Panca dan Bajra berjalan tergesa diantara manusia yang lalu-lalang. Andai saja tidak banyak orang menghalangi, mungkin mereka berdua akan berlari.
"Cepat, Raden!"
Bajra berjalan sedikit lebih cepat dari Panca. Bukan karena anak itu lebih cekatan, tetapi karena dia tidak segan untuk masuk ke dalam tenda milik pedagang. Dengan begitu, tidak banyak orang yang menghalangi langkahnya.
"Hei, anak tengil! Tidak sopan," seorang pedagang menggerutu ketika ada anak laki-laki masuk tanpa permisi.
"Maaf, Bibi. Saya terburu-buru."
Siapa pun akan marah jika ada seseorang yang tidak dikenal masuk begitu saja tanpa permisi. Tidak terkecuali wanita penjaga tenan makanan itu. Padahal, aturan di Pasar Rakyat tidak memperbolehkan pengunjung masuk ke dalam tenda pedagang kecuali diizinkan.
Bajra bisa melewati orang yang berdesakan kemudian berjalan menyusuri gang diantara deretan tenda. Mata anak remaja itu terus melihat ke depan, tertuju pada sesuatu yang menarik perhatian.
Baru saja aku melihat dia di sini. Sekarang ke mana?
Langkah Bajra terhenti setelah dia kehilangan jejak. Tidak ada lagi tanda-tanda orang yang dicari itu menampakan diri. Bajunya, topi atau apa pun yang menjadi ciri sosok itu kini tidak terlihat lagi.
"Kau menemukannya, Bajra?" Panca tiba kemudian menyusul Bajra.
"Tidak ada, Raden. Dia menghilang."
"Mungkinkah dia sudah tahu kalau kita sedang mencarinya?"
"Entahlah. Mungkin begitu."
Panca menepuk punggung sahabatnya itu kemudian berjalan melawan arah orang-orang yang lalu lalang. Cara mereka demikian memperlambat dalam bergerak. Orang-orang tidak suka berpapasan langsung dengan orang lain karena itu akan menghalangi jalannya.
"Tunggu, sepertinya cara seperti ini hanya menghabiskan tenaga."
"Ya, saya rasa begitu, Raden."
Bajra setuju dengan pendapat Panca. Mereka pun berhenti di persimpangan gang yang menghubungkan ke berbagai wahana permainan.
"Coba kau ingat-ingat lagi, kira-kira apa yang akan dilakukan gadis itu di tempat seperti ini?"
"Entahlah, saya sulit mengingatnya jika berada di tempat ramai."
"Oh begitu, kita cari tempat yang lebih tenang."
Panca dan Bajra berjalan ke arah tenda yang agak sepi. Tenda itu diisi oleh deretan bunga yang sedang tumbuh mekar. Berderet di dalam pot berukuran sedang. Bisa dibawa dengan mudah jika pengunjung bermaksud membelinya.
"Sebentar, saya ingat-ingat dulu." Bajra memejamkan mata.
Untuk beberapa saat dia tidak bicara. Pikirannya tertuju pada naskah yang tertulis di lempengan logam untuk mencetak buku. Tadi malam, Panca, Bajra dan Tuan Adrian mengunjungi percetakan untuk mengetahui isi naskah cerita Gadis dan Raja yang Lalim. Sayang, mereka gagal untuk mengetahui kelanjutan ceritanya.
"Raden, saya bisa memperkirakan jika Sophia akan melakukan sesuatu di tempat ini."
"Ya, tapi apa itu? Bisakah kau memperkirakannya?"
Bajra melihat begitu banyak orang di tempat ini. Mereka datang dari berbagai penjuru kota bahkan dari luar kota. Dari cara mereka berpakaian, mudah diketahui darimana mereka berasal.
Orang-orang ini tampak lusuh, mereka pasti dari luar kota.
Pikiran Bajra bisa memperkirakan darimana mereka karena cara mereka berpakaian tidak menandakan jika mereka bukan warga kota. Lalu, ada segerombolan anak kecil dengan rambut dikepang. Mereka tampak senang dengan gula-gula di tangan.
Permainan, mungkin mereka akan menuju wahana permainan. Anak kecil suka permainan.
Bajra tersenyum. Dia bisa memperkirakan ke mana Sophia akan pergi.
"Raden, kita ikuti rombongan anak-anak itu," Bajra memberi saran.
"Kenapa harus mengikuti mereka?"
"Anak seumur Sophia masih suka permainan."
Panca menganggukan kepala. Dia setuju dengan usulan temannya.
Tanpa mengundang kecurigaan, Panca dan Bajra mengikuti rombongan anak-anak yang berjalan menuju wahana permainan komidi putar. Kedua anak remaja itu berharap bisa menemukan Sophia di sana.
"Hei, kau mau naik komidi putar?" seorang penjaga wahana memberikan tawaran.
Penjaga wahana itu memakai topi bundar bewarna merah. Begitu kontras dengan para pria dewasa yang terbiasa menggunakan topi warna gelap. Dia pun mengenakan jas merah dengan garis kuning sebagai pemanis. Celananya yang panjang sungguh mengundang perhatian karena merah warnanya serta garis kuning yang membujur dari pinggang hingga mata kaki.
"Tidak, Paman. Maaf."
"Oh, ayolah. Sayang jika kau melewatkannya."
Pria itu terus membujuk Panca dan Bajra untuk menerima tawarannya. Dia sungguh pria yang pandai merayu. Hampir saja Bajra terkena rayuannya.
"Ingat, kita ke sini bukan untuk bersenang-senang."
Dengan segera kedua anak remaja itu pergi meninggalkan wahana komidi putar yang disesaki anak-anak. Mereka berdua berjalan menjauh.
"Tunggu, aku merasa ada yang aneh dengan orang itu?"
"Orang mana, orang yang menawarkan naik komidi putar?"
Panca menoleh ke arah tempat pria berbaju cerah itu tadi berdiri.
"Ke mana dia?"
"Entahlah, dia pergi."
Panca kembali berjalan ke arah sebaliknya. Dia mendekati komidi putar.
"Kenapa, Raden?"
"Tidakkah kau merasa dia sengaja mengalihkan perhatian kita."
"Dari apa?"
Panca melihat ke arah pintu keluar wahana komidi putar. Pintu itu hanya pagar setinggi pinggang orang dewasa. Berfungsi membatasi pengunjung dengan 'kuda-kuda tunggangan' yang berputar searah jarum jam.
"Kau benar, Raden. Laki-laki berbaju merah itu mengalihkan perhatian kita."
"Ya, ternyata Sophia ada di wahana komidi putar itu sejak kedatangan kita tadi."
Mereka melihat seseorang yang sedang dicarinya.
"Dia pergi. Sepertinya dia menyadari kedatangan kita."
"Bajra, aku merasa anak itu datang ke wahana ini bukan untuk bersenang-senang."
"Maksudnya?"
"Dia bertemu seseorang."
"Siapa?"
"Itu yang harus kita cari tahu."
Panca dan Bajra berjalan dengan langkah tergesa. Mengikuti seseorang yang sejak tadi dicarinya.
"Kira-kira Sophia akan pergi ke mana, Raden?"
Panca menggelengkan kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Dendam Sophia
Mystery / ThrillerPemenang Wattys 2022 kategori Wild Card --------------------------------- Tanpa banyak bicara lagi, sarapan pun berlangsung. Sebagaimana sarapan bersama di pagi hari, para gadis menyantap roti dan sup di sebuah mangkok yang disediakan oleh koki khus...