Tubuhnya meringkuk diatas sofa, Lily menyelimuti dirinya menutup hingga kepala padahal hari sudah siang, tak mau ada yang melihatnya menangis.
Apalagi yang bisa ia lakukan selain menangis? Ia tak bisa menghibur dirinya sendiri. Terlihat sangat menyedihkan.
Lily tak sekuat yang terlihat, gadis itu selama ini hanya berpura pura, memendam kekecewaan sejak awal pernikahan ini.
Ia juga menahan agar tak terisak Isak, tak mau ada yang mengetahuinya, cukup menangis dalam diam. Tetapi kini napasnya mulai terasa sesak, ia pun sedikit sesegukan. Ia ingin pulang.
Sudah cukup lama ia meringkuk dengan air mata beleweran seperti itu. Untung saja tidak ada yang menyadarinya.
Sudahlah, mungkin mereka berada di lantai atas kembali dengan kesibukan mereka berdua. Mana mungkin mereka sempat turun dan memergoki dirinya dengan keadaan sedang murung seperti ini. Toh kalaupun ketahuan mereka juga tak peduli dengan dirinya.
Namun beberapa saat kemudian Lily baru menyadari seperti ada seseorang yang mengawasi dirinya.
Terdengar suara langkah kaki mendekat. Entah siapapun itu.
Lily berusaha diam tidak mengeluarkan suara, namun dirinya masih sesegukan, suaranya pun terdengar jelas. Ia tak mampu menyembunyikan sesegukannya, suara itu tidak bisa berbohong.
Sial!
Langkah kaki itu benar benar mendekat, entah siapa Lily tak dapat menebaknya.
Dirasanya mulai panik, apa yang harus Lily lakukan?
Begitu selimut itu terbuka, pandangan pertama kalinya adalah cahaya yang amat menyilaukan mata. Lily mengerjap ngerjap matanya menyesuaikan cahaya dengan penglihatannya, kini di depannya tampak bayangan Aran yang sedang menatap dirinya.
Bingung dengan apa yang terjadi, Aran langsung mendudukkan tubuh Lily dan dirinya duduk berada di samping Lily. Pria itu menaikkan kedua alisnya, heran bercampur kebingungan menguasai isi kepalanya.
" Apa yang terjadi?"
" Kau kenapa?"
" Ada apa?"
" Kenapa kau menangis?"
Pertanyaan langsung datang bertubi-tubi, namun Lily tak bisa menjawab apa apa, hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan. Tak mengeluarkan suara sedikitpun.
Gadis itu sedang rapuh tak berdaya. Sedang tak berminat untuk berbicara ataupun berdebat. Seperti apapun ia berdebat ia pun akan kalah bicara.
Dia juga sedang tak mau menyalahkan Helena. Lily benar benar tak menginginkan apapun.
" Ada apa? Ceritakan saja."
" Hey, ada apa?"
Masih bisa bisanya Aran bertanya, apalagi? Tentu saja siapa lagi kalau bukan karena Helena dan Aran.
Mengetahui Lily tidak akan menjawab pertanyaannya, Aran merangkul pundak Lily mencoba mengatur jaraknya antara dia dan Lily agar saling berdekatan dan berkata. " Jangan sedih, ada aku disini."
Sebenarnya Aran tak tega melihat Lily bergelimangan air mata.
Diam. Lily tetap diam seribu bahasa, membisu.
Tangan Aran berganti mengusap puncak kepala Lily dengan lembut.
" Pasti karena Helena kan?" Kembali Aran menatap mata Lily memastikan semua itu benar.
Aran pun mendapat jawabannya kemudian memeluk Lily dan mengusap air matanya.
Pria itu mencoba menenangkan Lily yang semakin deras air matanya mengucur ketika ia memeluknya.
Tangan Lily meremas kemeja Aran kemudian menyisakan jejak kusut saat Lily melepaskannya. Yang Lily lakukan hanyalah meluapkan kekesalannya yang ia bendung selama ini. Dan hari ini semua itu pecah dengan sendirinya.
Tapi mengapa Lily begitu nyaman berada di bawah dekapan Aran untuk saat ini, rasanya seperti tak mau melepaskannya. Pria itu hangat dan Lily terlanjur nyaman berada di sana.
Lily bisa mendengar detak jantung pria itu, iramanya begitu damai. Mengapa ia suka situasi saat ini.
Apa benar perasaannya ini? Yang kini rongga hatinya mulai dikuasai oleh aran. Atau dia hanya tersentuh dengan tindakan Aran hari ini.
" Mau ku ambilkan minum?" Tanya Aran lembut begitu Lily terlihat sesegukannya tak mau berhenti.
Lili kembali menggeleng, gadis itu malah makin mempererat lengannya memeluk tubuh besar Aran tak mau melepaskannya.
Lily menenggelamkan wajahnya berada di dada kekar Aran tak peduli harga dirinya jatuh untuk saat ini di depan pria itu bagaimanapun juga ia juga istrinya, jadi sah sah saja jika ia memeluknya sesuka hatinya.
Sedangkan Aran hanya membiarkan Lily memeluknya sesuka hati, ia tahu hal itu membuat Lily jauh lebih baik. Aran kembali mengusap usap punggung belakang Lily berusaha membuat tangis gadis itu mereda.
Setelah hampir setengah jam Lily pun juga belum mereda. Gadis itu masih ingin berada di sisi Aran. Entahlah mengapa sangat nyaman. Untung saja Helena tertidur pulas berada di kamar sehingga Aran tidak perlu khawatir jika wanita itu tiba tiba turun dan memergoki dirinya bersama Lily saat ini.
"Kau mau ku ambilkan sesuatu?" Aran kembali bertanya memecah keheningan sekaligus berusaha menghibur Lily.
Lagi lagi gadis itu hanya menggeleng, mulutnya terkunci rapat rapat tak satu kalimat pun keluar dari mulutnya.
Untuk pertama kalinya Aran terlihat sungguh sungguh memperhatikan dirinya, Lily suka Aran yang saat ini. Hanya saja semua ini hanya mimpi, semua ini hanya bersifat sementara, yang Aran cintai bukan dirinya melainkan Helena. Maka dari itu ia tak menyia nyiakan kesempatan ini.
Aran melepas pelukan gadis itu beralih kedua telapak tangannya yang lebar menangkup kedua sisi pipi Lily dan kembali mengusap air mata gadis itu. Wajah antara mereka berdua saling berdekatan.
" Semua akan baik baik saja, oke?" Aran menyunggingkan bibirnya untuk mencairkan suasana agar Lily berhenti terisak.
Lily tak menanggapi apapun, sorot matanya terdapat keraguan pada suaminya mengingat semua yang terjadi selama ini ia terlalu banyak hal pahit yang ia alami. Bagaimana semua itu bisa baik baik saja?
Laki laki itu hanya bohong bukan?
Menyadari semua itu Lily melepaskan kedua tangan Aran dan tangannya mendorong tubuh Aran agar menjauh dari dirinya.
Aran hanya ternganga melihat sikap Lily yang begitu arogan.
Lily kembali berbaring dan menutupi wajahnya dengan selimut. Cukup sudah ia puas meluapkan emosinya namun tidak untuk kekecewaannya.
Melihat Lily sepertinya tidak ingin diganggu, Aran membuka kembali selimut yang menutupi wajah Lily dan dikecupnya kening Lily kemudian Aran beringsut pergi meninggalkan Lily kembali sendirian.
Pria itu kembali ke atas menaiki tangga menyusul Helena.
Sudah Lily tebak semua ini tidak akan bertahan lama, ucapan pria itu meyakinkan namun tidak dapat dipercaya. Seperti dulu pria itu memberi janji janji manis kepada ayah Lily dengan iming iming saham yang meningkat.
Lily tidak mengerti jika dalam berbisnis mengapa harus ia diserahkan kepada partner bisnis ayahnya dengan alasan sebagai jembatan penghubung.
Yang Lily tahu berbisnis adalah urusan materi mengapa ia harus ikut serta berada di dalamnya. Menurutnya sama saja ini adalah keputusan sepihak, mereka tak memberi kesempatan Lily untuk memilih jawaban iya atau tidak soal pernikahan ini.
Sehingga dirinya saat ini ikut menjadi imbas permasalahan yang rumit ini.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Bride
RomanceLily benar benar tak menginginkan semua ini, hal ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Dia baru saja tamat sekolah ingin mengepakkan sayapnya selebar lebarnya demi meraih cita citanya dan seharusnya dia melanjutkan ke perguruan tinggi apalagi dia mas...