33

831 160 0
                                    

"Sekarang jam berapa?"

"Sudah jam 11 siang, Tuan."

Cahaya matahari menyilaukan mata Tuan Adrian. Lagi, dia bangun lebih siang. Kalau saja wanita pembantu di rumahnya tidak menyenggol sebuah botol kosong, mungkin saja laki-laki itu tidak akan terbangun hingga sore hari.

"Maaf, Tuan. Saya sudah membangunkan Tuan. Saya tidak sengaja menyenggol botol di lantai. Saya tidak melihatnya."

"Ah, tidak apa-apa. Bagus juga kau membangunkanku. Sudah seharusnya aku bangun."

"Saya akan membereskan botol-botol ini, Tuan. Apakah Tuan ingin disiapkan sarapan? Atau, saya antarkan ke sini?"

"Tidak usah. Aku tak akan ke mana-mana. Jadi tidak perlu sarapan."

Wanita berkulit cokelat itu menganggukan kepala. Kemudian dia berjalan ke arah pintu kamar. Namun, dia membalikan badan.

"Tuan, tadi pagi ... ada seorang gadis yang hendak bertemu dengan Tuan."

"Siapa dia?"

"Oh, saya tidak menanyakan namanya."

"Untuk apa dia menemuiku sepagi itu?"

Wanita itu menggelengkan kepala.

"Jika dia datang lagi, katakan padanya aku tidak mau diganggu."

"Tapi, katanya ini penting. Dia harus menemui Tuan. Segera."

Wanita pembantu itu segera keluar setelah tahu majikannya tidak berkenan menemui orang lain. Kamar pengap masih menjadi teman menyenangkan bagi Tuan Adrian karena dia tidak tahu harus melakukan apa lagi hari itu.

Setelah kemarin siang menyaksikan Nyonya Margareth tewas di tiang gantungan, rasa bersalah di pikirannya semakin bertambah. Dia merasa gagal memenuhi harapannya.

Laki-laki itu tidak sanggup menghentikan eksekusi mati pada Nyonya Margareth. Padahal, dia sudah tiba di tempat eksekusi itu beberapa detik sebelum wanita itu menghembuskan nafas terakhirnya. Kala itu penjagaan begitu ketat, sehingga aparat beranggapan jika Tuan Adrian akan menggagalkan acara eksekusi. Sontak, semua petugas menangkapnya.

Karena perasaan bersalah yang teramat dalam seperti itu, sulit baginya untuk memejamkan mata tadi malam. Hanya beberapa botol anggur yang sanggup menghilangkan pikiran yang menganggu, walau sejenak. Sungguh kehidupan yang tak bermakna bagi seorang mantan serdadu seperti dia.

Menyadari demikian, dia mencoba bangkit dari tempat tidurnya. Masih mengenakan sepatu dan kemeja yang dipakai kemarin, Tuan Adrian berjalan keluar kamar sambil menyalakan sebatang sigaret.

Seperti biasanya, dia duduk di kursi goyang. Seekor kucing yang sebelumnya tertidur di sana dipangku kemudian dipeluknya dengan perasaan gemas. Hitam dan putih warna bulu hewan itu terlihat kontras diantara warna furnitur yang cenderung mengikuti warna aslinya, tanpa cat.

Tuan Adrian sangat menikmati setiap goyangan dari kursi yang dia duduki. Sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus dari arah jalan raya.

"Tuan, bila Tuan hendak mandi, saya sudah persiapkan," wanita pembantu rumah itu menyediakan secangkir teh hangat.

"Ya."

"Saya permisi, Tuan."

"Tunggu. Gadis yang tadi berkunjung itu ... cirinya bagaimana?"

"Oh, dia ... berkulit putih, rambutnya pirang dan bergelombang, matanya biru ...."

"Tinggi?"

"Ya, untuk anak seusianya ... dia lumayan tinggi."

"Kira-kira berapa usianya?"

"Mungkin 12 tahun."

Tuan Adrian menganggukan kepala. Wanita itu pun pergi ke dapur.

Siapa dia? Dan, untuk apa dia datang padaku?

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang