[41] Terhubung

487 55 0
                                    

--Happy reading--

🌸🌸🌸

Kilatan cahaya putih itu muncul begitu terang dan begitu tiba-tiba hingga membutakan Luna untuk sementara. Theodore ambruk di atas Luna, membuat Luna bahkan tidak bisa menghirup udara dan meronta, beban Theodore terlalu berat.

Kelegaan yang menyenangkan mengalir melalui tubuh Luna, ia seharusnya tahu, seharusnya memiliki keyakinan bahwa Draco akan datang dan menyelamatkannya. Ia mendengar Theodore mengerang dan berguling ke samping, mendarat di lantai dengan bunyi gedebuk. Terengah-engah menghirup udara yang sangat dibutuhkan, Luna berkedip, menolehkan kepalanya siap untuk menyebut nama Draco. "Pansy!" serunya, menatap gadis itu dengan sangat terkejut.

"Apa kau baik baik saja?" tanya Pansy, suaranya rendah dan ketakutan. Ia berlutut dan mengulurkan tangan pada Luna. "Biarkan aku membantumu berdiri." Ia menarik Luna ke posisi duduk dan mengusap punggung gadis itu perlahan. "Aku harusnya berada di sini lebih cepat, tapi aku... well, kurasa aku hanya tidak mengira dia akan mencarimu."

Luna mengatur napasnya, menyingkirkan rambutnya yang kusut dari matanya. "Apa? Aku tidak mengerti, Pansy."

Pansy melirik ke arah Theodore yang masih tidak sadar dan ia memejamkan matanya sebentar. "Aku tidak ingin mengakuinya, apalagi di depanmu. Tapi, bukan aku yang diinginkan Theo," kata Pansy sambil mengangkat tangan dan mencengkeram segenggam rambutnya yang baru diwarnai dengan warna pirang. "Itu kau, Luna. Selalu kau. Seharusnya aku menyadari itu sejak awal, tapi aku hanya tidak mau melihat faktanya."

Luna menghela napas pelan, ia bisa mengerti itu. Ia tidak ingin melihatnya sendiri, kecuali bahwa Theodore telah memaksanya untuk melihat sejauh mana perasaan pemuda itu yang sebenarnya. Pernyataan cinta tidak dapat diabaikan tidak peduli seberapa besar ia ingin mengabaikan hal itu.

"Aku tidak mengira dia akan menyakitimu. Tidak pernah. Tidak setelah hal-hal yang dia katakan padamu... well, padaku, ketika dia berpura-pura melihatku sebagai dirimu," koreksi Pansy, alisnya berkerut. "Sungguh kacau."

"Ya," gumam Luna, berjuang untuk berdiri dan mengusap perutnya, bayinya, putra Draco.

Draco.

Nama itu terngiang-ngiang di kepala Luna dan menari-nari di sekujur tubuhnya. Ia menginginkan Draco. Ia membutuhkan Draco. "Aku ingin Draco."

Pansy mengangguk, melingkarkan lengannya di sekitar Luna dan melirik Theodore. "Aku akan kembali kesini sebentar lagi."

Mereka berjalan dalam diam berdampingan menyusuri koridor remang-remang menuju kamar Luna. Luna bisa merasakan kebingungan melanda Pansy, raut wajahnya berubah menjadi bingung. Pansy terus-menerus melirik Luna ketika ia yakin bahwa gadis itu tidak akan memergokinya, dan Pansy harus mengakui pada dirinya sendiri bahwa ia bisa melihat dengan jelas sekarang, selama bertahun-tahun ia benar-benar tidak bisa melihatnya, tapi sekarang, ya, sekarang Pansy bisa melihat daya tarik Luna Malfoy. Draco telah menggunakan kekuatan Malfoy pada Luna, mengubah gadis aneh itu menjadi tuan putri.

"Dia mabuk, Luna. Aku tahu itu bukan alasan untuk memaafkan apa yang dia lakukan. Tapi Theo bukan orang jahat, tidak juga, hanya saja dia terobsesi denganmu. Aku tidak menyadari seberapa dalam hal itu sampai ia menyuruhku mengecat rambutku. Tapi begitulah, Luna, itu sebuah obsesi."

Luna hanya mengangguk. Ia tidak ingin berbicara, yang bisa ia lakukan saat ini adalah terus melangkahkan kakinya ke depan, langkah yang membawanya semakin dekat pada Draco. Luna tidak ingin mendengar Pansy membenarkan perilaku irasional Theodore. Ia sama sekali tidak ingin mendengar suara Pansy mengoceh di telinganya, tapi ia tidak memiliki tenaga untuk menyuruh gadis itu diam.

Gevallen Engel | Druna | END✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang