22

956 181 1
                                    

Sepatu lars kulit lembu begitu kotor malam itu. Tuan Adrian belum sempat menggantinya atau sekedar mengelapnya. Padahal, ketika masuk ke Istana Gubernur sepatu itu harus selalu bersih. Mengkilap.

Namun, bukan Istana Gubernur yang akan didatanginya. Hanya tempat anak-anak terbuang, sepertiku.

Pintu sudah tertutup rapat ketika Tuan Adrian tiba di sana. Tidak ada suara orang bicara atau  melakukan kegiatan apa pun. Sunyi.

Tangan kanan pria itu bermaksud mengetuk pintu. Dia mengangkat tangannya. Tapi, itu urung dilakukan. Dia menarik kembali tangannya.

Pandangan Tuan Adrian tertuju pada deretan jendela yang berjejer di sebelah kanan. Semua jendela tertutup. Tidak tampak sedikit pun cahaya. Kecuali ada satu jendela yang samar-samar tersinari cahaya.

Laki-laki itu melangkahkan kaki ke arah jendela yang bercahaya. Pelan langkahnya sambil berharap tidak ada orang yang menyaksikan apa yang dilakukannya.

Tidak ada gorden atau apa pun yang menghalangi jendela. Ruangan di dalamnya temaram diterangi oleh sebatang lilin dengan ukuran sebesar pergelangan tangan anak kecil. Lilin itu diletakan di atas meja. Cukup jelas apa benda di sekitarnya. Termasuk setumpuk buku yang terbuka.

Ini ruangan perpustakaan. Rajin sekali orang belajar sendirian saat malam seperti ini.

Awalnya tidak terlihat siapa yang sedang membaca buku di atas meja. Sebelum kemudian ada seseorang duduk di belakang meja. Tepat di sudut yang diterangi lilin.

Anak itu, ternyata suka belajar sendirian.

Cukup lama Tuan Adrian menyaksikan orang di dalam perpustakaan. Terlihat seorang gadis membuka lembaran-lembaran buku tebal dengan sampul kulit kecokelatan. Gadis itu tampak serius.

Ketika mata Tuan Adrian tertuju pada gadis di perpustakaan, perhatiannya teralihkan oleh suara dari balik semak-semak. Krskkk!

Laki-laki itu menoleh ke belakang. Apa itu?

Tidak berselang lama, seekor musang terlihat berlari. Bulu hitam hewan itu semakin tidak terlihat jelas kala malam. Hanya matanya yang terlihat jelas. Ah, kukira apa. Mata hewan itu terlihat bercahaya. Pantulan cahaya dari penerangan di sekitarnya. Tapi, cahaya dari mana? Lampu jalan letaknya jauh dari sini.

Tuan Adrian tidak mempedulikan hewan nokturnal itu. Membiarkannya berkeliaran lebih baik daripada terus memperhatikannya.

Laki-laki itu kembali mengarahkan pandangan ke dalam perpustakaan. Tapi, ada yang mengherankan baginya. Ke mana gadis itu? Cahaya lilin kini hilang bersama hilangnya orang di dalam perpustakaan.

"Tuan, ada yang bisa saya bantu?"

Heggh, Tuan Adrian kaget ketika tiba-tiba ada seseorang berdiri di belakangnya. Dia membawa lilin dengan buku yang sedari tadi dipegangnya.

"Oh, Sophia. Aku ingin bertemu denganmu."

"Bertemu dengan saya, malam-malam begini?"

"Ya, karena kalau siang aku tidak punya banyak waktu."

"Kalau begitu, silakan masuk, Tuan."

Sophia berjalan dengan lilin di tangan kanannya. Dia menuntun Tuan Adrian menuju suatu ruangan yang dikhususkan untuk menerima tamu. Terletak di tengah-tengah diantara area anak laki-laki dan area anak perempuan.

"Silakan duduk, Tuan. Apakah anda berkenan minum teh hangat? Karena hanya itu yang ada di sini. Tidak ada kopi apalagi wine."

"Oh, teh saja sudah cukup bagiku."

Sophia bermaksud mengambil minuman. Tapi, seorang perempuan memintanya untuk duduk. Dia seorang pengasuh yang menjadi wakil Ibu Panti untuk sementara. "Biar Ibu saja yang membawakan minuman."

Sophia mengiyakan permintaan wanita itu. Kemudian duduk berseberangan dengan Tuan Adrian. Mengitari meja kayu berukir tanpa polesan cat warna-warni.

"Apakah ada hal yang ingin Tuan bicarakan dengan saya?"

"Tentu. Aku hanya ingin menanyakan beberapa hal padamu, Sophia."

"Apa itu, Tuan?"

"Kau sudah tidak marah lagi padaku?"

"Marah. Kenapa saya harus marah pada anda, Tuan Adrian."

Aneh, padahal tadi siang dia meronta-ronta meminta Nyonya Margareth dibebaskan.

Percakapan mereka berdua terhenti ketika seorang wanita gemuk datang menghampiri sambil membawa baki lengkap dengan segelas teh hangat. Setelah meletakan gelas di meja, wanita itu pun berlalu kembali ke belakang. Tubuhnya yang gemuk perlahan hilang ditelan gelapnya koridor yang menghubungkan dapur dan ruang tamu.

"Tuan, apakah hanya itu yang akan anda tanyakan?"

"Tidak juga, aku hanya penasaran padamu, Sophia."

Sophia setia mendengarkan.

"Ketika acara sarapan bersama Tuan Gubernur, kenapa kau duduk di dekat dia?"

"Karena saya senang bisa bertemu Tuan Gubernur."

"Sophia, kau yang pertama kali melihat kalajengking itu kan?"

Sophia menganggukan kepala. Dia terlihat antusias menyimak di balik gaun tidur yang dikenakannya.

"Kau tahu, darimana datangnya binatang itu?"

"Entahlah, Tuan. Saya hanya melihat binatang itu di meja."

"Kau yakin, tidak ada seseorang yang meletakannya di sana."

Sophia menggelengkan kepala.

"Bukan kau?"

Sophia memasang wajah kaget.

"Kau ... tidak sedang berpura-pura kaget, kan?"

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang