Panca bergegas membuka pintu gerbang tanpa penjaga. Ketika siang hari, anak-anak Panti Asuhan lebih suka berkegiatan di dalam ruangan. Tak tampak mereka bermain di pekarangan.
Langkah tergesa Panca tidak bisa terkejar oleh Bajra. Ketika Bajra menambatkan tali 2 ekor kuda tunggangan, Panca sudah ada di depan pintu utama Panti Asuhan. Dia mengetuk pintu dengan tangan kanannya.
"Permisi!"
Sudah 3 kali Panca mengetuk pintu. Namun, tidak ada seorang pun yang menyahut apalagi membukakan pintu.
"Raden, mungkin penghuni panti sedang ada di ruangan belakang."
Panca mengerti maksud Bajra.
Mereka berdua saling tatap. Bajra mengangkat bahu, tidak tahu harus melakukan apa.
Kemudian mata Panca terbelalak, sepertinya dia tahu harus melakukan apa.
"Ayo," Panca berjalan ke sisi barat gedung.
"Kita ke mana, Raden?"
"Kita cari penghuninya ke sisi lain gedung. Mungkin mereka sedang ada di pekarangan belakang."
Bajra mengerti maksud Panca. Dia mengikuti temannya itu berjalan mengitari selasar. Tampak jendela terbuka untuk memberi jalan bagi udara masuk ke dalam ruangan. Dari luar, bisa terlihat bagaimana suasana di dalam sana. Meski tidak ada seorang pun penghuni yang kebetulan ada di ruangan-ruangan besar itu.
"Tidak ada orang," Panca menyimpulkan.
"Hanya tempat tidur yang kosong."
Mereka berdua sedikit bersabar untuk mencari seseorang yang bersedia membukakan pintu untuk masuk. Atau, sekedar menyambut kedatangan mereka. Setelah pada akhirnya, ada seseorang yang bisa diajak bicara oleh kedua anak remaja itu.
"Raden, ternyata Tuan Adrian ada di sini," Bajra menghentikan langkahnya. Tangan kiri anak laki-laki itu meraih pundak Panca, "jangan diganggu."
"Ya, tampaknya Tuan Adrian sedang berbicara serius dengan Sophia."
Panca dan Bajra hanya berdiri di sudut dinding luar gedung. Mereka tidak berani menyela. Pembicaraan diantara mereka tampaknya hal yang penting.
"Kau mendengar suara mereka?" Bajra bertanya dengan berbisik.
"Kurang jelas," Panca menjawab sambil berkonsentrasi mencuri dengar.
Hanya beberapa saat saja mereka berdua berdiri di sana. Karena selanjutnya mereka harus mendekat ke bawah pohon asam. Tuan Adrian mengetahui keberadaan kedua anak remaja itu.
"Kemarilah, kalian berhak tahu masalah ini!"
Panca dan Bajra berjalan diantara deretan tanaman hias yang mewarnai pekarangan gedung itu.
"Sophia, kau mengenal mereka berdua kan?"
Sophia yang ditanya tidak menjawab. Dia hanya mengangkat alis. Ya, tentu saja aku mengenal mereka.
"Coba ceritakan pada kami, kenapa kau membakar buku itu?"
Ketika membicarakan sebuah "buku" , mata Bajra dan Panca langsung terbelalak. Mereka saling pandang.
"Benar dugaan kalian, gadis ini mendapat petunjuk untuk melakukan perbuatan keji itu dari sebuah buku. Dan, sekarang bukunya berubah menjadi setumpuk abu." Tuan Adrian menatap bekas pembakaran sebuah buku yang dilakukan oleh Sophia.
"Katakan Sophia, apa isi buku itu? Aku tak akan menyakitimu."
Tuan Adrian mencoba merayu anak gadis itu untuk bicara. Tapi, Sophia bersikukuh untuk menutup mulutnya. Anak itu malah asyik bermain ayunan dengan wajah tanpa beban. Datar.
Panca melirik Bajra, ada yang aneh dengan gadis ini. Bajra seakan mengerti kerlingan mata sahabatnya itu.
Andai saja orang yang ditanyai adalah orang dewasa, mungkin saja Tuan Adrian akan memaksanya untuk bicara. Memaksa dengan sebuah pukulan. Apabila dianggap perlu, sebuah tendangan ke ulu hati bisa dilakukan untuk memaksa orang di depannya untuk bicara.
Namun, orang yang diajak bicara hanyalah gadis berusia 10 tahun. Tuan Adrian tampak kebingungan ketika Sophia enggan untuk membeberkan isi buku itu.
"Tuan, boleh saya bicara," Panca meminta izin untuk mengatakan sesuatu.
"Iya, bagaimana kau sudah menemukan orang itu?"
Panca mendekati Tuan Adrian. Dia berbisik ke telinga laki-laki itu.
"Kami sepertinya sudah menemukan si Pembawa Pesan. Tapi, ini baru dugaan kami."
"Siapa?"
"Namanya Tuan Valentino. Apakah Tuan mengenalnya?"
"Sepertinya aku baru mendengar namanya."
"Dia membeli kebun tebu di sebelah barat Batavia. Dia pengusaha perdagangan hasil bumi."
"Baiklah, nanti aku periksa nama orang itu di Kantor Kependudukan. Mungkin dia orang baru di Batavia."
"Sepertinya, dia bukan orang baru di Batavia. Dia mengenal saya dan Bajra. Hanya saja, kami tidak mengenalnya."
"Bagaimana bisa?"
"Soalnya, wajahnya penuh bekas luka bakar. Kami tidak bisa mengenalinya."
"Luka bakar? Valentino?"
"Nama itu terdengar asing di telinga kami. Tapi, jika dugaan kami benar ... dia itu bisa jadi adalah Tuan ...."
"Valentjin."
"Tuan mengenalnya?"
"Ya, tentu saja. Dia mantan walikota Batavia, dan ayah anak ini ...."
Panca menarik wajahnya dari dekat telinga Tuan Adrian. Panca terkaget-kaget.
"Jika begitu, benar dugaan saya."
"Valentino adalah Valentjin. Dia buronan Pemerintah. Dan, anak ini membantu ayahnya membalaskan dendam ayahnya."
Masih dengan berbisik, Panca mengingatkan sesuatu, "di alun-alun kota, sedang ada ...."
"Margareth dihukum mati hari ini. Aku tahu."
"Kita harus segera menghentikannya, Tuan. Sophia, kita urus lain waktu."
Tuan Adrian setuju dengan usul Panca. Dia menghela nafas panjang.
"Hei, anak iblis! Kau juga yang membuat Margareth terseret hingga ke tiang gantungan?"
Sophia masih asyik dengan ayunannya.
"Ayo Tuan, kita pergi! Tidak ada waktu lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Dendam Sophia
Mystery / ThrillerPemenang Wattys 2022 kategori Wild Card --------------------------------- Tanpa banyak bicara lagi, sarapan pun berlangsung. Sebagaimana sarapan bersama di pagi hari, para gadis menyantap roti dan sup di sebuah mangkok yang disediakan oleh koki khus...