bab 32

1.8K 139 7
                                    

Tungkainya sedang melangkah namun tak menuju kearah rumah, melainkan ke tempat dimana seseorang pertama kali mengajaknya, seseorang yang penting dihidupnya, yang sempat menjadi cahaya, cinta dan harapan baginya.

Luka nan dalam dilubung hati Arga perlahan terobati karena hadirnya seseorang itu, wajahnya kaku tak pernah senyum, sikap yang terlalu dingin, semua luntur saat seseorang itu tiba, senyuman Arga tak pernah lepas, ia tertawa layaknya remaja pada umumnya yang sedang menikmati masa muda.

Pepatah itu melesat tepat pada sasaran,
"nyatanya, seseorang yang memperlakukanmu baik diawal adalah orang yang paling berengsek diakhir"

Apa itu harapan? kenapa ketika kita percayai akhirnya dikhianati? kenapa siklus hidup selalu seperti itu? semuanya berubah, nasib baik hanya sebentar lalu sisanya menderita? kenapa tuhan menyiksa orang yang sudah lebam?

Sakit, otak, batin dan fisiknya sakit, Arga lelah dengan semua ini, haruskan Arga mengakhiri semuanya?

Sekarang tubuhnya sudah menghadap danau, tanpa sadar kakinya terus melangkah hingga celananya sudah terendam air danau, dan terus melangkah kalau bisa ia ditelan air tawar ini.

Seseorang mengejarnya, dan membantu Arga melipir ke pinggiran danau.
"apa apaan si, ga lucu tau ini udah berbahaya banget!" Dia Aldo, adik kelas Arga.

Aldo membuka jaketnya, dan melilitkannya ke pinggang Arga, ia juga menggosok-gosokkan telapak tangannya kemudian ditempelkan pada kedua pipi Arga, mungkin dia takut Arga kedinginan.

"gue ga papa" elak Arga.

Aldo mendengar suara gemuruh, ia pun mendongak kearah langit, masih begitu cerah lalu dari mana asal gemuruh itu, Arga memeluk perutnya, kemudian gemuruh itu kembali berbunyi disitulah Aldo menyadari suara gemuruh itu berasal.

"ayo kita makan dulu kak!"

"ga"

"yauda tunggu disini" Aldo mentitah Arga untuk tak kemana-mana, biar dia yang membeli makanan.

Lagipula, kalau kelaparan konsentrasi untuk melangkah bakal susah dan tak akan bisa, kalau tak makan lebih dulu, ya, atau minimal mengganjal perut dengan sepotong roti.

Aldo tiba dengan menenteng dua nasi bungkus, terlihat dengan cap yang tertulis dibalik plastik, "rumah makan Minang"

"nih aku bawain nasi Padang, punya kakak yang pedes tapi ga banyak sayur kan?" tebaknya.

Arga hampir terkekeh, dia mengangguk membenarkan tebakan si adik kelasnya, lalu langsung melahap setelah Aldo membuka bungkus nasi Padang itu dan
Aldo pun ikut melahap nasi Padang miliknya.

Setelah makan, Arga dan Aldo menatap kearah danau, sesekali melempar biji kerikil, Aldo menimbang-nimbang beban kerikilnya, nah, ditangan sebelah kiri ternyata lebih ringan, sebelum ia melempar kerikil itu, ia menantang Arga.

"kak gue tantang lu, siapa yang kerikil nya jatuh paling jauh, dia harus jawab dengan jujur? gimana?"

"ga tertarik" ketus Arga.

Aldo menarik nafas panjang, "berarti lu lemah kak, sama game gampangan gini aja lu ga mau!"

Arga mengerutkan dahinya, "apa pertanyaannya?"

"lah nanti, tunggu kita lihat siapa kerikil paling jauh dong!"

"oke!"

Arga memulai lebih dulu, dia memilih asal batu disampingnya, tak melihat berat dari batu itu sehingga mendarat tak jauh darinya, sedangkan Aldo, dia sudah memilih batu mana yang akan dia lempar dan tepat sekali batu miliknya lah yang jatuh lebih jauh.

"jawab jujur, pasti lu punya nomor WhatsApp kan kak?"

"ha? iya, terus kenapa?" balas Arga sengit.

"gue minta nomor Lo kak!"

"apaan si lu!"

"janji harus ditepati!"

Arga menarik ponsel Aldo dan langsung menuliskan nomornya disana, lalu, melirik batu kerikil lebih ringan agar mendaratnya lebih jauh, dan upayanya pun berhasil, milik Aldo mendarat lebih cepat.

"kenapa Lo minta nomor gue?" tanya Arga.

"ya nambah kontak!"

"nothing special di diri gue, apa yg mau lu liat?!"

"gue mau jadi temen lu kak, temen Deket kalau bisa jadi sahabat!"

ha? sahabat? hanya itu? kenapa Arga mencurigai semua orang, kenapa di pikirannya semua orang bakal mengecewakannya, mengkhianatinya, setidak percaya itu kah Arga?

Arga memutar bola matanya malas, percakapan ini terlalu berlebihan, dia membangkitkan tubuhnya, membersihkan pasir yang menempel di bokongnya,

"aku mau balik, makasih uda beliin nasi Padang"

"aku antar Ampe rumah ya kak?"
tawar Aldo.

"jalan kaki lu sanggup?" lagi lagi ini hanyalah alasan agar Aldo tak jadi mengantarnya.

"sanggup" balasnya semangat

"ha?"

Bener saja Aldo sedia mengantar Arga bahkan sekarang mereka sudah sampai di persimpangan jalan menuju rumah Arga, nah kali ini Arga menebak Aldo akan berhenti disini dan menanyakan jalan kearah mana rumah Arga.

Lagi-lagi tebakan Arga salah, tanpa menoleh dan bertanya, Aldo tau kearah mana jalan menuju rumah kakak kelasnya ini; setelah persimpangan, belok kiri, jalan lurus melalui gang kecil, dan beberapa pohon pisang, Arga terkesiap, hal ini persis jalan yang dilaluinya setiap pulang sekolah.

"eh bentar" Arga menyuruhnya berhenti, ini uda diluar batas, tak ada yang tau jalan ini kecuali dirinya sendiri, "lu selama ini ngikutin gue?"

"ga so-soalanya gue pernah le-lewat sini juga!" jawabnya terbata-bata.

Arga menaruh curiga pada Aldo, "Udah mending lu balik, gue jalan sendiri aja!"

"kenapa milih jalan dari tempat sepi kek gini sini sih? padahal ada jalan yang bikin cepat nyampe!" Aldo menginterupsi.

"ga ada, ini jalan satu-satunya"

"bohong banget si kak, tadi bisa lewat kanan, rame cepat nyampe pula, disini bahaya gue mau antar lu Ampe rumah lah ah!"

"ha?"
kali ini tebakan Arga benar, kalau Aldo penguntit, jadi selama ini dia tau dimana rumah Arga, dan mungkin rumor yang beredar tentang ibunya disekolah itu pun  dari Aldo secara dia uda tau sebagian tentang dirinya.

"GUE BILANG STOP! GUE GA MAU LU TERLALU SOK TAU SAMA DIRI GUE! STOP JADI PENGUNTIT!"

ha? penguntit?
Aldo benar-benar menghentikan langkahnya, membiarkan Arga pergi sendirian, ia tak mau di cap sebagai penguntit, setelah bayangan Arga mulai hilang dari pandangannya Aldo memutar arah dan kembali pulang.

STEP FATHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang