Lily benar benar merasa bosan tidak ada apapun yang dapat menghibur dirinya.
Sudah hampir 2 jam ia bejibaku menatap langit langit berdrama dengan isi otaknya ia berusaha membuat dirinya senormal mungkin berpikir agar tidak canggung dihadapan suami barunya.
Matanya bergeser kearah jendela yang sedari tadi siluet cahaya yang menimpa netranya mengganggu pandangannya, kemudian Lily berdiri melangkah menuju jendela jemarinya yang ramping menelusuri permukaan kaca yang membatasinya dengan dunia luar.
Di seberang di bawah sana terlihat kendaraan berlalu lalang seperti biasa dilihatnya langit cukup bersahabat tidak menunjukan warna sendunya yang membuat setiap orang yang dibawah sana berharap cemas memburu langkah langkah mereka segera mungkin sebelum langit menumpahkan air yang sudah di tampungnya.
Butuh beberapa menit Lily mengamati aktivitas kota Bandung dibawah sana.
Yup alasan Aran membawa Lily ke kota Bandung selain dirinya berbulan madu ia juga harus mengurus salah satu cabang bisnis propertinya yang ada di Bandung.
Merasa sudah bosan dilihatnya dibawah sana ada beberapa penjual makanan dan jajanan daerah yang belum pernah dilihatnya, diingatnya sedari tadi ia belum makan hanya sepotong roti isi keju sebagai pengganjal tadi pagi, mungkin lidahnya ingin mencoba makanan khas Bandung, rasa penasaran itu membuat Lily tergerak harus keluar, toh sekalian jalan jalan tak apa kan? lagi pula jaraknya dari hotel pun dekat tanpa di temani siapapun juga tak akan tersesat kan.
Menunggu dan memandangi angka berwarna merah yang kian lama jumlahnya kian berkurang yang berada di atas papan tombol lift menunggu angka itu berhenti di angka tujuh, Lily bersandar pada dinding marmer hitam yang mengkilat menghiasi sepanjang koridor mengusung tema elegan dan mewah, ah namun Lily tak berpikir sejauh itu untuk mengamati gaya arsitektur bangunan bukan keahlinya hanya untuk berepot repot menilai seni pada bangunan.
Angka merah berhenti di angka tujuh begitu pintu terbuka tanpa basa basi Lily lansung masuk kedalamnya, ia sendirian di dalam lift.
Setelah keluar beberapa langkah dari lift ia kebingungan harus mengambil arah mana yang harus dia ambil.
Hotel itu benar benar besar dan luas tak heran hotel itu menjadi hotel termahal di kota bandung, tanpa berpikir panjang ia mengambil arah secara sembarang.
Ia terus berjalan lurus ke depan dilewatinya seperti ruangan luas yang terdapat banyak lukisan luskisan kuno dan barang barang antik besar dan ukiran ukiran tradisional, Lily terus menyusuri hotel itu sampai langkahnya terhenti pada ruangan berkarpet merah dari kejauhan terdengar suara memekik memanggil Aran suaminya, suaranya seperti perempuan, memang itu suara perempuan Lily sangat yakin.
Spontan pandangannya menelusuri setiap sudut hotel nampaknya suara itu berada di depan sana, mencari cari sumber suara memastikan ia tidak salah dengar ada yang memanggil nama suaminya.
Memicingkan mata Lily mendekat dengan hati hati dan berhenti di belakang guci keramik yang besar yang tingginya melebihi ukuran tubuhnya cukup untuk bersembunyi menutupi tubuhnya yang mungil disana.
Di depan sana terlihat seorang perempuan muda hidungnya mancung, rambutnya berwarna pirang, kulitnya putih kemerahan terlihat dari ciri ciri fisiknya perempuan itu bukan orang Indonesia, namun nampaknya dia sudah fasih menggunakan bahasa Indonesia.
Perempuan itu merangkul leher Aran dengan kedua tangannya kemudian memeluknya erat entah yang dilihat Lily salah atau benar suaminya itu membalas pelukannya perempuan itu dan mencium pipi kirinya meninggalkan bekas kemerahan yang khas.
"Helena, mengapa kau bisa kemari?" Aran menyambutnya dengan begitu hangat namun tak menampakkan senyumnya. Pandangannya berpendar ke seluruh sudut seperti memastikan sesuatu barulah ia melanjutkan kalimatnya. " Bukankah aku menyuruhmu menunggu sebentar"
" Aku tidak bisa menahannya. Kapan kau akan menepati janjimu? Lalu bagaimana dengan wanita itu" perempuan yang bernama Helena itu membalas ciuman Aran dengan panas bibirnya terus melumat leher dan beberapa sudut di pipi Aran.
" Aku sudah bilang nanti akan ada waktunya." Aran hanya tersenyum kecil membiarkan Helena bermain main dengan kecupan kecupannya dan menikmatinya.
Apa apaan ini? Sungguh pemandangan yang sangat menjijikkan. Aran berkencan dengan wanita lain?
Tersentak. Jantung Lily seperti dihujani ribuan duri yang menancap secara bersamaan, tubuhnya seolah tersengat listrik ribuan volt membuatnya kaku tak bisa berbuat apapun benar benar tak bisa bergerak, tubuhnya tak berdaya, ia pun tak punya kekuatan apapun untuk menghentikan semua ini, matanya terus terbelalak menyaksikan percakapan sekaligus adegan menurutnya terlalu panas untuk seseorang yang bukan mahrom.
Berharap salah lihat, ia berusaha mengucek ngucek matanya yang sebenarnya tidak apa apa. Tetapi ia ingin benar benar salah lihat kali ini.
"Ah sudahlah, jangan sampai istriku melihatnya." Aran melepaskan tangan Helena yang mulai bermain nakal di bawah.
"Seharusnya itu posisiku." Helena dan Aran saling bertatapan, tatapan yang bukan biasa, tatapan dimana pupil saling bertemu yang sama artinya.
Tak kuat lagi melihatnya, Lily mundur sedikit demi sedikit perlahan agar mereka tak menyadarinya akan keberadaan dirinya.
Buru buru ia menjauh dan memasuki lift kembali ke atas menuju kamarnya, Lily mengurungkan niat awalnya, sudahlah lupakan semua itu.
Kakinya melangkah cepat menahan isakan yang sudah mulai terdengar.
Sungguh saat ini dadanya terasa amat sesak, ia pun tak tahu mengapa secara tiba tiba ia kesulitan untuk bernafas.
Satu tangannya memegang bagian yang terasa sesak, dan kini Lily mulai berlari, segera mungkin ia ingin cepat sampai di kamarnya.
Semangat yang tadinya membara kini telah hancur lebur terpukul oleh kenyataan.
Laki laki itu telah menipunya, selain pernikahan paksa ia juga bermain dengan wanita lain di belakangnya.
Padahal dirinya sudah menyerahkan segalanya, ia menyerahkan dirinya, begitu juga harga dirinya pada pria itu.
Namun apa yang ia dapat sekarang, hanyalah kebohongan belaka. Pernikahan ini hanya tipuan. Sama saja ia tak dianggap apapun oleh Aran.
Lily kembali ke kamarnya dan membanting pintu sekencang mungkin.
Baguslah Aran tidak segera kembali, setidaknya Lily punya waktu untuk meluapkan perasaannya meratapi dirinya yang malang merasa ditipu laki laki brengsek itu.
Air matanya menetes perlahan membuat pipinya mulai basah namun ia harus menahannya. Ia berbaring menutupi muka dengan bantal besarnya menahan agar dirinya tidak berteriak sungguh dadanya sangat sesak, duri duri yang menancap jantungnya tak mau hilang.
" Kenapa aku harus menangis? Tidak! Bukankah aku tidak menginginkan dia." Lily menyangkal sendiri, atas kekecewaannya.
Baru saja ia merasakan menjadi pengantin baru, akan tetapi sudah seperti ini.
Mengapa Aran melakukannya. Bukankah Lily baru menjadi istri sahnya. Lalu apa yang Aran inginkan darinya?
Apakah memang benar pernikahan ini adalah palsu hanya alat untuk kebutuhan bisnis semata?
Bagi Lily pernikahannya bukanlah perkara main main. Keduanya sudah terikat oleh janji suci.
Pada awalnya Lily berusaha menerima semua ini, namun kenyataannya tidak seperti yang ia pikirkan.
Aran mempunyai pacar.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Bride
RomanceLily benar benar tak menginginkan semua ini, hal ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Dia baru saja tamat sekolah ingin mengepakkan sayapnya selebar lebarnya demi meraih cita citanya dan seharusnya dia melanjutkan ke perguruan tinggi apalagi dia mas...