Semua anak beranjak dan mundur menjauhi meja. Tidak terkecuali Sophia. Anak itu ketakutan.
"Semuanya menjauh dari meja!" Kepala pengawal berteriak memberikan perintah.
Ada 5 tentara pengawal yang menghampiri meja. Mereka sigap berlari dimana sebelumnya hanya berdiri di dekat dinding. Bukan hal yang menakutkan bagi seorang serdadu berbaju biru itu ketika menyaksikan sesuatu sebagaimana yang tersaji di atas meja.
"Tenang semuanya ...!" Tuan Gubernur tidak ingin menimbulkan kepanikan. Dia mencoba menenangkan para gadis yang saling berpelukan. Ketakutan.
"Tuan, sebaiknya anda pun menjauh dari meja."
"Hei, ini bukan masalah besar. Tenang saja."
Ketika seorang pemimpin negara berusaha mengendalikan keadaan agar semuanya tetap tenang, tidak demikian dengan anjing peliharaannya. Hewan itu menggonggong keras bahkan berusaha naik ke atas kursi.
"Hei, turun! Kau tidak memperbaiki keadaan."
Si anjing menurut pada majikannya. Tapi dia tidak berhenti menggonggong. Hewan itu nampaknya tidak bisa sabar ketika menyaksikan majikannya dalam bahaya.
Ketika seekor labrador terus menggonggong keras, maka wajar jika seorang gadis malah bertambah panik. Bukan kepanikan yang dibuat-buat. Kepanikan wajar dari sekumpulan anak gadis yang tidak biasa menyaksikan hal mengerikan sebagaimana tersaji di hadapan mereka.
"Tuan, mohon maaf. Kami terpaksa harus membubarkan kegiatan hari ini."
Tuan Gubernur nampak tidak nyaman dengan kalimat yang terlontar dari Kepala Pengawal.
"Ini masalah kecil. Kau tidak perlu membesar-besarkannya."
Si Kepala Pengawal tahu jika ini masalah kecil. Mungkin dia hanya tidak ingin kehilangan muka di depan anak buahnya. Dan, tentu saja di depan staf istana lainnya yang ikut serta bersama Tuan Gubernur.
"Kami hanya berusaha menjalan standar prosedur, Tuan."
Wajah pemimpin Hindia Belanda itu terlihat tidak senang. Dia tidak suka diatur. Aku yang seharusnya mengatur kalian, bukan sebaliknya.
Pagi yang cerah seketika berubah menjadi pagi yang penuh kejutan. Tuan Gubernur tidak ingin kehilangan muka di depan anak-anak kecil yang terlihat menghormatinya. Dan, mengaguminya.
"Anak-anak, ini hanya binatang kecil yang biasa ditemui di kebun. Dahulu, ketika aku bertugas di hutan sering menemui binatang seperti ini."
Gadis-gadis berkulit terang itu tidak bisa terhibur oleh sang gubernur. Bagi mereka, apa yang terlihat terlanjur menakutkan. Sepengetahuan anak-anak itu, hewan sekecil itu pun tetap berbahaya. Bukan hewan lucu seperti labrador milik Tuan Gubernur.
"Tapi, ini bahaya," Kepala Pengawal mencoba menyangkal perkataan tuannya.
Diam! Kau sama seperti anjingku, hanya menebar kepanikan. Tuan Gubernur memelototi Kepala Pengawal sebagai tanda kemarahannya.
"Anak-anak, dia tidak berbahaya. Mungkin dia ingin ikut sarapan dengan kita."
Tuan Gubernur bersikukuh tidak ingin merusak kehangatan acara sarapan pagi. Baginya, waktu seperti demikian teramat langka dan berharga. Dia tidak ingin hal sepele membuyarkan momen yang jarang terjadi di Panti Asuhan.
Acara sarapan pagi itu sebagai satu-satunya kesempatan untuk menunjukan pada setiap orang jika Gubernur Hindia Belanda sungguh peduli pada anak-anak yang kurang beruntung. Sebagai seorang pemimpin sebuah negara besar, Tuan Gubernur terbiasa memikirkan banyak hal dalam waktu bersamaan.
Begitu pula pagi itu. Ketika melihat banyak orang yang merasa panik dengan kejutan pagi itu, dia masih berusaha untuk tersenyum. Bukan hanya karena banyak anak-anak di ruangan itu. Tapi, ada 3 buah kamera daguerreotype* yang sudah bersiap untuk mengabadikan momen penting itu. Dan, Tuan Gubernur tidak ingin terlihat payah jika nanti dia dipotret.
"Sudahlah, singkirkan makhluk kecil ini!"
Tuan Gubernur memberi perintah sambil mengambil sapu tangan untuk mengelap kumisnya. Seorang pengawal sudah siap dengan sebuah karung untuk membungkus hewan kecil di atas meja.
"Ah, apa yang kau lakukan padaku?"
Tuan Gubernur tampak mengibaskan tangannya.
"Anda baik-baik saja?" Kepala Pengawal tampak semakin panik. Hal yang tidak diinginkan terjadi, ternyata terjadi juga.
Tuan Gubernur beranjak dari tempat duduknya. Dia terlihat kesakitan. Wajahnya meringis. Memerah.
Dasar hewan sialan! Tuan menganggukan kepala sebagai jawaban jika dia baik-baik saja.
"Tangkap hewan itu!" Kepala Pengawal memberi perintah pada prajurit yang sedari tadi memegang karung goni.
Piring dan gelas yang tersaji di atas meja disingkirkan. Berharap hewan kecil itu tidak banyak bergerak atau kabur meninggalkan arena.
Urusan si hewan pengganggu bisa teratasi; untuk sementara.
Masalah baru kemudian terjadi. Kepala Pengawal melihat gelagat tidak biasa dari Tuan Gubernur. Laki-laki setengah baya itu tampak sempoyongan.
Sialan, tanganku kebas. Tangan Tuan Gubernur terlihat memerah. Jemari pria paruh baya itu disengat hewan kecil yang tadi tampak di meja.
Ternyata Tuan Gubernur gagal meyakinkan anak-anak jika situasi bisa terkendali. Entah karena kecerobohan atau kesombongan, hewan kecil itu memberontak dan melancarkan serangan. Sebuah serangan yang telak.
"Tenang, Tuan. Kami antarkan anda ke ...," Kepala Pengawal memapah tuannya yang telah kehilangan tenaga.
Ketika menyaksikan situasi tidak terkendali, Kepala Pengawal memberikan isyarat untuk segera menghentikan segala kegiatan. Ibu Panti yang menerima isyarat itu paham apa yang dimaksud Kepala Pengawal. Wanita itu menggiring anak-anak untuk meninggalkan ruangan dan kembali ke kamarnya masing-masing.
"Ibu, mereka masih ada di sini ...." Sophia menunjuk sesuatu.
"Di mana?" Ibu Panti balik bertanya.
"Di bawah meja."
----------------------
* Tipe kamera zaman dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Dendam Sophia
Mystery / ThrillerPemenang Wattys 2022 kategori Wild Card --------------------------------- Tanpa banyak bicara lagi, sarapan pun berlangsung. Sebagaimana sarapan bersama di pagi hari, para gadis menyantap roti dan sup di sebuah mangkok yang disediakan oleh koki khus...