"Raden, apakah Tuan Adrian benar-benar akan menemui Sophia?"
"Sepertinya begitu. Dan, memang harus begitu untuk membuktikan ucapan kita."
Pagi itu diawali oleh percakapan yang sama dengan hari sebelumnya. Menunggu pembeli menghampiri, Bajra dan Panca memperkirakan apa yang telah dilakukan oleh Kepala Penjaga setelah mereka berdua bicara mengenai kecurigaan mereka pada Sophia.
"Dagangan kita masih banyak, sepertinya kita harus menginap beberapa malam lagi di Batavia."
Mereka berdua menoleh ke arah pedati yang berada di belakang. Tumpukan gerabah masih tampak di dalamnya. Diantara barang perabotan berbahan dasar tanah itu, setumpuk jerami digunakan sebagai bantalan. Memang sebuah pemandangan yang khas ditemukan pada seorang pedagang gerabah yang sering datang ke Batavia.
Sebenarnya Panca dan Bajra bukan satu-satunya pedagang gerabah yang datang jauh dari luar Batavia. Ada juga beberapa pedagang dari Banten dan sekitarnya serta sengaja menjajakan barang dagangan mereka menggunakan pedati.
"Sekarang saingan jadi banyak," Panca mulai menganalisa, "padahal kata orang tua kita dulu, dagangan gerabah dari Desa Pujasari cepat habis tidak sampai menunggu hingga sepekan."
"Orang-orang juga sudah banyak yang beralih ke perabotan kaca dan logam."
"Seperti toples untuk menyimpan makanan."
"Kau masih memikirkan hal itu, ya."
"Tentu saja, Raden. Saya penasaran ... apakah perkiraan saya itu benar atau salah."
Panca tertawa ketika mendengar Bajra mengucapkan kalimat yang terkesan penuh percaya diri. "Bagaimana kalau perkiraanmu salah?"
"Ah, saya tidak berharap begitu."
"Paling juga Tuan Adrian akan marah-marah karena menambah-nambah pekerjaannya."
"Tapi kita tidak sedang membela siapa-siapa, Raden. Apakah Tuan Adrian pun tidak akan merasa bersalah jika dia salah menangkap orang?"
"Ya, aku juga berpikir begitu. Apalagi jika terpidananya sudah dihukum mati. Tidak ada tempat untuk memperbaiki kesalahan."
"Ya, karena orangnya sudah tiada."
Sebuah percakapan yang serius di kala pagi baru saja dimulai. Sebagai usaha mengusir kebosanan menunggu pembeli yang datang, membicarakan hal serius bisa menghidupkan pikiran.
Memperhatikan orang yang lalu lalang namun tidak membeli barang dagangan bisa membosankan. Apalagi orang yang datang sekedar bertanya-tanya _berbasa-basi_ tapi tidak membeli. Itu terjadi bukan hanya sekali atau dua kali, tapi berulang-ulang.
"Kau lapar? Setelah ini kita cari makanan. Sekedar pengganjal perut."
Bajra menganggukan kepala. Dia senang mendengar kata makanan.
Bagi Bajra, makanan bukan hal yang sulit didapatkan. Wajar saja tubuhnya gempal. Suatu hal yang jarang ditemui di masa itu dimana rakyat jelata hidup susah.
"Kalau di Desa Pujasari, sepagi ini saya sudah makan 3 potong singkong."
"Ya, dipanggang di dalam tungku."
"Dengan gula aren. Enaknya."
"Tapi ini Batavia, makanan harus dibeli dengan uang. Kebon singkong memang ada di depan rumah orang, tapi itu tidak gratis."
"Itulah yang harus disyukuri. Masih banyak orang yang sulit makan di kota sebesar ini."
"Iya, daging ayam pun menjadi barang mahal di sini. Padahal di rumahku ayam berkeliaran seperti hewan liar."
Bajra senang membicarakan hal ironi dalam kehidupan di sekitarnya. Dia juga tahu jika Panca adalah seorang priyayi. Hanya saja, di mata Bajra sahabatnya itu tidak menjaga jarak dengan rakyat kebanyakan.
Menertawakan kehidupan sebuah pemikiran orang dewasa. Meskipun itu dilakukan oleh anak remaja yang baru mengerti kehidupan.
"Sebuah pembicaraan yang serius, Nak."
Seseorang tiba-tiba saja bicara. Sumber suara itu datang dari arah belakang. Tentu saja Panca dan Bajra menoleh untuk memberikan perhatian.
"Eh, Tuan Adrian. Sepagi ini menghampiri kami?"
"Hanya mengisi waktu luangku. Setidaknya, sebelum benar-benar dipecat dari Kepala Pengawal."
"Apakah Tuan akan membeli ...?"
"Tidak. Aku datang ke sini hanya ingin mengucapkan terima kasih pada kalian. Nah, kubawakan makanan buat kalian sarapan."
Mendengar kata "makanan" membuat sumringah Bajra. Dia langsung mengulurkan tangan untuk menerima bungkusan makanan dari Tuan Adrian.
"Ternyata omongan kalian ada benarnya. Gadis itu memiliki boneka yang bisa ditukar isinya."
"Apakah itu bisa menjadi bukti untuk ...."
"Belum. Bukti itu belum cukup. Kita masih punya cukup waktu untuk mencari bukti tambahan."
"Kita ...."
"Ya, kuharap kalian membantuku."
Bajra menoleh ke wajah Panca.
"Tenang, aku bisa menyiapkan banyak makanan. Kalau perlu, semua barang dagangan kalian aku beli."
"Benarkah?"
"Ya. Aku hanya bisa berharap pada kalian. Sekarang aku sendiri, tanpa seorang pun prajurit."
Bajra mengerti kenapa Tuan Adrian membawakan makanan untuk sarapan pagi itu. Ternyata ini sogokan.
"Tapi, Tuan. Apa yang harus kami lakukan?" Panca menanyakan hal yang bersifat teknis.
"Kita bagi tugas. Kalian mencari orang yang kalian sebut Si Pembawa Pesan. Kita cari tahu siapa dia. Dan, apa hubungannya dengan kejadian di Panti Asuhan."
"Tugas yang tidak mudah," Bajra mulai mengeluh.
"Oh, jadi kalian tidak mau membantuku? Ingat, tidak ada lagi penawaran ...."
"Kami siap, Tuan. Kami siap."
"Baiklah, selagi kalian mencaritahu siapa Si Pembawa Pesan maka tugasku adalah mengorek keterangan dari anak-anak di Panti Asuhan itu. Sore hari, kita bertemu di sini."
"Tuan, kenapa Tuan menaruh kepercayaan pada kami?"
"Karena, aku merasa ... ini masalah yang melibatkan para petinggi Batavia. Aku tak mau melibatkan orang-orang Pemerintah, termasuk anak buahku sendiri."
"Kami mengerti. Kami pun berharap Nyonya Margareth bukan orang yang dituduh bersalah."
"Ya, dan bukan hanya itu motifku melakukan ini ... aku hanya tidak ingin mengakhiri karirku dengan sebuah citra buruk. Aku ingin dikenang sebagai pengawal yang setia dan bisa bekerja baik."
Panca dan Bajra mengerti.
"Satu hal yang ingin kutekankan, jika kalian mencoba berkhianat atau menjadi bagian dari usaha pembunuhan Gubernur Jenderal ... maka aku tidak segan-segan untuk menghabisi kalian. Kalian lebih mudah kutangani ...."
Darah Panca dan Bajra berdesir mendengar ancaman Tuan Adrian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Dendam Sophia
Mystery / ThrillerPemenang Wattys 2022 kategori Wild Card --------------------------------- Tanpa banyak bicara lagi, sarapan pun berlangsung. Sebagaimana sarapan bersama di pagi hari, para gadis menyantap roti dan sup di sebuah mangkok yang disediakan oleh koki khus...