bab 23

1.8K 124 0
                                    

"Ga, sabarr" ucap Dinda sembari mengelus punggung Arga.

Arga masih terisak-isak, bahkan ketika mata terpejam saja, masih terbayang jelas betapa sakitnya kalimat pak Rafli.

"Ga, bilang Ama gue, tuh si Pak Rafli ngomong apa sampe bikin Lo kek gini?" Jaya sudah habis kesabarannya, ia tak bisa melihat sahabatnya menangis seperti ini.

"Gue sadar, gue anak pelacur, gue bodoh, pemalas, gue sadar gue Badung, bikin repot sekolah, bikin semuanya ga nyaman, bahkan, sama diri sendiri aja gue ga nyaman, terus apa gue, ga berhak bahagia? Apa karena mama gue pelacur, gue bakal jadi pelacur juga nanti? Ga kan? sehina itu kah gue?" Tangis Arga kian menjadi-jadi.

"Ga.. stopp jangan dilanjutin!" Pinta Dinda, ia langsung sigap memeluk sahabatnya itu.

"Dia bilang gitu Ga?" Jaya meninggikan suaranya.

"Udahlah ah!" Sahut Dinda, "lu mau apa? Mau mukul pak Rafli? Lu siap kalau lu di sidang kek Arga? Masalah sidang Arga juga belom kelar, jangan bikin Hedon deh ah!"

Seketika tangis Arga mereda setelah mendengar kalimat Dinda.
"Lu benar Din, pasal sidang, dia pasti ga bakal mau bantuin gue menang, dan gue yakin kalah!"

"Ha? Gak gak, Napa jadi pesimis gini si lu Ga, ah!" Heran Dinda.

"Ntah lu mah, masih ada kita!"

Tanpa sadar mereka bertiga, pak Rafli berada di samping pintu gudang, memperhatikan Arga sedari tadi dari celah pintu, sakit rasanya mengingat ucapan yang sempat ia lontarkan untuk Arga tadi, kecewa, marah, benci, semua jadi satu, pak Rafli pun bingung bagaimana harus memulai semuanya kembali.

****

Mereka itu saling terikat, bahkan saat semuanya berubah, masing-masing tetap merindukan satu sama lain, sang guru yang merindukan senyum manis Arga, si murid, hanya bisa mencerna pelajaran yang dijelaskan pak Rafli, iya, cuman pak Rafli yang bisa membuat aliran otak Arga jalan tanpa halangan, dan cepat paham akan semua rumus yang dijelaskan.

Arga juga merindukan kecerewetan sang guru, juga hal hal kecil yang membuat detak jantungnya tak stabil, pak Rafli sangat menyesali perbuatannya, gara-gara itu, ia tak bisa lagi mendengar suara indah Arga.

Perlahan semuanya kembali seperti semula.

Arga, menjadi penyendiri, tak banyak bicara, tapi, ia masih terlihat giat untuk belajar, pak Rafli takut jika menunjukkan wajahnya dihadapan Arga, jelas Arga tak akan mau melihatnya.

Pak Rafli hanya bisa memperhatikan Arga dari jauh, tak ada senyum yang bertengger di wajah muridnya itu, hanya raut kesedihan.

Merasa bersalah, kenapa ia begitu pecundang sampai tak bisa terus terang minta maaf, pak Rafli terlalu malu menunjukkan wajahnya, rasa bersalah itu mendominasi dirinya membuatnya harus menjaga jarak dengan Arga.

Sama-sama saling menjaga jarak padahal saling merindukan.

Arga tak paham bab mtk kali ini, sudah berulang kali mengikuti contoh rumus yang tertera di buku, namun, sama sekali tak terpecahkan, andai saja ada pak Rafli yang bisa mengajarinya, pasti-

"Ha? Apa-apaan si gue!" Arga menggelengkan kuat kepalanya, setelah membawa nama pak Rafli di lamunannya.

"Lu kenapa?" Tanya Jaya.

Arga menunjuk soal MTK, "payah banget yang ini!"

"Duhh gue bodoh mtk!" Sahut Dinda, lalu Arga menoleh ke Jaya.

"Apa Lo berharap gue? Gila, gue semua pelajaran aja bodoh!"

Arga terkekeh

"Pak Rafli kan bisa ngajarin lu!"

Arga diam, dan tak menjawab sepatah kata pun, dia sudah berkomitmen pada hatinya untuk tak membawa nama pak Rafli di kehidupannya, ia ingin melupakannya, dan harus bisa, bagaimanapun caranya.

Tapi semakin dipaksa, rasa itu semakin kuat, begitulah cinta, tak akan bisa pergi dari takdir, siapapun yang mendapatkannya harus bisa menerimanya walau situasi tak memungkinkan bersatu.

Selain Arga jarang senyum, ia juga jarang terlihat murung, tapi kali ini, raut sedih itu begitu terpampang jelas di wajahnya, membuat kedua sahabatnya itu tak nyaman, mereka memutar otak, bagaimana caranya bisa menemukan ide agar Arga dan pak Rafli bisa menyatu.

STEP FATHERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang