20

1K 181 0
                                    

"Kita harus segera menemui Tuan Kepala Pengawal, Raden."

"Ya, tapi apa yang akan kita bicarakan dengan dia?"

Bajra semakin merasakan kegelisahan ketika dia menaruh kecurigaan begitu besar pada Sophia. Tepatnya, pada boneka yang dibawa Sophia.

"Toples, ya ... pasti toples itu dibungkus oleh boneka berbahan kain."

Panca paham maksud Bajra. Namun, kecurigaan saja tidak bisa menjadi alasan untuk menuduh Sophia.

"Dia masih terlalu kecil untuk terlibat dalam hal sebesar ini, Bajra."

Bajra sulit untuk tidak curiga pada Sophia. Perasaannya mengatakan itu. Namun, logika Panca juga masuk akal.

"Bukankah kau sendiri yang pernah mengatakan jika anak-anak itu bukan pihak yang pantas dijadikan tersangka?"

"Ya, Raden. Tapi, pikiran saya dipenuhi oleh keingintahuan. Saya hanya ingin tahu dengan jelas, apa isi tubuh boneka itu."

Panca menganggukan kepala. Dia memaklumi jika rasa ingin tahu sahabatnya itu begitu besar. Apalagi di warung nasi, dia baru saja tahu jika orang-orang Eropa terbiasa menggunakan toples kaca untuk menyimpan makanan.

Bajra merebahkan tubuhnya ke belakang. Bersender pada tumpukan gerabah.

"Hei, jangan bersender ke belakang. Nanti gerabahnya bisa pecah!"

"Oh, maaf Raden. Saya lupa."

Bajra tersenyum malu. Dia kembali memandang ke depan. Sebuah jalan berbatu kerikil yang menghubungkan banyak tempat di Batavia. Lagi-lagi, mereka berdua bertemu dengan segerombolan burung tekukur sedang mencari beras yang tercecer di jalanan.

"Raden, jika orang-orang Sunda terbiasa menyimpan beras di gentong tanah? Kalau orang Eropa biasa menyimpannya di mana ya?"

"Entahlah, aku tidak tahu."

"Andaikan, saya bisa memeriksa semua ruangan di Panti Asuhan itu."

"Untuk apa? Kita tidak punya kewenangan sejauh itu."

"Tentu saja untuk mencari tahu, ada apa sebenarnya di dalam sana?"

Panca menarik tali kekang. Menghentikan pedati. Si sapi pun menghentikan langkah kakinya.

"Jika kita bisa ke sana, kau mau apa?"

"Saya harus mencari tahu apa yang tersembunyi di sana. Mungkin dimulai dari ruangan penyimpanan makanan."

"Ah, lagakmu. Sudah seperti detektif saja."

"Harus, Raden! Atau, kita akan terseret lebih jauh masalah ini. Ingat, kita bisa dihukum gantung!"

Panca pun memikirkan hal yang sama dengan Bajra. Dia menatap ke arah gedung di sebelah kanan jalan.

"Itu gedung Panti Asuhan. Semuanya berawal dari tempat ini."

"Menurut saya, gedung ini menyimpan banyak misteri, Raden."

"Kalau demikian, semua gedung di Batavia ini ... sering menyimpan misterinya sendiri. Kita tidak tahu, apa dan siapa yang mengisi gedung-gedung megah di sini."

"Raden, ternyata bicaramu lebih sulit dimengerti seperti pejabat negara saja."

"Bajra, jika kau lebih lama tinggal di Batavia, aku kira pikiranmu akan lebih rumit dibanding aku. Kota ini bukan hanya tempat manusia-manusia berkumpul dan beranak-pinak. Di kota ini, banyak terjadi hal-hal besar yang tidak pernah kita temui di desa kita."

"Seperti saat ini, saya harus dihadapkan pada usaha pembunuhan seorang pemimpin negara."

"Padahal usia kita masih terlalu muda untuk terlibat hal ini."

Benar seperti yang dikatakan Panca. Kala itu, Batavia adalah kota tempat berkumpulnya manusia-manusia dengan segala ambisi yang membara dalam hatinya.

Ketika mereka berdua harus menjadi saksi atas usaha pembunuhan seorang pemimpin negara, maka hal yang terlintas dalam pikiran mereka hanya ketakutan. Takut jika mereka malah dijadikan tersangka selanjutnya. Mereka tidak tahu bagaimana semua itu terjadi.

Entah kebetulan atau tidak, Panca dilibatkan dalam hal besar ini.

"Bajra, aku pernah mengatakan jika ada seseorang yang sengaja datang ke lapak tempatku berdagang. Dia, sengaja mengirim pesan jika Nyonya Margareth memesan pot bunga."

"Ya, dimanakah dia? Apakah polisi sudah menanyainya?"

"Entahlah. Tapi, sepertinya dia luput dari perhatian. Orang itu pun tidak pernah aku lihat lagi."

"Kita harus tahu, siapa dia. Dan, kenapa dia menemuimu?"

"Kau tahu ciri-cirinya, Raden."

"Tidak ada ciri yang khusus. Sama seperti kebanyakan orang di Batavia. Seorang laki-laki, berusia sekitar 50 tahunan. Dan, dia beruban. Seluruh rambutnya putih, panjang sebahu."

"Saya belum pernah lihat orang seperti itu, Raden."

"Dia ... bicara dalam logat yang aneh, bukan Sunda, Melayu apalagi Cina."

"Orang Eropa?"

"Bajunya, seperti orang pribumi. Kulitnya lebih gelap dari kebanyakan orang Eropa."

"Sulit juga mencari ciri orang seperti itu. Kecuali, waktu itu dia menyamar?"

"Menyamar?"

"Kita harus tahu siapa dia, buat apa dia sengaja menghubungimu?"

"Mungkinkah dia mengenalku secara pribadi?"

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang