44

753 159 0
                                    

Panca, Bajra dan Tuan Adrian melecut kuda mereka masing-masing dengan kecepatan tinggi. Kebetulan jalanan sudah sepi sehingga lalu-lintas tidak menjadi penghalang bagi mereka.

Suara hentakan kuda beradu dengan jalanan berbatu. Tuk tak tuk tak, terdengar jelas diantara keheningan malam. Seorang polisi yang berpatroli hanya bisa menaruh curiga pada sekawanan penunggang kuda yang terkesan terburu-buru. Tanpa bisa mencegah mereka untuk tidak melakukan itu.

Setelah beberapa lama berkuda, tibalah saatnya mereka di tempat tujuan. Kuda-kuda berhenti berlari tepat di depan sebuah gedung 2 lantai dengan 2 menara di atapnya. Kuda-kuda dibiarkan menunggu di bawah lampu jalan dengan cahayanya yang temaram.

"Bagaimana, Tuan? Apakah kita langsung masuk saja?" Panca bertanya sekaligus memberi saran.

"Sebaiknya begitu."

Tuan Adrian menyetujui saran Panca.

Pintu gerbang Panti Asuhan tidak ada yang menjaga. Mereka bisa dengan mudah masuk dan tidak ada yang mencegahnya.

"Kita harus memastikan jika pengasuh itu tidak apa-apa," Bajra menegaskan kembali maksud kedatangan mereka.

"Baiklah, tapi kita tidak tahu ... di mana ruangan pengasuh?"

Bagi siapa pun, gedung itu akan dianggap begitu besar. Sejak awal dibangun untuk bisa menampung begitu banyak penghuni. Sebagai sebuah penampungan anak-anak tanpa orang tua, Panti Asuhan dibangun untuk mengantisipasi jika anak-anak yang kehilangan orang tuanya berjumlah besar.

Deretan jendela berukuran besar menjadi pertanda jika begitu banyak ruangan di sana. Sebagai orang luar, mereka yang berkunjung seharusnya masuk melalui pintu utama; kemudian para tamu harus menunggu di ruangan tamu. Namun, kali ini cara demikian bukan hal yang tepat untuk segera menemui wanita pengasuh yang dimaksud.

"Sepertinya, semua pintu terkunci dari dalam, Tuan," Panca memperkirakan.

"Makanya, kita cari pintu yang dekat dengan kamar para pengasuh," Tuan Adrian memberikan penjelasan.

Setelah berjalan beberapa saat, tibalah mereka di depan sebuah pintu dengan ukuran lebih kecil. Pintu itu terpasang di ujung koridor, diantara kamar-kamar yang berderet di kiri dan kanannya.

Tok tok tok, Tuan Adrian mengetuk pintu. Berharap ada seseorang yang membukakan pintu.

Namun, setelah berkali-kali pintu diketuk tak ada seorang pun yang membukakan pintu. Mereka bertiga kembali berembuk untuk bisa segera menemui pengasuh Panti Asuhan.

"Bagaimana, Tuan?"

"Sebentar, aku sedang berpikir."

Ketika ketiganya sedang mencari cara bagaimana bisa masuk, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak.

"Arghhhh!"

Sontak, mereka bertiga kaget.

"Sepertinya dari ruangan sebelah sana, Tuan," Bajra menunjuk sebuah jendela yang terpasang paling tepat di sudut bangunan.

Mereka bertiga pun menuju ke jendela yang dimaksud.

"Ini Adrian, siapa di dalam? Apakah anda baik-baik saja?"

Tidak ada yang menyahut.

"Hei, siapa pun itu. Ada apa gerangan? Apakah semuanya baik-baik saja?"

Suasana hening sejenak. Tidak terdengar suara apa pun.

"Tuan, apakah penghuni lain mendengar teriakan itu?" Bajra memastikan.

"Entahlah, sepertinya mereka sudah tertidur lelap."

"Kalau begitu, kita bangunkan mereka."

Dengan cekatan, Panca dan Bajra melangkah kemudian menggedor setiap jendela yang ada di sana. Berharap mereka semua terbangun.

"Bangun! Bangun!"

Tidak membutuhkan waktu lama untuk bisa membangunkan mereka. Bahkan, ada seseorang yang sengaja membuka jendela sambil mengucek mata. Dia hanya ingin melihat siapa orang yang berani membangunkannya ketika sedang terlelap tidur.

"Ada apa? Siapa kalian?"

"Ada orang berteriak di ruangan ujung gedung. Bisa kalian periksa?"

"Ujung gedung? Ruangan mencuci?"

"Mungkin. Aku tidak tahu."

Malam pun menjadi riuh rendah. Suasana yang semula hening, kini berubah menjadi malam yang berisik. Semua penghuni berkumpul di ujung koridor. Begitupula dengan Tuan Adrian, Bajra dan Panca. Ada seseorang yang membukakan pintu untuk mereka.

"Di mana pengasuh kalian?"

"Di dalam ruangan ini ...? Mungkin."

Tuan Adrian langsung menuju pintu ruangan yang dimaksud. Gerendel dibuka, kemudian didoronglah pintu berbahan kayu itu. Ruangannya gelap. Tidak ada sedikit pun cahaya menerangi.

"Pinjam lentera kalian," Tuan Adrian menengadahkan tangan.

Tampak di sana seorang wanita sedang terbaring. Dia tidak bereaksi apa pun ketika terdengar keriuhan di sana. Anak-anak Panti Asuhan berisik bahkan ada beberapa diantaranya mulai menangis ketika menyaksikan ibu pengasuh mereka terbaring. Pingsan.

Tuan Adrian berjalan mendekati wanita yang sedang terbaring tak sadarkan diri itu. Tampak darah bercampur air menggenang di lantai. Sepertinya kepalanya terbentur lantai.

"Jangan, jangan mendekat! Menjauh dari sini!"

Tentu saja semua anak menghentikan langkah mereka ketika Tuan Adrian memberi perintah demikian. Rasa penasaran mereka tidak bisa segera terobati.

"Kenapa, Tuan?"

"Apakah Ibu pengasuh baik-baik saja?"

Tuan Adrian mengangkat tangan kirinya. Tangan kanan laki-laki itu mengarahkan lentera ke arah perut si Wanita Pengasuh.

"Jangan mendekat ... ada ular berbisa ...!"


 

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang