--Happy reading--
🌸🌸🌸
Jari-jari Luna melingkari pergelangan tangan Draco, matanya melebar sepenuhnya saat ia menatap Draco dengan ketakutan yang terukir di wajahnya. "Apa kau yakin?"
"Aku yakin," jawab Draco, suaranya rendah, ia takut jika ia meninggikan suaranya sedikit saja ia akan menakuti Luna. Luna tampak siap ambruk dan histeris kapan saja. Memang Luna telah melawan Umbridge dan ia telah melawan Lucius dan Pelahap Maut lainnya. Tapi tentu saja, berbeda.
"Kapan?" Luna berbisik. "Kapan dia datang, Draco?"
"Bisa kapan saja sekarang," kata Draco, mencoba melepaskan jari-jari Luna dari pergelangan tangannya. Gadis itu semakin mengencangkan cengkeramannya padanya sampai mencubit kulitnya.
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu," gumam Draco, mencoba melepas tangan kecil Luna. "Kau harus melepaskanku, kau akan memutus peredaran darahku," keluhnya.
Luna melepaskan cengkeramannya dengan cepat. "Maaf, Draco. Apa kau harus pergi menemuinya?"
"Ya," Draco menghela napas berat, mengusap dahinya, ia tidak ingin pergi, ia ingin tetap di tempat tidur, di tempat yang aman.
Lengan Luna melingkari leher Draco dan ia memeluk pemuda itu erat-erat. "Tidak bisakah kau tinggal di sini? Apa kau benar-benar harus pergi?"
"Ya, jika aku tidak pergi, ayahku akan datang ke sini dan menyeretku ke bawah untuk menemuinya," Draco melepaskan diri dari pelukan Luna dan berjalan masuk ke ruang ganti untuk mengambil jubah Pelahap Mautnya. Ia mengancingkan celananya dengan tangan gemetar dan mengenakan kemeja sutra hitamnya, kemeja itu sejuk di kulitnya yang sudah lembab dan Draco merasa tidak nyaman saat ia memasukkan kakinya ke dalam sepatu hitamnya yang berkilau.
"Selalu hitam," ucap Luna pelan, berdiri di ambang pintu ruang ganti dari belakang Draco.
Draco hanya mengangguk, matanya sedikit melebar ketika Luna muncul di cermin tepat di belakangnya, membantu memasangkan jubah hitamnya di atas bahunya dan merapikannya di punggungnya. Tanpa berkata-kata, Luna menyerahkan tongkat Draco, jari-jari gadis itu meremas tangan Draco sebentar sebelum Draco memutuskan kontak dan meletakkan tongkat itu di saku dalam jubahnya.
Mereka berdua terlonjak kaget mendengar suara gedoran keras di pintu kamar.
"Draco! Apa kau sudah siap? Ayo!" panggil Lucius.
Menelan ludah gugup, Draco memeriksa pantulannya di cermin untuk terakhir kalinya, menyisir rambutnya ke belakang dari dahinya, ia memberi anggukan kecil pada Luna. "Jangan pergi kemana-mana, Luna, tetap di sini sampai aku kembali."
"Aku akan di sini," Luna berjanji, berjinjit untuk memeluk Draco.
Lengan Draco melingkari tubuh ramping Luna yang gemetar, merapatkannya ke tubuhnya. Draco tidak ingin pergi, ia ingin tinggal bersama Luna, ia tidak ingin membiarkan gadis itu khawatir sendirian. Memberi ciuman ringan di kening Luna, menangkap aroma samar yang berasal dari kulit gadis itu, Draco menjauhkan Luna darinya dan berjalan keluar dari ruang ganti, melintasi karpet mewah kamarnya ke pintu yang nyaris tidak ia buka lebar saat menyelinap keluar.
Lucius sedang menunggu Draco di koridor yang remang-remang, ia mengamati putranya, senang dengan penampilan putranya itu.
Ayah dan anak itu berjalan berdampingan melewati gambar nenek moyang Malfoy dan Black, berjalan ke ruang tamu. Draco tidak berbicara, ia tidak berpikir ia memiliki suara lagi, wajah berani yang harus ia tunjukkan untuk Luna telah menghilang saat ia melangkah keluar dari kamar mereka. Draco ketakutan, dan seperti anak ketakutan lainnya, ia merasa sedikit lega dengan kehadiran ayahnya. Ayahnya kuat, pemegang kendali, pria yang tangguh; ayahnya selalu membuat Draco merasa lebih baik, seolah-olah tidak ada hal buruk yang benar-benar bisa terjadi padanya selama ayahnya ada di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gevallen Engel | Druna | END✔
Fiksi Penggemar[LENGKAP] Perjanjian telah dibuat, pernikahan harus terjadi, Luna Lovegood dan Draco Malfoy terikat bersama karena secarik perkamen. Tak satu pun dari mereka pernah mengira bahwa pernikahan mereka akan membongkar tumpukan kebohongan dari masa lalu o...