Sedari tadi Lily terdiam, bibirnya bungkam di meja makan meskipun Aran telah melemparkan banyak pertanyaan. Lily terus menyuapkan sendok ke mulutnya tanpa menggubris pertanyaan Aran, sudah cukup jengah Lily mendengarnya namun tetap saja gadis itu tak mau bicara.
" Apa kau bisa diam? Kau tidak lihat aku sedang makan?" Lily mendelik tajam ke arah Aran.
" Tidak. Sebelum kau menjawab pertanyaanku, sampai kapan kau mau seperti ini Lily. Kau berbicara seperti orang asing." Raut wajah Aran tampak memelas berharap Lily menyambutnya dengan baik, dan kembali seperti semula.
" Bukankah seharusnya begitu?" Lily tak ubah sinis dari sebelumnya.
Dulu gadis yang lemah lembut, periang, penyayang, sekarang kini menjadi kebalikannya. Lily merasa dirinya tak pantas diinjak injak oleh siapapun. Oleh karena itu ia menjadi pemberontak sekarang.
" Mengapa kau membawaku kembali kemari? Apa kau tak dengar, aku ingin berpisah darimu!" Kalau sudah begini, selera makan Lily lenyap, kerongkongannya tak mampu lagi menelan makanan yang diberikan Aran. Apapun mengenai Aran semua terasa menyakitkan.
" Aku jamin hal itu tak akan pernah terjadi." Rahang Aran mengeras harus meladeni perdebatan ini.
" Lalu apa maumu?! Menyiksaku sampai mati bersama perasaan menyakitkan ini?!! Kau sangat egois Aran." Yang Lily lakukan hanya bisa mendebat, ingin sekali ia menampar Aran berkali kali dengan tangannya saat ini juga, sayangnya ia tak bisa berdiri. Tubuhnya sangat bergantung pada tumpuan kursi roda. " Aku hanya meminta janjimu, itupun kau tak sanggup memenuhinya."
Dari sudut pelupuk mata Lily air matanya mulai menggenang, menahannya berusaha agar tak keluar. Lily tidak ingin terlihat lemah dihadapan Aran.
Aran tau gadis itu menuntut keadilan darinya, Aran akui ia telah melanggar janjinya. Namun keadaan begitu sulit, ia tak bisa mencampakkan Helena begitu saja. Apa jadinya jika Aran benar benar melakukanya. Selain Helena yang terluka, ia akan menjadi seorang ayah yang jahat menelantarkan anaknya begitu saja. Aran tak mau anaknya juga merasakan kurang kasih sayang dari orangtuanya. Karena Aran pernah merasakan semua itu, ia tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ibu, ibunya meninggal karena melahirkan dirinya.
" Aku minta maaf soal itu Lily, aku hanya berusaha menjadi seorang ayah yang baik. Aku minta maaf." Ucap Aran tulus, dibalik itu ada kesedihan di relung hatinya. Ia tahu ia bersalah pada Lily, namun semua keadaan ini memaksanya.
Lily tak menanggapi apapun, apapun alasannya itu, ia tak mau dengar.
Lalu Aran bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Lily. Pria itu memeluk tubuh mungil Lily, hangat. Itulah yang dirasakan Lily saat tubuhnya berada di bawah dekapan Aran. Tubuh kecilnya tenggelam pada tubuh kekar Aran. Tiba tiba Aran tersedu tanpa melepaskan pelukannya.
Tidak seperti biasanya laki laki itu terlihat tegas, untuk pertama kalinya Aran terlihat lemah. Ia meneteskan air mata. Lily kebingungan apa yang harus ia perbuat.
Lily memberanikan diri mengusap lembut punggung pria itu guna menenangkannya. Tidak menyangka Aran begitu tulus menyesali perbuatannya.
" Kau tahu Lily, aku takut kehilanganmu." Aran berbisik pada telinga Lily.
Lily menyeka air matanya yang sedari tadi menggenang. Emosinya sangat tidak beraturan, kini ia merasa iba pada lelaki itu.
Setelah melepas pelukannya, mereka saling menatap begitu dekat. Kemudian Lily memberikan hadiah satu kecupan pada bibir Aran, pertanda gadis itu memberikan lampu hijau untuknya. Aran sedikit terkejut dengan yang di lakukan Lily. Apakah gadis itu sudah memaafkannya?
Hati Lily sangat lembut hingga ia tak tega pada Aran saat meminta maaf padanya, meskipun lelaki itu sudah berbuat semena mena terhadapnya.
" Kau ayah yang baik, meskipun kau bukan suami yang baik. Aku hargai usahamu itu." Usai Lily berkata demikian, Aran membalas kecupanya tadi namun lebih intens. Lily tak menolaknya, gadis itu bahkan menikmatinya membiarkan Aran menjelajahi bibir, bahkan pria itu menurunkan kecupanya hingga ke leher memberi tanda merah disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Little Bride
RomanceLily benar benar tak menginginkan semua ini, hal ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Dia baru saja tamat sekolah ingin mengepakkan sayapnya selebar lebarnya demi meraih cita citanya dan seharusnya dia melanjutkan ke perguruan tinggi apalagi dia mas...