48

723 160 0
                                    

"Nyonya, kami mohon. Izinkanlah kami masuk ke dalam," Panca memelas pada petugas Perpustakaan Kota.

"Tidak bisa. Kalian tidak memenuhi syarat untuk masuk ke dalam." Seorang wanita muda dengan gaun putihnya tampak angkuh ketika bicara.

"Memangnya, syaratnya apa jika kami bisa masuk ke dalam sana?"

Panca bertanya pada petugas perpustakaan yang masih terkesan menyibukkan diri mencatat di sebuah buku besar. Kacamata bulat terhias di wajahnya. Rantai kacamata terkalung di leher sehingga sewaktu-waktu dilepas tidak perlu menyimpannya di sembarang tempat.

"Kalian baca saja di papan pengumuman. Itupun kalau kalian bisa membaca."

"Baiklah, Nyonya. Terima kasih."

Panca berjalan ke arah papan pengumuman yang tertempel di dinding. Ukuran papan pengumuman itu cukup besar. Panjangnya hampir 5 meter dengan lebar 1 meter. Memuat banyak sekali pengumuman dan selebaran. Tertempel juga lembaran koran terbitan terbaru.

"Bahasa Belanda, kau mengeri?" Panca bertanya pada Bajra.

"Mungkin."

Panca menoleh ke arah petugas Perpustakaan Kota yang tersenyum kecut dari balik kaca. Memangnya kalian mengerti.

"Oh, pantas saja Nyonya itu tidak memperbolehkan kita masuk, Raden."

"Kenapa, Bajra?"

"Kita harus berpakaian rapi, memakai jas, bersepatu ...."

"Pantas saja."

Panca dan Bajra kecewa ketika selesai membaca syarat-syarat untuk masuk ke dalam gedung berwarna putih itu. Sebuah gedung yang megah dengan pilar-pilar terpasang di lobi, memberi kesan jika Perpustakaan Kota bukanlah tempat umum yang boleh dimasuki oleh sembarang orang. Terlebih, Panca dan Bajra yang datang ke sana tanpa alas kaki dan berpakaian lusuh.

Kedua anak remaja itu pergi meninggalkan gedung dengan langkah gontai. Mereka menuju pedati yang terparkir di seberang jalan.

Ternyata seorang polisi patroli sudah menunggu mereka. Polisi itu berdiri dekat si sapi yang berteduh di bawah pohon.

"Ini milik kalian?"

"Ya, Tuan Polisi. Ini pedati milik kami."

"Segera pergi! Pedati tidak boleh melewati tempat ini?"

"Kenapa, Tuan?"

"Kau malah bertanya. Ikuti saja perintahku!"

Panca menatap tajam polisi berseragam biru gelap itu. Tentu saja wajah polisi itu menjadi terlihat lebih sangar ketika seorang remaja terlihat menantang dirinya.

"Apa maksudmu menatapku begitu? Kau tidak sadar siapa dirimu?"

Andaikan kulit si polisi lebih terang, mungkin wajahnya akan terlihat memerah. Tapi warna cokelat kulitnya tidak bisa memperlihatkan perubahan warna ketika dia marah.

"Pergi!"

Polisi itu mulai mengacungkan pentungan di tangan kanannya.

"Jangan dulu!" Ternyata ada seseorang yang menyanggah.

Orang itu datang tiba-tiba dengan berkuda. Seekor kuda hitam kecokelatan atau kuda cokelat kehitaman, sama saja. Hal yang tampak, kuda itu terlihat sehat dan gagah. Tubuhnya tinggi besar tidak seperti kuda yang dimiliki Panca di desanya.

"Tuan," Panca dan Bajra bicara serentak.

Laki-laki itu turun dari pelana. Sambil memberi pengertian pada si polisi. Tampak sekali polisi itu keberatan. Dia memberikan alasan kenapa pedati tidak boleh terparkir di sana. Namun, urusan cepat selesai ketika laki-laki penunggang kuda itu memberikan lembaran uang kertas yang diselipkan di saku baju si polisi. Petugas berseragam itu pun pergi.

Panca dan Bajra tersenyum sinis pada situasi yang dilihatnya. Ternyata itu yang dia inginkan.

"Sedang apa kalian di sini? Bukankah biasanya kalian masih di pasar?"

"Tuan, tadinya ingin berkunjung ke Perpustakaan Kota," Panca memberi penjelasan.

"Tapi kami tidak diperbolehkan masuk," Bajra menambahkan.

Laki-laki itu mengangkat alis. Heran kenapa ada 2 remaja pribumi tanpa alas kaki mau masuk ke perpustakaan.

"Kami ingin membaca buku itu, Tuan." Panca menatap serius orang yang berdiri di hadapannya.

Laki-laki itu tersenyum.

"Apakah Tuan juga ingin melakukan hal yang sama sehingga datang ke sini?" Bajra mencoba menerka alasan kedatangan orang itu ke tempat berkumpulnya buku-buku dan manuskrip penting milik Pemerintah Kota.

"Jujur, sebenarnya aku sudah tidak mau lagi melibatkan kalian dalam hal ini. Tapi, ternyata takdir selalu mempertemukan kita."

Panca dan Bajra saling lirik. Mereka tersenyum satu sama lain.

"Ini terlalu berbahaya bagi kalian. Aku tidak ingin ada lagi nyawa yang melayang gara-gara melibatkan ...."

"Kami paham, Tuan. Tapi, apakah Tuan melibatkan kami atau tidak, orang jahat di luar sana ... tetap akan mengintai kami berdua."

"Makanya, aku menginginkan ... kalian pergi saja. Kalian tidak usah ikut menyelidiki atau apa pun ... hal yang berkaitan dengan dendam Sophia."

Panca dan Bajra kembali saling lirik.

"Biarlah aku sendiri yang menanggung ...."

"Kami tahu, Tuan bermaksud baik. Tapi, apakah Tuan terpikir jika kami menjauh dari Tuan, justru kami lebih mudah untuk disingkirkan?"

Laki-laki itu mengangkat wajahnya. Kenapa itu tidak terpikirkan olehku.

"Kami belajar dari kejadian ... meninggalnya wanita pengasuh di Panti Asuhan."

"Ya, dia dibunuh ketika sedang sendirian."

"Apakah Tuan juga tega membiarkan kami mati ... ketika kami sedang jauh dari jangkauan anda?"

"Marta pun ... saya berpikir hal buruk tentangnya," Bajra menambahkan.

Laki-laki paruh baya di hadapannya tampak kesal. Kesal karena sulit menentukan keputusan.

"Panca ... Bajra ... ternyata kalian telah belajar banyak bagaimana caranya bernegosiasi. Baiklah, ikut denganku ke dalam Perpustakaan."

Kedua remaja itu tersenyum.

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang