Kertas perceraian terbelah menjadi empat bagian dihamburkan di atas lantai begitu saja, bentuk penolakan Aran tak mau menyelesaikan semuanya.
Ya, Aran merobek surat perceraian itu dan membuangnya di lantai, tak peduli mata tajam pak Hery terpaku padanya berapi api.
" Sampai kapanpun aku tak akan pernah menceraikan mu, Lily! Kau dengar itu! Kau akan tetap jadi istriku selamanya!" Aran berbicara nyaring tepat di depan wajah Lily yang sudah kian pucat pasi.
Gadis itu hanya membeku tak melakukan apa-apa, terlalu pening menanggapi situasi yang amat rumit ini, terutama untuk menghadapi dua orang pria bertolak belakang keputusan mereka, dan juga keduanya sangat berpengaruh dalam hidup Lily.
Lily diam melihat pertengkaran adu mulut dari ayahnya dan suaminya di depan matanya membuatnya terasa pening, mual, sangat memuakkan bukan.
" Ayah! Saya ini suaminya, saya yang lebih berhak memutuskan apakah rumah tangga ini akan berlanjut atau tidak!" Aran tetap kekeh mempertahankan rumah tangganya, ia tak mau menyerah begitu saja.
" Tidak! Bahkan kau tidak pantas menjadi seorang imam dalam rumah tangga! Apa kau memperlakukan putriku seperti apa yang ku lakukan?! Tidak kan?! Kau malah menghancurkan hidup putriku, tidak tau diri kau, Aran!" Alis lebat pak Hery berkerut seiring kerutan setiap sudut wajahnya menampakkan wajah garangnya.
" Dengarkan baik baik pak Hery, semua ini bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Yang terjadi memang muthlak kesalahan adik saya. Tapi kami akan bertanggung jawab atas kehidupan Lily kedepan." Sela Ahmad merendahkan suaranya guna meredam pertikaian, apalagi pak Hery bukanlah orang yang suka berbicara dengan nada tinggi biasanya.
" Tidak! Tidak akan kubiarkan putriku ditangan bajingan ini lagi." Jemari telunjuk pak Hery bertengger di atasnya mata batu akik berwarna tosca menunjuk nunjuk kearah Aran.
" Bukan begini pak caranya..." Suaranya Ahmad terhenti ketika mendengar gebrakan meja yang bisa dibilang amat kuat.
" Stop! Stop!! Aku tidak mau mendengar suara kalian lagi!! Telingaku seperti mau tuli!" Mendadak suasana menjadi hening begitu Lily berteriak memprotes keributan yang terjadi. Semua mata para pria besar itu tertuju pada Lily.
Apa mau gadis itu? Pikir mereka.
" Aku mual mendengar suara kalian!" Lily menggerakkan kursi rodanya meninggalkan ruang tamu. Hari yang buruk baginya.
Semuanya masih terdiam, selang beberapa detik kemudian Aran ikut meninggalkan ruang tamu menuju mobil tanpa mengeluarkan kata kata. Ahmad dan Andrea yang kebingungan ikut menyusul Aran menuju mobil untuk melihat apa yang dilakukan oleh Aran.
Rupanya Aran langsung masuk Mobil dan duduk pada jok pengemudi. Tanpa pikir panjang ia tancap gas pergi meninggalkan kakak kakaknya. Ahmad dan Andrea saling bertatapan geleng geleng dengan perilaku adik bungsu mereka. Sungguh merepotkan.
Sementara itu Lily hanya bisa menangis sejadi jadinya di kamarnya hatinya terasa sangat sakit sampai ia mengetuk ngetuk dadanya sendiri, air mata tak bisa dibendung sudah, ia membiarkan air matanya lolos kali ini. Lily tak bisa berbohong soal perasaan, untuk saat ini tak bisa berpura pura baik saja. Iya, sebagian besar hatinya menginginkan Aran, namun bagaikan buah simalakama. Jika ia melanjutkan hubungannya ia juga akan tersiksa sendiri.
Keadaan Lily benar benar sedang terpukul, tangisannya hingga terdengar ke telinga pak Hery, namun ayahnya membiarkan putrinya menenangkan diri, ia tahu jika ia mengomel saat ini bisa bisa membuat Lily semakin bersedih, oleh karena itu ia membiarkannya. Diam diam di depan pintu kamar Lily juga ikut meneteskan air mata, menyesal mengapa ia dahulu memaksa Lily untuk menikah dengan Aran yang ia anggap laki laki yang bertanggung jawab dan baik, ternyata ia salah. Pak Hery ingat betul waktu itu Lily menolak keras untuk menikah, seharusnya sedari dulu ia mendengarkan gadis kecilnya sama saja ia juga ikut bersalah tak bisa mencarikan suami yang baik untuk anaknya.
Saking larutnya dalam tangisan, di sela sela kesedihannya semakin terasa mual dan juga pening, entah mungkin karena saking larut dalam kesedihan akhir akhir ini, juga nafsu makannya menurun, waktunya habis hanya untuk memikirkan masalah ini.
Sebenarnya pak Hery juga mengkhawatirkan kondisi Lily akhir akhir ini piringnya selalu penuh, kesehariannya hanya berada di dalam kamar dari terbitnya matahari hingga matahari turun di ujung barat. Pak Hery sendiri tak mengerti apa sebenarnya mau Lily, anak itu merasa tersakiti namun tak mau melepaskan orang yang menyakitinya.
Terdengar suara dari dalam kamar Lily sepertinya gadis itu benar benar muntah.
Spontan pak Hery masuk kamar menghampiri Lily melihat keadaannya. Tetapi ia tak menemukan bekas muntah, ia sangat yakin tadi mendengar anaknya muntah.
" Kamu tidak apa apa, Lily?" Pak Hery berjongkok di depan Lily mengecek keadaan Lily, mengelus punggung gadis itu.
Lily hanya menggeleng sambil menutup mulutnya. Tampak sedang menahan sesuatu.
Kembali terulang lagi Lily ingin muntah namun tak bisa memuntahkan isi perutnya, kepalanya juga terasa tak karuan.
" Ya sudah istirahat saja, biar ayah ambilkan minyak angin untukmu." Pak Hery menaikkan tubuh Lily keatas ranjang, kemudian mencari minyak angin.
Sudah ia duga mungkin ini akibat akhir akhir ini Lily tak menyentuh isi piringnya.
Dengan sangat terpaksa kedua kakak Aran pulang menggunakan taxi akibat mobil mereka dibawa kabur oleh adiknya. Alhasil Aran jadi buronan kakak kakaknya, teleponnya mati, Ahmad berulang kali mencoba meneleponnya, bahkan anak berandal itu tak pulang ke rumah hari ini.
Semenjak hari itu, keadaan Lily semakin memburuk. Lily sering mengunci kamarnya, penampilan serba awut awutan, bahkan ruangannya pun tak ia bereskan, kotoran dimana mana, dan tetap masih sama tak mau makan. Dan juga sering pening dan mual tidak jelas. Ayahnya kelelahan membujuknya untuk makan, bersusah payah menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya, tetap saja tertolak. Gadis itu kehilangan jiwanya, ia juga jarang berbicara.
Ayahnya pun juga ikut kebingungan bagaimana gadis itu bisa kembali ke sedia kala. Kondisi kesehatannya juga semakin drop.
Pak Hery berniat membawa Lily ke rumah sakit, sekaligus kontrol perkembangan kakinya. Meskipun awalnya Lily ogah ogahan akhirnya menuruti permintaan sang ayah juga, setelah pak Hery memaksa.
Paginya ayah dan anak itu pergi ke rumah sakit, tidak seperti biasanya gadis itu selalu bersemangat setiap hendak kontrol tak sabar ingin melihat perkembangan kakinya, kali ini ia berangkat dengan wajah yang lesu tampak murung.
Sepanjang perjalanan di dalam mobil pak Hery berusaha mengambil topik menarik kesukaan Lily, biasanya gadis itu akan bercerita panjang lebar tentang hal kesukaannya pada ayah, hari ini terasa berbeda. Lily hanya diam menatap jalanan depan, tetapi kosong pandangannya.
Pak Hery tak tau jika masalah ini akan berpengaruh pada kesehatan jiwa dan fisik Lily, oleh sebab itu pak Hery membawanya ke rumah sakit menghindari hal hal yang tidak diinginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Bride
RomansaLily benar benar tak menginginkan semua ini, hal ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Dia baru saja tamat sekolah ingin mengepakkan sayapnya selebar lebarnya demi meraih cita citanya dan seharusnya dia melanjutkan ke perguruan tinggi apalagi dia mas...