bab 74

647 56 0
                                    

seminggu kemudian,

dipastikan Arga sudah kembali normal setelah mengalami rentetan peristiwa kelam di hidupnya, kini, dia berada di danau yang tak jauh dari rumahnya, danau yang menjadi saksi kisah hidupnya dimulai.

Arga membuka kresek biru disebelahya, mengambil sebungkus nasi Padang, bibir mungilnya tersungging tipis—mengingat kejadian dimana ia harus makan sebungkus berdua dengan seorang yang sudah pergi dari hidupnya, tapi tak hanya sebungkus yang berada dikresek biru itu, ada dua bungkus lagi.

"WOI MAEN MAKAN SENDIRI AJE LO!" teriak Dinda, yang berlari kecil kearah Arga, sedangkan jaya dan Aldo menyusul dari belakang mereka membawa minuman dan juga beberapa snack.

"Lo maen ninggalin kita aja!" gerutu Jaya.

"OH MAEN LO LO AN SEKARANG? GITU SAMA MAMA?" cibir Dinda.

"hehehe, ia maap maap ma"

Aldo menyenggol bahu Arga, "geli ga si kak Lo ngeliat mereka hehehe" sembari terkekeh.

"ntr Lo ngerasain juga kok do, liat aja ntar"  sahut Dinda,

"jomblo diem deh, mending makan aje yuk ah" ajak jaya.

"kok cuman tiga si? kan harusnya empat?" tanya Dinda.

"Mama sebungkus berdua aja sama papa" tawar jaya.

"GA ADA MAMA PAPAAN KALAU SOAL MAKAN YA, CATET!"

"emang dasar lu rakus" cibir jaya.

"nyenyenye"

Aldo dan Arga hanya terkekeh melihat perdebatan ga jelas mereka, tapi setidaknya itu menghibur Arga, walau hampa masih begitu terasa, seperti separuh jiwamu hilang.

****

diruang keluarga, Arga melirik bundanya yang masih membersihkan makan malam mereka, lalu pelan-pelan mendekati Adrian
"om" panggil Arga.

Adrian menoleh, "ya? kamu kenapa kayak bisik-bisik gitu si?"

Arga hanya terkekeh, " om, dia benaran uda pergi ya ke Canada?" tanya Arga malu-malu.

"loh kok baru nanya sekarang, Rafli lagi enak jalan jalan di Canada lah kamu ternyata nyariin dia, eh-

"kenapa om?"

"kamu masih suka sama dia?"

Arga diam, ia benar-benar ragu menjawab hal itu.

"dia sampai sekarang masih sayang sama kamu, dia selalu bilang kayak gitu, tanpa ada ragu, masa kamu yang ragu!" skakmat, Adrian paham apa yang kini ia pikirkan.

Arga mengangguk, "aku kangen mas Rafli om, aku masih sayang sama dia"

"lah bukannya kamu masih sayang sama si iblis itu?" heran Adrian.

Layla dari belakang merangkul lengan Arga, Layla kini berada jauh dibawah Arga, pertumbuhan anaknya sangat pesat, "kita hanya menghargai damar, bukan mencintainya, kita—"menyentuh dada Argaa, "mempunyai orang yang masing-masing kita sayang, yakan nak?"

Arga memeluk bundanya, "arga masih sayang dia Bun" pecah sudah tangis anaknya itu, dan kali pertama Arga menangis dipundaknya lagi, setelah sekian lamanya, Arga memilin ujung bajunya, dirinya seperti di interogasi, dan bunda hanya terkekeh geli memandangi tingkah anaknya ini.

pepatah itu benar, buah jatuh tak jauh dari pohonnya, sikap grogi Layla menurun pada Arga, kemudian Layla menarik lengan anaknya itu kedalam kamar Arga sendiri, percakapan ini harus lebih intens, ia mau Arga jujur padanya, lalu mengulurkan ponsel miliknya ke Arga

"hubungi dia, jujur kalau kamu sayang sama dia"

Arga tersenyum getir, ia mendorong kembali ponsel itu kearah bundanya.

"kenapa Ga?" tanya bunda heran,

Arga masih saja diam, bunda beberapa kali mendengar arga berdesis gelisah,

"ragu? atau gengsi?" tanya bunda lagi.

"dua duanya mungkin" jawab Arga sekenanya.

"kalau gitu" bunda meraih kembali ponselnya, " forget him, kamu cuman penasaran sama dia, bukan benar-benar cinta, bunda mau tidur, gudnite sayang" bunda beranjak dari duduknya dan ingin kembali ke kamar.

sesuatu bergejolak, ingin sekali mulutnya gamblang berkata, ia masih sangat mencintai Rafli, tapi apa daya rasa gensi Arga amat besar hingga diam yang menjadi jawabannya.

"bodoh lu tolol" rutuknya pada dirinya sendiri, seharusnya Arga tak perlu menghapus kontak mas Rafli dari ponselnya, padahal tanpa harus ikut tangan orang lain, Arga bisa selesaikan masalahnya dengan Rafli sendiri tapi lagi dan lagi gengsi  mengalahkan segalanya.

how about email?

Arga langsung membuka laci meja, dan mengambil laptopnya, secepat mungkin mengirim pesan ke Rafli, ia benar-benar ingin bertemu dengan Rafli, karena komunikasi terakhir mereka adalah via email.

namun, itu juga tak bisa, email Rafli hilang, timeline email nya pun kosong, tak ada pemberitahuan masuk ataupun keluar, bersih tanpa meninggalkan jejak, Arga tau ini ulah siapa, Arga mendengus kesal, ia menenggelamkan wajahnya di meja, dan bulir air mata satu persatu lolos dari sudut matanya.

LU GILA DAMAR, SAMPE ISI EMAIL GUE PUN LU HAPUSIN, LU JUGA TOLOL BANGET JADI ORANG ARGAAA, ARGHHHHHHHHHH.

Arga hanya bisa menangis terisak saat itu, ia meninggalkan semuanya setelah memutuskan untuk hidup bersama Damar, impiannya, cintanya, keluarganya, bahkan setelah bebas Arga tak tau harus kemana, ia hanya mendengar semua orang menawarkan hal hal baik untuknya,

Universitas luar, bagus bagus loh Arga, anak Tante lulusan kuliah di London lohh.

Arga coba kuliah di universitas ini aja, gausah diluar negeri, di indo juga bagus-bagus.

Nak, disini lulusannya pada jadi orang semua lohh.

Arga, mending Lo sama gue aja, satu kampus kita, ya tapi lu jadi junior gue dan gue kating Lo heheh, ga kalah bagus kampus gue.

Ga, ....

Ga,.....

ARGAAAAAAAA.....

Teriakan itu menyadarkan Arga, ia bangun dari tidur sesaat nya, nafasnya tersengal-sengal seperti mimpi buruk, bahkan tubuhnya ikut berkeringat hebat, satu yang diingat Arga sebelum teriakan itu, ada suara yang begitu familiar dan menenangkan dia memanggil nama Arga dengan lembutnya.

Ga, Arga, kamu yang nentuin hidup kamu sendiri, mereka diluar sana hanya bisa kasih saran, tapi kamu yang menentukan, hiduplah sesuai apa yang kamu mau.

MAS? MAS RAFLI, AKU KANGEN KAMU MAS!!!







STEP FATHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang