Tuan Adrian menunggu di ruang tamu. Laki-laki itu begitu gelisah. Tangan dan kakinya terus bergerak-gerak, tidak bisa diam. Sesekali dia menggigit jemari tangan untuk mengusir kegelisahan itu. Namun, tidak berhasil.
"Buku itu tidak ada di lemari, Tuan." seorang wanita pengasuh datang memberitahu sesuatu.
"Tidak ada. Kau yakin?"
"Tentu, Tuan. Saya sudah mencari di lemari milik Sophia. Benda itu tidak ada."
"Kau tahu buku yang kumaksud, kan?"
"Tentu, Tuan. Hampir setiap hari saya melihat gadis itu membaca buku itu."
"Seingatku, buku itu disampul kulit rusa berwarna kecokelatan."
"Ya, buku demikian."
Tuan Adrian menatap wanita pengasuh bertubuh gemuk itu. Kau tidak sedang berbohong padaku?
"Kenapa Tuan menatap saya begitu. Demi Tuhan, saya tidak sedang berbohong."
Tuan Adrian pun berdiri. Dia berpikir sejenak, menimbang-nimbang keadaan. Aku harus menggunakan cara seorang prajurit dibanding cara seorang pengasuh. Hal demikianlah yang terlintas dalam pikirannya.
Laki-laki berkulit gelap itu berjalan menyusuri lorong. Langkah tegap dan tergesa.
"Tuan, saya mohon. Anda jangan berlaku kasar pada anak itu," si wanita pengasuh memohon pengertian.
"Lalu, aku harus bagaimana?"
"Tuan, bagaimana pun dia masih terlalu muda untuk terseret masalah sebesar ini."
"Nyonya, saya meminta anda untuk memilih ... mengikuti cara saya ... atau ... Nyonya Margareth _atasan anda_ dihukum mati karena kesalahan yang tak pernah dia lakukan!"
Wanita pengasuh itu tidak bisa berkata-kata lagi. Sebuah dilema.
Mereka berdua berjalan diantara deretan pintu-pintu berukuran besar. Semuanya berbahan dasar kayu dengan model pintu berjelusi, tanpa kaca. Diantara deretan pintu itu bersanding jendela-jendela besar dengan model sama. Lengkungan di pangkal jendela berfungsi juga sebagai jalan udara agar ruangan di sana tidak terasa pengap.
"Di mana dia?"
"Di ruang belajar, Tuan."
Beberapa saat kemudian mereka berdua tiba di sebuah pintu sebelum kamar mandi dan gudang. Setelah tiba di pintu yang dimaksud, mereka berdua berhenti melangkah.
Si wanita pengasuh menganggukan kepala. Dan, Tuan Adrian pun mengerti maksudnya.
Tuan Adrian membuka pintu.
Sontak, semua gadis yang sedang asyik dengan alat tulisnya menoleh ke arah Tuan Adrian. Laki-laki itu berdiri di depan pintu dengan topi bundar dan jas ekor panjang hingga mencapai belakang lutut. Mereka kaget dengan kedatangan pria yang dikenal sebagai "penangkap" Ibu Panti.
"Tenang, anak-anak. Aku tidak akan menyakiti kalian. Aku hanya ingin menengok kalian ... dan bertemu ... Sophia."
Semua anak yang ada di dalam ruangan itu saling lirik.
"Kenapa? Di mana Sophia? Dia tidak terlihat di sini."
Pandangan Tuan Adrian tertuju pada seluruh ruangan. Ternyata Sophia tidak ada di sana. Tuan Adrian merasa heran, kenapa gadis itu tidak ada di sini. Apakah dia sudah tahu akan kedatanganku?
Tuan Adrian membalikan badan. Dia meninggalkan ruangan belajar. Kebetulan seorang guru yang sedari duduk di kursinya, hanya bisa terdiam. Seorang wanita dengan gaun putih memandang ke arah si wanita pengasuh. Wanita bertubuh gemuk dan bergaun hitam itu hanya mendekatkan jari telunjuk ke bibirnya.
"Tuan Adrian, anda mau ke mana?"
"Ke mana anak itu? Kenapa dia tidak ada di ruang belajar?"
Tuan Adrian berjalan ke arah kamar mandi.
"Tuan, anda sudah melanggar ...."
Wanita itu belum menyelesaikan kalimatnya. Tuan Adrian mengetuk pintu kamar mandi yang biasa digunakan secara bersamaan oleh anak-anak di Panti Asuhan.
"Hei, adakah orang di dalam?"
Tidak ada jawaban dari dalam. Tuan Adrian mulai gusar. Untungnya wanita itu mengerti maksud laki-laki di depannya. Dia sendiri masuk ke kamar mandi dan memeriksa setiap bilik yang ada di dalamnya.
"Dia tidak ada di dalam, Tuan."
Tuan Adrian semakin tidak tenang. Aku diburu waktu, tidak bisa terus seperti ini. Aku sulit memaafkan diriku sendiri jika Margareth harus dihukum mati karena kesalahanku menangkap orang.
"Aku akan mencarinya di tempat lain," Tuan Adrian meninggalkan wanita pengasuh.
Laki-laki itu bergegas menuju pintu keluar di ujung koridor.
Dia membuka pintu. Tampaklah seseorang yang tengah dicarinya. Orang itu sedang berdiri di tengah pekarangan. Tepat dibawah pohon asam jawa yang tumbuh rimbun di antara bunga warna-warni.
"Sophia, sedang apa kau di sini? Kenapa kau tidak ikut belajar bersama temanmu?"
Orang yang ditanya tidak langsung menjawab. Dia malah berjalan ke arah ayunan yang dipasang di cabang pohon asam jawa. Ayunan itu terbuat dari tali tambang berbahan serabut kelapa. Di ujungnya, dipasang papan kayu jati yang sudah kusam karena begitu sering diduduki.
Tuan Adrian berjalan mendekati Sophia yang berayun-ayun di bawah pohon. Dengan pelan, laki-laki itu memperhatikan sesuatu yang tidak lumrah dilakukan oleh seorang gadis ketika temannya sedang sibuk belajar di ruang belajar.
"Apa yang kau bakar, Sophia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Dendam Sophia
Mystery / ThrillerPemenang Wattys 2022 kategori Wild Card --------------------------------- Tanpa banyak bicara lagi, sarapan pun berlangsung. Sebagaimana sarapan bersama di pagi hari, para gadis menyantap roti dan sup di sebuah mangkok yang disediakan oleh koki khus...