bab 36

1.4K 118 3
                                    

semilir angin menyapa tiga manusia yang tengah melakukan rutinitas pagi—sarapan, terkhusus Layla, dia sangat bahagia sebab sang mertua baru saja mengirimkan lampiran contoh surat undangan pernikahannya, tanpa ragu ia memperlihatkan kepada kedua anaknya.

"bagusan yang mana?"

Arga hanya melirik sekilas, ia benar-benar tak sanggup melihat nama Rafli terpampang jelas disurat itu,

"yang ini bagus ma, untuk desain nya ga terlalu over jadi terlihat lebih simpel" dan itu menurut Aldo, Layla tersenyum manis  mendengarnya, ia juga memliki selera yang sama dengan putra bungsunya ini.

"Arga, kalau menurut kamu gimana sayang?" Layla melempar pertanyaan itu lagi, dia belum mendengar jawaban dari anak sulungnya.

Arga menghujam tatapan sinis ke Layla, ia merasa sang mama meremehkannya, lantas Arga membangkitkan tubuhnya lalu menarik tas sekolahnya dan berlalu dari mereka.

Aldo mengusap bahu Layla, melihat netra sang mama yang bertanya-tanya, apa salahnya lagi?
"gapapa ma, toh, kak Arga emang gitu kan?"
Layla hanya menghela nafas berat.

****
Arga mempercepat langkahnya, menghindari Aldo yang sedari tadi memanggil namanya, entah mengapa rasanya koridor disekolah begitu panjang tak berujung, langkah Aldo belum bisa menyeimbangi nya, dan ia baru bisa bernafas lega ketika menemukan ujung koridor.

belok kanan, tepat disebelah ujung koridor adalah kelas Arga, sepertinya ia tak harus mempelambat langkahnya, sebab dua sahabatnya tengah berdiri didepan kelasnya, apalagi kalau bukan menunggu Arga.

ia tak menggubris Jaya yang barusan menyapanya, ia nyelonong masuk saja kedalam kelas, jaya dan Dinda hendak menyusul tapi enggan ketika mendengar bel berbunyi, apalagi disamping mereka sudah ada wali kelas Arga.

"kenapa ga masuk kekelas masing-masing?"

"iya pak, ini kita mau jalan kekelas kok"

"silahkan!"

sepanjang menuju kelas, jaya selalu menggerutu mengapa dirinya tak bisa sekelas dengan Arga.

disaat pelajaran dimulai, semua murid mengikuti perintah guru untuk mengeluarkan buku yang akan mereka pelajari, kecuali Arga, ia tak semangat belajar mengingat seseorang yang didepan kelas telah menghancurkan hatinya.

"yang dibelakang, kenapa malah tidur?" pak Rafli menegur Arga, muridnya itu malah asik tidur.

Arga tau kini dirinya menjadi pusat perhatian, dia juga sengaja memasang earphone dikedua telinganya, tak ada musik yang ia putar, alat itu hanya formalitas saja.

pak rafli menghampiri meja Arga, mencabut salah satu kabel yang terpasang pada telinganya, Arga masih tak menggubrisnya, ia memaksa matanya terpejam, lalu pak Rafli mencabut kabel satu lagi, dan membuangnya ke lantai.

"bangun atau saya kurangin nilai ulangan mingguan kamu?"

diam.

"bangun atau saya kurangin nilai ulangan kamu!" pak Rafli mengulangi kalimatnya.

Arga masih saja diam.

"ATAU SAYA SKORSING SAJA KAMU?" pak Rafli sedikit membentak.

hal itu ampuh membangunkan Arga dari pura pura tidurnya, ia menatap nanar pak Rafli, dadanya naik turun,
"silahkan kalau itu yang terbaik!" Arga bangkit dan menyenggol lengan pak Rafli, saat itu ia keluar dari mata pelajaran pak Rafli.

sebagai seorang guru dia harus adil, apapun yang ia ucapkan harus ia tanggung jawabin, salah satunya menskors Arga, mau tak mau.

...
Seperti biasa dihalaman belakang sekolah, Arga menumpahkan semuanya, tangisnya, marahnya, kecewanya, sakitnya.

Entah mengapa hanya karna pak Rafli ia bisa menangis bahkan secengeng ini, cinta menambah rumit masalah hidupnya, menimbulkan semangat, kebahagiaan, obsesi, tapi cinta juga yang bisa menghancurkan segalanya hingga berkeping-keping.

bahkan saat bel istirahat berbunyi, dengan bersamaan gemuruh perutnya yang meronta kelaparan ia tetap terduduk di halaman sekolah, ia lebih memilih menahan laparnya dari pada tangisnya.

tertunduk lesu menatap tanah liat yang mengeras, tanpa sadar ada dua orang yang berdiri di hadapannya, keberadaan mereka belum diketahui Arga, salah satu dari mereka pun berdehem.

ehem!

Arga mendongak, mendapatkan Dinda dan jaya dihadapannya membawa beberapa roti dan air mineral.

"Lo pasti lapar kan?" tanya Jaya.

tangis Arga menjadi jadi, bahkan suaranya semakin kuat, Dinda dan jaya jelas panik, takut kalau ada orang yang melihat Arga seperti ini, merekapun lantas memeluk Arga, mencoba menenangkannya.

ketika sudah mulai membaik, barulah mereka bertanya.

"lu kenapa si?" tanya Jaya.

"gue stress" pandangan Arga emang terlihat kosong, ia seperti yang dulu, kehilangan semangat hidup.

"karena pak Rafli?" Dinda menimpali

dada Arga terasa sesak mendengar nama itu, ia juga tak bisa menyembunyikannya lagi, Arga pun mengangguk membenarkan pertanyaan Dinda.

"Lo di apain dia? ha? gara gara dia Lo jadi ngehindarin kita!" jaya tersulut emosi.

secepatnya Arga menggelengkan kepalanya, ia menarik nafasnya dalam, sebelum mengatakan seluruh masalah yang tiap malam mengitari mimpinya.

"jadi kenapa?" Dinda berujar lagi.

"apa yang dia bilang waktu di sidang tempo itu benar"

kedua sahabatnya saling pandang, tak paham apa maksud dari Arga, mereka menatap wajah lesuh itu lagi.

"kalian tau kan, gua lagi bahagia belakangan ini, mulai dari mama gue yang uda berani ninggalin kerjaan haramnya—keluarga utuh—dan kembalinya adik kandung gue" ia menjabarkan rentetan peristiwa yang terjadi belakangan ini, Arga menjeda, ia menarik nafasnya lekat–lekat, "dan gue baru tau siapa pria yang akan menikah sama mama gua, ga lain dia itu—

"pak Rafli" tebak Dinda.

Arga kembali menunduk sedih, sedangkan Jaya masih dengan wajah kebingungan.

"dia berkata jujur, pak Rafli akan menjadi ayah Arga, walaupun sekarang dia pacarnya" tutur Dinda menjelaskan.

dada Arga semakin sesak mendengar penjabaran lengkap itu, bahkan ia melupakan dua roti yang dibawa kedua sahabatnya, Arga tak selera makan, dia juga tak ada niat untuk melanjutkan hidup.

rasanya separuh kebahagiaan mu hanyalah semu...

jaya dan Dinda paham, walaupun bukan mereka yang merasakannya, tapi getaran tangis dan pandangan kosong Arga menggambarkan semuanya, kalau dia tak baik-baik saja, kalau dia hampir saja menyelesaikan hidupnya, kalau dia tak kuat menghadapi hari esok, kalau dia—

jaya dan Dinda memeluk tubuh Arga, menyalurkan kehangatan tubuh mereka, agar Arga merasa lebih baik, jejak matahari pun mulai meninggalkan tempatnya, berganti dengan awan hitam yang menghiasi langit, seakan mereka ikut merasakan kesedihan Arga.

STEP FATHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang