8

1.7K 293 1
                                    

Sophia sulit mengerti dengan kedatangan 2 anak remaja tanpa alas kaki ke Panti Asuhan. Seorang diantara mereka tampak gempal, penampilan yang jarang ditemui pada anak pribumi di Batavia.

"Apakah mereka pedagang pot bunga?" Sophia bertanya pada Kepala Pengawal.

"Ya, kau pernah melihat mereka berdua?"

"Tentu, Tuan. Saya sendiri yang membantu mengangkat pot bunga ini, bersama anak yang lain."

Kepala Pengawal tampak berpikir. Laki-laki itu melirik Ibu Panti. Mereka berdua saling pandang dengan tatapan begitu tajam.

Sophia merasa ada ketegangan diantara Ibu Panti dan Kepala Pengawal. Mereka semakin memperlihatkan ketidaksukaan satu sama lain. Ketika Kepala Pengawal terlihat menenangkan diri, sebaliknya Ibu Panti mempertontonkan sikap menentang. Dagu lancip wanita Eropa itu terangkat. Kedua tangannya dilipat di depan dada.

"Anda akan tetap menyalahkan kami melihat keadaan ini?"

"Saya tidak berkata demikian, Nyonya," Kepala Pengawal tidak ingin memperuncing keadaan dengan meladeni perdebatan dengan Ibu Panti.

"Lalu, kenapa anda memanggil Raden Panca dan temannya ini?"

"Oh, anda mengenalnya?"

"Tentu. Saya langganan gerabah pada anak ini. Dan, Raden Panca cukup dikenal di Batavia. Apakah anda tidak mengenalnya?"

Kepala Pengawal tidak menjawab.

"Ah, dunia anda terlalu sempit, Tuan. Hanya seputar istana Gubernur Jenderal. "

"Anda tidak perlu berkomentar tentang apa yang saya ketahui, Nyonya."

Sophia tidak tertarik dengan obrolan saling sindir diantara kedua orang dewasa di depannya. Anak itu lebih tertarik pada makhluk-makhluk kecil yang menggeliat di rongga pot bunga.

Sophia tampak ketakutan sekaligus penasaran pada sekelompok kalajengking yang sedang dimasukan ke dalam karung goni. Kedua serdadu yang melakukannya terlihat begitu berhati-hati, mereka ingin "barang bukti" itu masih hidup ketika diperlukan suatu saat nanti.

"Tuan, maaf, kenapa tidak dibunuh saja kalajengking-kalajengking itu?" Bajra memberanikan diri untuk bicara demi memuaskan rasa keheranannya.

Kepala Pengawal menatap Bajra, dia tersenyum. "Ini bisa menjadi barang bukti."

"Barang bukti?"

"Untuk membuktikan, sebenarnya siapa yang salah ... kalian ... atau ... nyonya ini ...."

Bajra kaget ketika mendengar Kepala Pengawal bicara sebuah kesalahan. Begitupula Panca yang sulit mengerti kenapa harus ada pembuktian diantara mereka.

"Maaf, Tuan. Saya tidak paham," Panca membungkukan badan ketika bicara.

"Tunggu saja dahulu di sini. Nanti kalian berdua akan paham."

Suasana menjadi hening sejenak. Mereka menunggu kedua tentara untuk mengumpulkan kalajengking yang masuk ke dalam karung.

Suatu keadaan yang penuh pertanyaan. Bagi Panca dan Bajra, mereka diundang untuk sekedar memperhatikan puluhan ekor kalajengking yang berkumpul di dalam pot bunga. Bagi Sophia, melihat sekumpulan kalajengking hanya membuat sifatnya terlihat sebagaimana layaknya anak kecil, antara takut dan rasa penasaran yang tinggi. Sedangkan Ibu Panti, menyaksikan makhluk beruas itu hanya membuang waktunya.

Sophia menjadi satu-satunya gadis di Panti Asuhan yang menyaksikan bagaimana sekumpulan hewan liar bersarang tepat di tempat mereka berkumpul kala pagi. Andai saja semua gadis melihatnya, dapat dipastikan teriakan anak-anak itu bisa mengganggu para petugas keamanan bekerja.

"Sophia, sekarang kau boleh masuk ke kamar," Ibu Panti memberi perintah dengan bahasa lebih halus.

"Baik, Bu."

Sophia bermaksud melangkah menjauh dari tempatnya berdiri. Tapi, Kepala Pengawal tidak memperkenankan anak itu pergi.

"Tunggu dulu, kehadiran anak ini masih diperlukan."

"Untuk apa lagi, Tuan?"

"Nyonya, saya ingin urusan ini selesai hari ini juga ...."

"Urusannya sudah selesai. Anda sendiri melihat jika hewan-hewan liar  itu dimasukan ke dalam karung. Mau apa lagi?"

Kepala Pengawal menghela nafas. "Nyonya, bukan hewan ini yang menjadi akar masalahnya."

"Lantas apa?"

"Kenapa ada hewan-hewan liar ini di sini? Siapa yang meletakannya di sini?"

Ibu Panti semakin gusar dengan pertanyaan Kepala Pengawal. Laki-laki itu melirik Panca dan Bajra yang masih berdiri di sana.

"Maaf, Tuan. Kami tidak tahu menahu. Memang benar kami menjual pot ini tetapi kami tidak meletakan seekor pun kalajengking di dalamnya."

"Kalau bukan kalian ...."

"Tuan, anda menuduh saya?" Ibu Panti merasa terpojokan.

Bajra mengangkat kedua tangannya kemudian ikut bicara, "maaf Tuan, bolehkah saya memberikan pendapat?"

Kepala Pengawal menganggukan kepala.

"Menurut perkiraan saya, hewan ini ... datang dari arah kebun ...."

"Bukan, Nak. Hewan ini tidak datang dari kebun atau dari mana pun itu. Hewan ini seperti dikumpulkan di sini."

"Dikumpulkan?"

"Ada lubang yang dibuat rapi di dalam pot bunga ini. Seseorang menjadikannya sarang kalajengking dan memberikannya makanan sehingga tidak membuat mereka pergi menjauh."

Semua mendengarkan penjelasan Kepala Pengawal, kecuali Sophia.

Anak gadis itu lebih tertarik dengan perilaku hewan-hewan itu daripada cerita Si Kepala Pengawal. Mata Sophia terlihat membesar. Tanpa sadar, kakinya melangkah mendekati kedua serdadu yang sedang menangkapi makhluk berbisa itu. Kepala Pengawal merasa heran dengan kelakuan si gadis.

"Sophia, kau tidak takut pada kalajengking?"

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang