bab 61

716 61 3
                                    

Arga mematut-matut dirinya didepan cermin, tubuhnya tampak kurus sekarang, tak seperti dulu yang berisi dan sangat menggoda, Arga ingat, dulu setiap malam Mas Damar akan memeluknya dari belakang, mengecup pangkal rambutnya, tangannya yang jahil akan menjalar ke bagian dalam kaosnya, memainkan puting merah itu lalu beranjak menggerayangi pantat semok Arga, tapi sekarang, malam-malamnya kini, harus dihabiskan oleh permainan gila mas Damar.

"aww..." Arga merintih kesakitan saat alkohol dingin itu mengenai luka-lukanya, ia tengah berada di klinik milik kak Sega.

"tiap malam, di pecut kayak gini kamunya?" tanya kak Sega—dia adalah sahabat baik Mas Damar, dia juga seorang dokter.

" iya kak, tapi aku menikmati kok, btw, ada berapa ya bekas pacutannya?"

"engga aku hitung, tapi punggung kamu penuh luka semua" Arga menghela nafas berat, ia juga kesusahan memakai kaos nya lagi, karna bekas luka itu mulai memerah dan membengkak.
.
.
.
Sepanjang jalan pulang, hiruk pikuk makhluk di petang hari tak bisa membuyarkan lamunannya, ia duduk termenung memandangi jendela di luar taxi, satu hal yang kini mengisi pikirannya —Arga sadar, setelah kejadian di apartemen sebelumnya, mas Damar benar-benar memperlakukannya seperti mainan yang disiksa tanpa jeda.

take a breath.

dulu, Mas Damar selalu mengutarakan kalimat itu ketika ingin memulai pergelutan panas, ia harus benar-benar memastikan kekasihnya itu tak berada dalam situasi yang lelah-moodswing atau yang lain, kenyamanan itu utama dari segalanya, dan memaksa bukanlah jalan bagus sebagai penambahnya.

Damar yang dulu tak pernah memaksa, lalu damar yang kini?

lagi-lagi terdengar helaan nafas berat dari Arga hingga uap dari mulut itu menyembul dan menimbulkan kabut di kaca mobil, mau bernafas saja susah, ia hanya dikasih waktu beberapa menit untuk istirahat lalu permainan akan terus dilanjutkan, walaupun Arga mulai kelelahan.

lihatlah, mengangkat tangan kanan saja, harus dibantu oleh tangan kiri, tubuh Arga benar-benar remuk, kalau ditanya jujur, Arga ingin sekali pulang ke rumahnya dulu—di pinggiran kota itu, bukan ke apartemen yang baru kekasihnya beli itu.

berharap pulang, singgah ke warung  saja, Damar bisa marah besar, sampai-sampai ia memasang pelacak di jam tangan Arga, agar ia tak bisa kabur sewaktu-waktu.

seperti seorang tahanan bukan?

cinta itu buta, menurut Arga ini adalah bentuk kepedulian Damar padanya, usaha damar tak sebanding dengan luka-luka yang tergambar di punggungnya, siapa yang akan memberimu tempat meneduh secara percuma-cuma, menyayangimu, memberi mu makan, dia—Damar, adalah orang yang kini di pihakmu, yang lebih tau apa yang kau rasakan, dari pada keluargamu sendiri.

Arga menganggukkan kepalanya, menyetujui apa yang hatinya ungkapkan, dan terlihat lebih realistis dibanding kembali tinggal bersama mama dan ayah tirinya, Arga bergidik harus membayangkan lagi tinggal dengan mereka, menyaksikan keharmonisan diantara mereka, atau mungkin, Arga telah memiliki seorang adik kecil sekarang—mengingat sudah hampir jalan dua tahun dia tak menemui ibunya.

taxi itu berhenti tepat di apartemen yang tak kalah bagus dari sebelumnya, harganya pun hampir menyeimbangi penthouse, saat kaki menjulur ketanah, empat security mengulurkan tangan untuk membantunya, ada yang membawa beberapa belanjaan Arga—mengikutinya dari belakang atau sekedar membawa obat-obatan yang sangat enteng itu.

langkahnya masih gontai, nyeri dari segala sendi tubuh, namun harus tetap prima, dan terlihat baik-baik saja dihadapan sang dominasi.

"kamu dari mana aja? kok lama?" tanya mas damar ketus.

"aku, ehem" Arga menetralisir suaranya yang sengau, "singgah ke pasar mas, mau masak buat kamu"

"ngapain? jadi tugas pembantu apa kalau gitu?"

"ya gapapa, sekali-kali, toh aku jarang keluar"

Damar menatap tajam Arga, "mulai besok gausah keluar lagi, kecuali bareng aku"

"kenapa mas?"

Damar tak menjawab, dia melenggang masuk kamar mandi, ia harus bersiap-siap berangkat kerja, setelah semua siap dan damar segera berangkat, ia menitahkan sesuatu pada kekasihnya itu.

"makan 3 jam sebelum aku pulang, terus minum kapsul itu, pastiin bersih sampai dalamnya!"

tak perlu ditanya apa maksud Damar, Arga sudah menebak apa itu, dan hanya bisa mengangguk sebagai bentuk responnya—kapsul itu adalah obat pembersih perut, sebelum memulai pergelutan panas, Arga harus memastikan dirinya bersih, dan yang terutama pada bagian anusnya—yang akan menjadi spot paling penting di permainan nanti malam.

Arga menarik nafasnya dalam-dalam, ia memijit pelan dahinya, kalau dikasih pilih, Arga ingin beristirahat penuh hari ini, namun, keinginan sang dominan lebih penting dari pada kesehatannya, Arga membusungkan dadanya dan berjalan kearah dapur.

.
.
.

***

STEP FATHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang