Bab XXIX

2.4K 221 13
                                    

Jnanashiwa menyapu pandang pada segenap punggawanya yang duduk bersimpuh dengan khidmat dan wajah tertunduk dalam menantikan sabdanya.

Di sebelah kanan depan sang Patih Ragawa duduk di dampar yang lebih rendah, berseberangan dengan Jayantaka. Prameswari tidak hadir dalam paseban kali ini.

"Berita yang kudengar baru-baru ini, siapa yang dapat memastikannya?" Jnanashiwa bersuara.

Seorang kepala prajurit langsung menghaturkan sembah. "Hamba, Gusti Prabu."

"Katakan."

"Hamba menyusup ke wilayah Kambangan Petak untuk mencari tahu kenapa mereka tidak hadir dalam pahargyan Raden Jayantaka. Dan hamba melihat sendiri mereka tengah menyiapkan pasukan untuk menyerbu kemari."

Alis Jnanashiwa terangkat. Mengernyit tidak suka. Manik matanya menggelap. "Begitu? Seberapa besar kekuatan mereka?"

"Lebih dari pancasata, Gusti."

Jnanashiwa tersenyum miring. "Jadi rupanya anak ayam itu sudah berani menantang bertarung. Ragawa!" Ia berpaling pada patihnya. "Siapkan pasukan untuk menyambut mereka. Dan kau, Jayantaka, bawa prajuritmu untuk membuat jebakan di perbatasan."

Ragawa dan Jayantaka serentak menyembah. "Hamba, Gusti Prabu."

"Aku lebih suka menghalau mereka sebelum menginjak wilayah Purana!" Jnanashiwa menggeram. Tangannya yang terkepal dihantamkan pada lengan kursi singghasana. "Siapa raja Kambangan Petak sekarang?"

"Kundatta, Gusti." Jawab Ragawa. "Dia menggulingkan raja sebelumnya yang tidak lain adalah kakak kandungnya sendiri. Kabarnya raja Kundarang dan keluarganya dibakar hidup-hidup di dalam istana saat makar terjadi."

Jnanashiwa manggut-manggut seraya mengelus janggut. Tak ada yang tahu apa yang ada di dalam pikirannya. Sementara yang lain hanya terdiam mendengarkan. Mereka tidak bicara jika sang raja tidak mengijinkan.

Tentu saja Jnanashiwa tahu siapa raja Kambangan Petak yang digulingkan itu. Ia satu-satunya yang bisa mengalahkan dirinya belasan tahun yang lalu dalam adu panah di hutan timur. Karena kekalahannya itu, Jnanashiwa bersumpah akan membalas jika kelak ia bertemu lagi dengannya.

Kemudian terdengar berita di Kambangan Petak terjadi perang. Istana terbakar dan raja beserta keluarganya binasa. Setelah pralaya,kerajaan itu bak hilang terbawa angin. Tak ada berita lagi dari sana.

Jnanashiwa tak menyangka yang melakukan makar adalah Kundatta, adik Kundarang. Ia tak mengenal orang itu. Tak pernah ada seorangpun yang menyebut namanya sebelum hari ini. Namun itu tak menjadi persoalan baginya. Siapapun yang berkuasa di Kambangan Petak tak ada bedanya bagi seorang Jnanashiwa.

"Kundatta, kau akan menggantikan kakakmu bukan sebagai raja. Tapi sebagai tumbal balas dendam."

*******

Di sisi kiri kedaton Purana, pagi menggeliat dengan anggun. Bagaskara yang baru muncul dari keremangan merekah sempurna. Menyapu kabut dingin yang semalaman membungkus mimpi para nararya.

Kehangatannya ditingkahi burung-burung yang bercericit riang. Gemercik air ikut mendamaikan pagi dari pancuran di taman sari. Embun belum sirna dari telapak dedaunan dan kelopak bunga. Angin tidak berhembus, terdiam oleh pesona bagaskara.

Aura damai pun terpancar dari dua sosok brahmana yang tengah duduk bersila dalam posisi padmasana di bawah pohon tanjung. Seolah tenggelam ke nirwana mereka begitu tenang dalam samadi. Tubuh mereka bagaikan arca yang berkilau hingga burung pun tak takut hinggap di pangkuan mereka.

Hampir bersamaan keduanya membuka mata. Resi Jnanawidhi yang duduk di sebelah kanan menoleh ke samping. Matanya memicing bertabrakan dengan cahaya surya. Ia tersenyum melihat orang di sebelahnya bermandikan cahaya.

PRASASTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang