57

683 158 0
                                    

"Sedang apa kau di sini?"

Seorang serdadu kaget ketika pundaknya ditepuk oleh Tuan Adrian. Dia menoleh pada orang yang bertanya.

"Tuan, saya sedang mencari seseorang."

"Siapa?"

"Maaf, Tuan. Saya tidak bisa mengatakannya pada Tuan."

Prajurit itu mengenal betul siapa yang bertanya. Beberapa hari lalu dia adalah bawahan  Tuan Adrian. Tentu saja sebelum laki-laki paruh baya itu dipecat sebagai Komandan Pasukan Pengawal Istana.

"Kenapa kau tidak mau berterus terang padaku? Apakah karena aku bukan atasanmu lagi?"

Si prajurit tidak menjawab.

Tuan Adrian menghela nafas. Dia menatap ke arah kerumunan yang terus bersorak-sorai gembira ketika menonton pertunjukan.

"Sophia? Kau mencari Sophia kan?"

Air muka si prajurit berubah. Dia keheranan ketika tahu jika mantan komandannya itu bisa menebak nama orang yang dicari.

"Benar, kan?"

Si prajurit masih belum sanggup berterus terang. Tangan kanan pemuda berkulit gelap itu berkeringat. Untuk mengusir kegugupan, tangannya itu diketuk-ketukan pada popor senapan.

"Jadi, sekarang ... kalian pun mencurigai gadis itu?"

Lagi-lagi si prajurit tidak sanggup menjawab. Dia bimbang, antara harus berterus terang pada Tuan Adrian atau menyembunyikan tugas apa yang sedang diembannya.

"Sudah sejak lama aku mencurigai gadis itu. Tapi, kalian tidak mempercayai. Kini, setelah ada korban ... kalian baru menyadarinya."

Tuan Adrian kesal dengan sikap Komandan Pasukan Pengawal Istana yang baru. Penerusnya itu tidak mau menanggapi pendapat Tuan Adrian tentang Sophia. Beberapa kali mereka bertemu, namun pihak pasukan pengawal masih sulit percaya jika Sophia memiliki perangai jahat.

Mungkin kepercayaan mereka pada Tuan Adrian tumbuh seiring dengan kejadian yang menimpa wanita pengasuh di Panti Asuhan. Dalam kejadian itu, penyidik kepolisian menemukan kejanggalan. Walaupun kejanggalan itu baru sebatas dugaan.

"Tadi, aku bertemu dengan salah seorang temanmu, dia sudah mengetahui jika aku mencoba membuktikan kecurigaanku  pada Sophia. Dan, sepertinya kalian percaya jika gadis itu memang berbahaya."

Mata Tuan Adrian tidak henti-hentinya diarahkan pada kerumunan orang yang semakin ramai. Sambil berharap bisa menemukan gadis itu.

"Tuan, jika boleh saya jujur, sebenarnya saya sudah curiga sejak kejadian ... sarapan pagi itu."

"Kenapa kau tidak mengatakannya padaku," Tuan Adrian sedikit heran dengan sikap mantan anak buahnya.

"Eee, saya merasa jika tidak punya alasan kuat untuk menuduh gadis itu."

"Sama, nalarku sulit menerima jika seorang gadis berusia 10 tahun sanggup membunuh orang."

Prajurit itu menganggukan kepala sembari terus menyelisik setiap jengkal Pasar Rakyat. Tenda-tenda yang berdiri kini tertiup angin dan hampir roboh. Mungkin tenda itu dibangun tergesa sehingga kurang kokoh. Namun, tak tampak seorang anak kecil dengan ciri yang sama sebagaimana Sophia.

Tuan Adrian dan prajurit pengawal itu berjalan menyusuri gang kecil diantara tenda-tenda. Berbagai macam barang dagangan terpajang di sana. Mulai dari mainan hingga perabot rumah tangga.

"Nyonya, apakah anda melihat seorang anak kecil, perempuan, memakai gaun putih?" Tuan Adrian bertanya pada seorang pedagang.

"Itu?" Wanita menunjuk seorang gadis yang sedang memakan gula-gula di pojok tenda.

"Dia anakmu?"

"Ya."

"Maaf, tapi bukan dia yang kami cari."

Anak kecil yang sedang duduk di pojok tenda itu heran ketika ada 2 orang dewasa mencarinya. Kenapa mereka mencariku?

Tuan Adrian kembali menyusuri gang. Kepalanya mulai terasa pusing. Ah, ini akibat kurang tidur.

"Tuan, anda baik-baik saja?"

"Ya, aku hanya sedikit pusing. Semalam aku kurang tidur."

"Sebaiknya Tuan istirahat dahulu. Biarkan saya meneruskan pencarian."

Tuan Adrian harus mengakui jika dia sudah tidak muda lagi. Rasa lelah lebih sering menjangkiti tubuhnya akhir-akhir ini.

"Ya, kau teruskan mencari gadis itu. Aku duduk saja dahulu di sini," Tuan Adrian memberi isyarat dengan menunjuk ke ujung gang.

Tuan Adrian pun duduk di bangku. Tepat di depan sebuah tenda yang menjual minuman.

"Tuan, sepertinya anda membutuhkan secangkir kopi," seorang pelayan menawari laki-laki berbaju jas abu-abu itu secangkir kopi.

"Ya, secangkir kopi. Tapi, aku minta juga air putih. Kerongkonganku kering."

"Baiklah. Nampaknya cuaca hari ini begitu panas."

"Ya, tapi ternyata orang-orang rela berdesakan di cuaca sepanas ini."

"Ini pergelaran setahun sekali, Tuan. Suasana seperti ini tidak ada setiap hari, Tuan."

Seorang peracik kopi begitu cekatan menyeduh puluhan cangkir kopi dalam waktu hampir bersamaan. Pesanan kopi pagi itu cukup banyak. Mungkin saja banyak orang yang kurang tidur tadi malam. Maka tidaklah mengherankan begitu banyak orang memesan secangkir kopi.

"Sudah sejak semalam berjualan di sini?"

"Ya, Tuan. Sejak malam tadi. Kami belum sempat tidur," pelayan itu bicara sambil sesekali menyeka keringat di bawah kain yang membalut kepalanya.

"Oh, kalian sungguh pekerja keras."

"Sudah menjadi resiko berjualan di Pasar Rakyat."

Tuan Adrian menganggukan kepala. Dia paham dengan pelayan kedai kopi itu.

Secangkir kopi tersaji. Uapnya mengepul ke udara. Kopi masih panas, tapi laki-laki itu ingin segera menghabiskannya. Dia tidak memiliki banyak waktu.

Tangan kanan Tuan Adrian mengangkat cangkir berbahan seng dengan tangan kanannya. Matanya mengarah pada orang-orang yang lalu lalang di gang antara tenda-tenda.

Bola matanya terbelalak. Dia melihat sesuatu yang mengundang perhatian.

Ha, ternyata kau di sana gadis berhati iblis.

Tuan Adrian beranjak. Dia meletakan uang recehan di meja kemudian pergi.

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang