19

994 186 1
                                    

Bajra masih memikirkan boneka yang dipegang Sophia. Pikirannya jadi penuh dengan begitu banyak pertanyaan.

"Sudahlah, makan saja dulu. Kita pikirkan lagi hal itu nanti."

"Saya sulit melupakan hal itu, Raden. Sampai-sampai terbawa dalam sholat," Bajra menjelaskan isi pikirannya.

"Itu kan hanya boneka biasa. Lumrah jika anak-anak punya boneka seperti itu."

"Justru itu, Raden. Karena lumrahnya boneka anak-anak itu tidak sekeras boneka milik Sophia."

"Mungkin isinya kayu," Panca menerka sekenanya.

"Bukan, lebih keras dari kayu."

"Kaca?"

"Kaca ... kaca ...."

Panca dan Bajra tidak berhenti membahas masalah boneka milik Sophia setelah mereka pulang dari penjara kota. Sepanjang jalan dia terus bertanya-tanya dalam hatinya kenapa boneka bisa begitu keras ketika dipukulkan ke tangan?

Bagi Bajra, hal sesederhana itu seakan sebuah teka-teki. Pikiran anak itu terus bergulat dengan apa yang dilihatnya beberapa saat yang lalu.

"Habiskan dahulu makananmu. Nanti kita pikirkan lagi."

Bajra mengikuti arahan Panca. Dia tahu jika makanan enak yang sedang disantapnya adalah barang langka. Jadi, dia tidak boleh menyia-nyiakan kenikmatan yang jarang didapat itu.

"Tambah lagi?"

"Tidak, Raden. Saya sudah kenyang."

"Tidak mungkin. Aku tahu seberapa banyak kau makan. Ayo tambah lagi. Jangan sungkan. Tenang, aku yang membayar semuanya."

"Hehehe ... saya jadi enak, Raden."

Bajra bisa melupakan sejenak hal yang mengganggu pikirannya. Baginya, makanan adalah obat manjur dari segala masalah yang sedang dihadapi.

"Bi, ikannya tambah lagi!"

"Aduh, Raden. Tidak usah. Saya minta ayam saja," Bajra tersenyum malu-malu.

"Alah, banyak basa-basi."

Kala itu keduanya bisa makan dengan kenyang. Sepiring nasi serta lauk berupa ikan goreng dan ayam goreng disertai lalapan dan sambal menjadi menu favorit pelanggan di warung nasi itu. Pelayan yang sopan memberikan jamuan bisa tahu apa kesukaan pelanggannya. Jika dia berbadan gempal seperti Bajra sepertinya 2 potong ayam goreng belum dirasa cukup.

Warung nasi di pinggir jalan itu ramai oleh pengunjung. Bajra pun terpaksa menggeser posisi duduknya untuk memberi ruang kepada pelanggan yang baru datang. Ada seorang nelayan yang baru pulang melaut dan seorang kuli pelabuhan yang baru selesai bekerja.

"Silakan duduk, Kang," Bajra menganggukan dagunya sebagai bentuk keramahan.

"Terima kasih, Nak."

"Kalian bukan orang sini, ya?"

"Ya, Kang. Kami hanya numpang lewat."

"Berjualan gerabah ya?"

"Ya, Kang."

Nelayan itu meletakan caping di meja. Dia pun memesan makanan sama seperti yang dipesan oleh Panca dan Bajra. Sambil menunggu, dia memulai percakapan dengan kuli pelabuhan yang duduk berseberangan.

"Ada kabar apa di Batavia? Sudah beberapa hari saya di laut. Tidak tahu perkembangan. Adakah sesuatu yang menggemparkan?"

"Ada, Kang. Gubernur Jenderal mau dibunuh!"

"Benarkah?"

"Iya, Kang.

"Siapa yang berani mencoba membunuh Gubernur Jenderal?"

"Kata koran, itu ... pengurus Panti Asuhan anak-anak Eropa."

"Pengurus panti?"

"Ah, aku juga kurang percaya. Tapi begitulah kabar yang tersebar.

"Dia kan wanita?"

"Setahuku begitu, Kang. Kok berani ya seorang wanita mencoba membunuh Gubernur Jenderal? Punya nyali juga dia."

Panca dan Bajra saling lirik. Bajra ingin sekali berkomentar, tapi Panca menggelengkan kepala. Tidak usah ikut berkomentar.

Percakapan tentang percobaan pembunuhan itu menjadi begitu hangat. Bukan hanya kuli pelabuhan dan nelayan itu saja yang berbicara, pelanggan lain pun ikut menimpali. Suasana warung nasi hampir seperti ruang sidang. Satu sama lain berusaha mengungkapkan pendapatnya. Namun, ada juga yang memilih diam tidak berkomentar seperti Panca dan Bajra.

Ketika kedua anak remaja itu mendengarkan percakapan orang-orang di warung, bisa disimpulkan jika mereka tidak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi. Hal-hal rinci tentang percobaan pembunuhan itu tidak mereka ketahui. Mungkin koran hanya memberitakan isu utama dari kasus ini. Sehingga warga hanya bisa menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi.

Makan siang telah usai. Panca dan Bajra menghampiri pemilik warung yang sedang sibuk melayani pembayaran. Ada sesuatu yang menarik perhatian anak bertubuh gempal itu.

"Bi, ini apa ya?"

"Itu permen, silakan dibuka saja kalau mau."

Bajra membuka toples yang tersaji di dekat meja kasir sederhana. Anak itu tertarik pada toples kaca berukuran tidak lebih besar dari kendi. Dari sekian banyak toples yang berjejer, Bajra tertarik toples yang paling kecil.

"Bagus ya, bentuknya menarik."

"Saya meniru toko orang-orang Eropa. Ternyata banyak yang suka."

"Dibuat dari kaca jadi terlihat apa isi di dalamnya."

Panca paham basa-basi sahabatnya itu. Dia pun merogoh saku untuk memberikan uang pembayaran gula-gula yang dibungkus kertas berwarna putih.

"Kaca ... Raden, benda ini terbuat dari kaca," Bajra melotot ke arah Panca.

Panca kurang paham. Dia mengerenyitkan dahi.

Bajra pun bicara dengan berbisik, "di dalam boneka milik Sophia ... ada benda seperti ini."

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang