bab 22

1.8K 118 5
                                    

"Woi!" Suara Jaya dan Dinda mengangetkan Arga.

Hampir saja ia terpental jatuh ke ubin, dari tadi mereka bercerita tapi respon Arga malah diam, dan bahkan tak menatap mereka berdua, seperti ada yang Arga sembunyikan.

"Lu kenapa si?" Tanya Jaya.

Arga menggelengkan kepalanya

Jaya memicingkan matanya, ia mencium bau-bau kebohongan, melihat sebelumnya, makanan Arga tak habis, tak fokus menatap lawan bicara, melamun, menandakan sahabatnya itu ada masalah.

"Lu ga jago bohong Arga!" Tandas jaya, "lu cerita atau gue cari tahu!"

"Apasih, dibilang ga ada apa apa juga!" sergah Arga

Jaya menggelengkan kepalanya, "fix, lu lagi ada apa apanya!"

"Ga ada anjing!"

"Ada anjing, kasih tau ga!"

"Ga anjing lu!"

" Lu anjing!"

"Heehhhhhhhg stop manusia manusia dakjal!" Dinda melerai, ia pusing melihat dua sahabat ini saling melempar kata sarkas.

Eh, malah Dinda yang di lempari tatapan sinis dari jaya dan Arga.

"Gue tuh cuman mau kalian diam, dan Lo Jaya!" Dinda menoleh ke Jaya, "kalau Arga ga mau ngasih tau yauda! Kita yang cari tahu!"

"Oke, Fine!" Lalu Mereka kembali ke kelas masing-masing.

****

Dikelas, bukannya fokus pada apa yang diterangkan di depan kelas, sepasang sejoli ini tengah mengatur rencana bagaimana mereka bisa tau apa yang di sembunyikan oleh sahabatnya itu-Arga.

Mereka bagi tugas, Jaya yang menganalisis dan Dinda yang memantau gerak gerik Arga.

"Ihh kok tega si aku yang ngintilin kemanapun si Arga!" Protes Dinda.

"Eh ingat, apapun yang suami bilang harus dituru....

"Tin" sambung Dinda.

"Yaudaaa, jadi ga salah kan?"

Dinda menggeleng.

Dua hari itu, Dinda mengikuti kemanapun Arga pergi; dari ke perpustakaan, ke ruang lab, UKS, kantin, ruang musik..

"Eh ngapain ni anak ke sini? Emang bisa main musik?" Heran Dinda.

Tak jadi, Arga hanya diambang pintu saja, tak berniat masuk, lalu kembali melanjutkan langkahnya ke kelas.

Hari pertama, tak ada yang mencurigakan.

Di hari kedua, ada sesuatu yang mencurigakan.

Saat itu, Dinda tengah mengikuti Arga hingga ke gudang dibelakang sekolah, tiba-tiba, Arga, seperti mendapat telpon dari orang yang membuatnya gusar.

Entahlah Dinda tak tau siapa orang itu, tapi ia tetap mengikuti langkah Arga sampai akhirnya Arga di ruangan pak Rafli.

"Lah ruangan doi nya ini mah!" Celetuk Dinda, ia mulai menempelkan telinganya pada daun pintu, berharap semoga ada yang bisa ia dengar dari percakapan dari dua orang itu didalam.

Tapi nihil, aksi itu di ketahui pak Rafli, ia menyuruh Dinda pergi, karna ada urusan yang harus di bicarakan dengan Arga.

"Kenapa kamu menghindari saya?" Akhirnya pak Rafli sadar bahwa belakangan ini Arga menghindarinya.

Arga tak menggubrisnya, ia diam bagaikan patung.

"Dua hari kamu ga datang less, saya juga dapat informasi bahwa nilai kamu mulai anjlok lagi, mulai malas lagi, mulai ngerokok lagi-

Potong cepat Arga, "itu hak saya! Saya ngerokok ga dari uang bapak!"

"Tapi kamu anak murid saya, dalam pantauan saya, lagipula kamu merokok masih di area sekolah, itu jelas melanggar peraturan sekolah!"

"Saya ga perduli"

Sifat bebal Arga membikin pak Rafli emosi, ia memukul meja itu sekuat tenaga, sambil berdecak kesal.
"Uda tau kamu bodoh, jangan makin bodoh karena ngikutin rasa malas mu itu! Mau jadi apa kamu kalau gini? Huh? Ikutin jejak ibu kamu? "

Arga tercengang, matanya membulat sempurna, kalimat yang dilontarkan gurunya itu, entah mengapa lebih sakit dibanding makian diluaran sana, dadanya berdesir, sesak, hingga membiarkan lelehan bening perlahan mengalir di pipinya.

Pak Rafli termangu menatap cairan yang meleleh dari matanya Arga, gurunya itu juga mendengar Isak tangis Arga.

"Ga..bapak min-

Arga langsung berlari dari hadapan pak Rafli, ia juga tak perduli lagi jika seluruh siswa disekolah ini melihatnya menangis, rasanya, ia tak sanggup menahan sakit itu.

Beginikah rasanya di kecewakan oleh orang yang spesial?

.
.

Maksud pak Rafli, hanya mengingatkan Arga, agar tak larut dalam sifat malasnya, mengingat sebentar lagi akan menghadapi ujian kelulusan, pak Rafli takut Arga tak lulus, hanya itu saja, tak lebih.

Bukan Arga saja yang kecewa, pak Rafli pun kecewa dengan dirinya sendiri.

Sang guru berulang kali merutuki kebodohannya yang tak bisa mengontrol emosi, sangkin kecewanya, ia asal memukul dinding dengan tangan telanjang membuat tangannya itu berdarah.

Arga melewati jaya dan Dinda begitu saja, membuat kedua sahabatnya itu keheranan dan khawatir dengan apa yang terjadi, lantas mereka menyusul Arga.

Didalam gudang, Arga terisak, ia acap kali memukuli dadanya yang benar-benar terasa sakit, tak nyaman, saat ini pun bernafas juga susah, kenapa ia hidup hanya untuk menyaksikan ia dikecewakan?

Kenapa tuhan?

Kenapa hidup ini sungguh tak adil, kenapa sosok yang dianggap penolong kini juga harus mengecewakannya, cukuplah sudah ibunya, kenapa harus orang yang ia cintai?

Ya, Arga tak menolak perasaan yang mengatakan kalau ia mencintai pak Rafli, ia sadar, aneh rasanya mencintai seorang yang segender dengan kita, tapi tak mengakui adanya cinta juga salah, karena cinta datang- lalu jatuh kapanpun dan di manapun ia mau.

Cinta tak pernah salah.

Berarti kali ini, dirinya lah yang salah, mengizinkan hatinya untuk luluh dengan orang yang salah.

STEP FATHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang