Prolog

6.8K 182 2
                                    

Air dari langit turun sejak tadi subuh hingga sang mentari muncul perlahan keatas memaksa sinarnya merangsek menembus awan kelabu yang menyelimuti kota, melenyapkan kegelapan disetiap sudut kota yang sendu.

Suara gemericik air masih terdengar, dentingan genteng mengisahkan suara pilu, udara dingin masih kian menusuk kulit membuat enggan siapapun bergerak dari tempat tidurnya.

Termasuk Lily, gadis yang baru tamat sekolah itu masih enggan membuka matanya yang sembab memerah sesekali ia mengucek matanya yang mulai terasa perih.

Ia tak ingat bagaimana peristiwa semalam yang membuatnya seperti ini.

Air menetes ke permukaan jendela, suara riuh orang orang menandakan semua berbagai aktivitas sudah dimulai, aroma tanah basah sebagai aromaterapi alami menyeruak kehidung Lily mengundang Lily membuka matanya.

Matanya tertuju pada jendela dihadapannya, dilihatnya awan masih berkumpul pekat menjadikan suasana terkesan abu abu sendu, kubangan air memperlihatkan bagaimana keadaan langit yang sekarang.

Lily mendekat ke jendela, perlahan lahan jari jemarinya ditempelkan ke permukaan kaca yang memisahkan kamar tidurnya dengan kebun halaman belakang miliknya.

Dirinya termenung cukup lama berpikir keras mengingat semua kejadian semalam yang membuatnya bisa serapuh ini.

Dia ingin menangis namun sudah tak bisa lagi, air matanya sudah ia tumpahkan semuanya semalam menyisakan bekas bengkak di mata Lily.

Ia benar benar bertengkar hebat dengan ayahya yang sebelumnya seumur hidupnya tak pernah ia lakukan membentak ayahnya, baru kali ini ayahnya cukup keras kepala.

Pandangannya kosong lurus menatap keluar jendela, Lily melihat sepasang burung sedang bertengger diatas pagar rumahnya berteduh di bawah dedaunan yang rimbun, burung itu sangat beruntung bisa memilih pasangan hidupnya sendiri dengan bebas. Beberapa saat kemudian sepasang burung itu terbang keatas menjelajah angkasa mencari tempat berteduh yang lebih aman.

Sama seperti halnya burung itu, Lily juga ingin mengepakkan sayapnya terbang tinggi dengan bebasnya meraih impiannya yang ia bangun sejak kecil.

Ia pernah berkata pada mamanya sewaktu kecil, jika besar nanti ia berjanji akan meraih cita citanya menjadi seorang dokter, alasannya hanya sepele namun dapat menyentuh hati. Lily kecil ingin bisa merawat dan menyembuhkan penyakit mamanya pada waktu itu.

Namun sayang mama Lily tak sempat terselamatkan dari penyakit leukimia yang telah di tahannya selama bertahun tahun.

Lily sudah bertekad dan berjanji jika ia tak bisa menyelamatkan mamanya sendiri setidaknya ia ingin menyelamatkan para mama di luar sana yang berjuang dari sakit yang dideritanya.

Di sela sela lamunannya, Lily di kejutkan suara ketukan pintu ayahnya.

Tok..Tok.. Tok...

Lily menutup telinganya tak mau mendengar apapun dari ayahnya.

Untuk saat ini Lily hanya menginginkan mengunci di kamar menikmati kesendiriannya, atau lebih tepatnya meratapi dirinya. Mengapa ayah melakukan semua ini?.

Ayah yang ia kenal selama ini kemana? Pria paruh baya yang selalu memeluk dirinya saat ia sedang hatinya gundah, saat ia meneteskan air mata. Kali ini benar benar berbeda.

Lily merindukan ayahnya yang dulu yang selalu mengerti perasaan Lily.

Lily benar benar tak menginginkan semua ini, hal ini terlalu cepat, terlalu mendadak.

Dia baru saja tamat sekolah ingin mengepakkan sayapnya selebar lebarnya demi meraih cita citanya, dan seharusnya dia melanjutkan ke perguruan tinggi apalagi dia masih terlalu muda untuk lulus sekolah. 17 tahun. Dan semua impian yg ia bangun selama ini berangan angan ingin menjadi tenaga medis, ingin membantu orang orang saat sedang sakit membutuhkan pertolongannya, kini semua itu runtuh ketika ayahnya mengatakan. " nak kamu harus menikah."

Duaaarrrrr

Bukankah itu kata kata yg mencekik untuk seusia Lily. Lily adalah gadis kecil lebih kecil dari gadis gadis sebayanya, tubuhnya pendek mungil kulitnya eksotis selayaknya gadis tropis namun ia mempunyai lesung pipit yg teramat manis bila ia menyunggingkan bibirnya, retina matanya cokelat senada dengan rambutnya yang panjang se punggung. Itulah keunikan gadis itu.

Dan seharusnya dia menikmati masa remajanya kesana kemari dengan riang, bermain dengan teman temanya bukanya malah membahas pasal pernikahan. Lagi pula ia belum paham soal ini, apalagi dia belum pernah sama sekali dekat dengan laki laki dan hanya ayahnya lah laki laki yg dekat denganya.

Namun perkataan ayahnya semalam terlalu memaksa terlalu menekankan kata HARUS.

Katanya pun pagi ini pria yg dipilihkan oleh ayahnya akan datang untuk melamar.

Ketukan pintu makin kencang. Lily pun tak berselera menggubris tidak lagi peduli apa yang akan dikatakan ayahnya.

Daun pintu berdecit saat pintu terbuka, pak Hery mendapati anaknya duduk diatas ranjang menatap keluar jendela dengan pandangan kosong, dilihatnya matanya memerah rambutnya masih berantakan seperti sarang burung.

Namun sayangnya hal itu tak membuat dirinya merasa iba dengan anaknya melainkan ingin menyuruhnya agar segera bersiap siap.

"Ayok Lily segera bersiap."

Untuk saat ini Lily tidak ingin melakukan hal apapun. Ingin rasanya mengunci diri di kamar selama beratus ratus tahun agar ia tak perlu menemui pria itu.

Alih alih Lily segera beranjak, dirinya malah terpuruk teringat kejadian semalam yang membuat hatinya sehancur ini.

Lily ingat betul secara inci kejadian kemarin yang tak pernah terjadi selama hidupnya. Dengan malas Lily menanggapi perintah ayahnya. Pura pura tuli adalah jalan terbaik untuknya saat ini.

Lily sengaja berdiam diri tak melakukan apapun sebagai bentuk protes keputusan ayahnya yang sepihak ini, menurutnya keputusan ayahnya sangat konyol. Mana mungkin seorang gadis bisa menikah dengan pria asing bahkan tak pernah ia temui sama sekali.

Bahkan dikabarkan pria itu bukan sebaya dengan Lily, ayahnya mengatakan pria itu sudah memegang perusahaan keluarganya selama bertahun tahun, jika dipikir pikir pria itu kemungkinan usianya terpaut jauh dengan Lily.

Membayangkannya saja Lily sudah bergidik ngeri jika ia harus bersanding dengan pria tua menemaninya di sisa hidupnya dan kemudian dirinya menjanda. Bukan itu yang Lily inginkan.

Ia sangat menyayangkan dirinya sendiri yang masih muda belia perjalanan masa depannya bisa dibilang masih sangat jauh akan terasa mengerikan jika hidupnya harus terkungkung merawat suaminya yang tua.

Sudah sepuluh menit berlalu, namun Lily masih berdiam tak bergerak sedikitpun dari tempat tidurnya. Jika ayahnya tidak peduli dengan dirinya, ia pun juga akan lebih tidak peduli dengan apapun. Keputusan Lily sudah bulat ia tak akan mendengar apapun yang ayahnya katakan.

Terdengar suara pintu di ketuk dengan keras, sepertinya memang sengaja.

Lily masih tak menggubris, berikutnya daun pintu terbuka dengan keras, di balik sana terlihat wajah ayahnya tampaknya sedang kesal perintahnya tidak di indahkan anak gadisnya.

" Lily! Bukankah ayah menyuruhmu bersiap siap. Kenapa kamu masih disini!" Bentak ayah Lily dengan raut wajah yang tak bisa menyembunyikan amarahnya lagi.

Lily hanya terdiam, ia tak mau bicara dengan ayahnya.

Lily benar benar menguji kesabaran ayahnya, tanpa pikir lama ayah Lily meraih lengan Lily dengan kasar menarik paksa gadis itu untuk keluar dari kamar dan bersiap siap.

Dalam hitungan detik Lily tersentak oleh tarikan tangan ayahnya yang cukup kencang.

Tak bisa melawan, tenaga Lily kalah besar dengan ayahnya berbadan besar. Ia berusaha meronta ronta sebisa mungkin.

Lily hanya bisa berteriak dan mengikuti langkah kaki ayah yang membawanya.

The Little BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang