Bab LIX

1.5K 184 17
                                    

"Gusti bersungguh-sungguh dengan ini?"

"Kenapa?" Jnanaloka bertanya tanpa mengalihkan pandang pada Darupalla.

"Akan tetapi....., ini sangat mematikan, Gusti Prabu. Dia akan mati se...."

"Diamlah!"

Darupalla mengkerut. Mendadak ia bersimpati pada siapa yang akan meregang nyawa oleh wisa welang yang disiapkan oleh rajanya.

Di lain pihak, Jnanaloka tengah serius mengalirkan wisa dan menyimpannya ke dalam bumbung. Begitu ia selesai, seulas senyum licik tersungging di bibirnya.

"Bawa ini besok ke Soka."

"Sendiko, Gusti." Darupalla mengangguk dan mengambil bumbung dari tangan Sang Natha.

Jnanaloka berangkat ke bukit Soka keesokan harinya. Ia yang tidak biasa dengan pengawalan prajurit, hanya memerintahkan tak lebih dari sepuluh orang untuk mengiringinya.

Sebuah kereta kuda melaju dalam iring-iringan kecil itu. Mereka sempat berhenti sebentar di sebuah desa di luar kedaton sebelum melanjutkan perjalanan selama dua hari menuju bukit Soka.

Bukit itu berada jauh dari kedaton Purana. Perjalanan harus ditempuh ke arah matahari terbit selama dua hari lalu berbelok ke arah ujung lintang waluku selama setengah hari.

Bukit itu tidak terlalu tinggi. Bagian puncaknya landai dan cukup luas. Rencananya Jnanaloka akan membangun kedaton yang baru di wilayah itu. Dan juga sebuah pesanggrahan di atas bukit yang paling dekat dengan laut.

Matahari tepat berada di atas kepala ketika rombongan Prabu Jnanaloka tiba di Soka. Sinarnya yang terik terhalangi oleh pepohonan yang menjulang tinggi di sekitar bukit.

Jnanaloka mengangkat tangan kanannya ke udara, membuka telapaknya dan mengarahkannya ke kereta. Ia memejam sebentar lalu menurunkan tangannya sembari membuka mata.

"Bangunkan dia. Dan bawa ke atas."

"Baik, Gusti Prabu."

Jnanaloka menghela kudanya, memerintahkan tunggangannya itu menaiki bukit. Dengan patuh hewan itu mengikuti perintah tuannya. Ia sama sekali tidak kesulitan dan menyelesaikan tugasnya dengan cepat.

Angin segar dari laut membelai puncak bukit. Tempat itu sungguh sangat sempurna. Memiliki pandangan sekeliling yang bagus dan langit yang terang benderang. Sementara deburan ombak di bawahnya laksana alunan serunai sang Mahadewa.

Ketika Jnanaloka berpaling ke arah jalan setapak, tampak Darupalla tengah menaiki bukit. Ia bersama Prasasti.

"Kau tidak asing dengan tempat ini?" Jnanaloka memancing ingatan Prasasti. Dan ia berhasil. Gadis itu mau tak mau mengedarkan pandangan ke sekeliling. Air mukanya menjawab bahwa ia masih ingat dengan jelas.

Namun gadis keras kepala itu hanya diam saja. Membuat Jnanaloka menahan rasa jengkelnya. Karenanya ia mencoba lagi dengan hal lain. "Kau sudah bertemu Gayatri?"

Rasa kemenangan menjalari kepala Jnanaloka ketika melihat Prasasti mendadak kaku dan berusaha tidak menelan ludah. Sayangnya ia tidak bisa luput dari pengamatan Jnanaloka.

"Apa tujuanmu mengirim dia kepadaku?"

Justru sang rajalah yang dibuat terhenyak. Bagaimana mungkin gadis itu bisa bersikap sedatar papan kayu? Jnanaloka hampir tak percaya pada reaksi Prasasti yang biasa-biasa saja.

"Kau tidak cemburu padanya? Bukankah kau hampir membunuhku saat itu?"

Prasasti bahkan tidak memandangnya. Ini sama sekali bukan dirinya. Entah apa alasan di balik sikapnya itu. Kepatuhan pada raja? Atau justru sebaliknya?

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang