghela napas gusar. Sungguh ia kebingungan.
"Maafkan hamba, Raden."
Suara Pratiksa menyadarkannya bahwa ia harus memilih. Mungkin ia tidak bisa berlaku adil sekarang. Ia berharap Dewata mengampuninya.
"Baiklah." Katanya setelah menghela napas berat. "Aku akan bela pati demi guruku. Darah harus dibayar dengan darah."
Jayantaka mengeluarkan pedangnya. Suaranya yang berdesir membuat Pratiksa terperangah. Ia menurunkan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRASASTI
Tarihi Kurgu"Ranggadewa Jnanaloka Ratuning Puranggahu Manggala Jnanawangsa Aben sirna krudating bhuwana Ing kedhaton Purana" Kalimat itu terpahat pada sebuah batu besar di tepi sungai pada tempuran yang mengalir tenang. Namun itu bukan kalimat pemujaan kepa...