34

876 168 0
                                    

Pedati melaju pelan. Meskipun muatan di dalamnya sudah habis, tapi kedua ekor sapi itu enggan berjalan lebih cepat. Karena mereka tahu jika perjalanan masih panjang dan akan melelahkan.

"Akhirnya, kita pulang, Raden."

"Alhamdulillah. Hanya saja ... kepulangan kita kali ini ...."

"Menyisakan masalah yang belum terselesaikan?"

"Ya."

Bajra tahu jika Panca belum segenap hatinya rela meninggalkan Batavia. Eksekusi mati Nyonya Margareth kemarin siang masih terngiang-ngiang dalam pikiran Panca. Bagi dia, menyaksikan kejadian itu sungguh membekas di pikirannya.

"Baru pertama kali saya melihat orang dihukum gantung. Ternyata mengerikan, ya." Bajra bergidik ketika teringat kejadian itu.

"Menyaksikan tubuhnya yang menggelepar membuatku sulit makan dan sulit tidur."

"Kalau aku, sulit makan sih tidak. Kalau sulit tidur, ya."

"Ah, kau kapan sulit makan? Makanan apa pun kau lahap."

"Hehehe, sedang sakit pun saya tetap banyak makan."

Panca menggelengkan kepala memperhatikan kelakuan sahabatnya itu. Sungguh kelakuan yang mengherankan. Sepertinya Bajra terlahir untuk jago makan. Lidahnya diciptakan untuk tetap merasa nikmat makan apa pun dan dalam keadaan apa pun.

Di sela perbincangan dua sekawan itu, angin berhembus cukup pelan. Cukup untuk mengusir suhu panas yang biasa menjangkiti Batavia. Udara memang terasa sejuk ketika pedati melewati pohon-pohon besar nan rindang yang menghiasi kiri dan kanan jalan. Belum banyak kendaraan yang lalu lalang di jalan lebar itu. Sesekali kuda tunggangan melintas dengan kecepatan sedang tanpa menimbulkan kepulan debu jalanan yang berlebihan.

Begitupula kereta kuda yang berusaha menyalip pedati. Karena lebih pelan, terlalu mudah kendaraan itu disalip dari sebelah kanan.

Namun, ternyata kereta kuda itu bukan bermaksud menyalip pedati. Dua ekor kuda yang menariknya berhenti tepat di depan kedua ekor sapi yang terkaget-kaget.

"Is, is, is ... tenang. Itu hanya kereta kuda," Panca menenangkan si sapi yang melenguh.

Bajra heran dengan kelakuan kereta kuda itu. Terlihat si kusir menoleh ke belakang. Dia mengacungkan tangan kirinya, menandakan meminta untuk berhenti.

"Ada apa, Paman?"

"Berhenti. Ada yang ingin bertemu kalian!"

Panca dan Bajra saling lirik. Mereka berdua belum sempat turun dari bangku pedati. Membiarkan orang di dalam kereta kuda keluar lebih baik daripada harus terlebih dahulu menghampiri.

Pintu kereta kuda terbuka. Seseorang keluar dari sana dan turun meniti titian kereta.

Bajra sulit berpaling dari apa yang dia saksikan. Panca sangat paham kenapa itu terjadi.

"Hussh, nyebut," Panca berbisik pada sahabatnya.

Bajra tidak menghiraukan.

Seorang gadis berambut pirang berjalan mendekat. Gaun warna putih menutupi tubuhnya yang jenjang.

"Selamat siang, Raden dan ...."

"Bajra. Nama teman saya Bajra," Panca menganggukan kepala.

Gadis itu merendahkan tubuhnya sebagai bentuk penghormatan. Sungguh citra gadis yang memiliki sopan santun dan terdidik. Dia melempar senyum sambil sedikit mengangkat rok panjang yang hampir menyentuh tanah.

"Maaf jika saya mengganggu perjalanan kalian," dia bicara dalam Bahasa Melayu cukup lancar.

"Tidak apa-apa, Nona."

"Saya harus bicara dengan kalian berdua," wajahnya mulai terlihat serius dibawah topi bundar warna putih berhias pita.

"Apakah kita harus cari tempat ...?"

"Tidak usah, waktuku tidak banyak. Aku harus berangkat ke pelabuhan."

"Hendak pergi ke mana, Nona?"

"Ah, akhirnya aku harus meninggalkan Batavia, menuju Borneo."

Panca dan Bajra menganggukan kepala.

"Raden Panca, saya Marta. Saya dari Panti Asuhan."

"Iya, Nona. Saya pernah melihat anda di sana."

"Eeee ... sebelumnya saya minta maaf karena kemarin menguping pembicaraan kalian dengan Sophia."

"Tidak apa-apa."

"Ternyata ... kalian sangat penasaran dengan isi buku itu."

"Ya, Nona. Tapi Sophia tidak mau bicara."

"Saya tidak tahu kenapa kalian begitu penasaran. Hanya saja, perasaan saya mengatakan jika ini ada hubungannya dengan mendiang Nyonya Margareth, Ibu Panti."

"Ya, benar. Nona ...?"

"Saya pernah membaca buku itu. Tanpa sepengetahuan Sophia. Awalnya, saya penasaran kenapa Sophia begitu menjaga buku itu. Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan membaca buku itu."

"Buku itu hanya sebuah cerita kan? Tidak ada yang istimewa."

"Memang. Hanya sebuah kisah seorang gadis yang melawan raja yang lalim."

Panca melirik Bajra. Sahabatnya itu terlihat antusias mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Marta.

"Entahlah, semalam saya sulit tidur. Terus ada dorongan untuk bercerita apa yang saya tahu tentang buku itu. Tapi, saya tidak tahu harus berkata pada siapa. Saya tidak ingin Sophia tahu."

"Baiklah, saya dan Bajra akan mendengarkan ...."

"Tidak bisa. Ceritanya lumayan panjang."

Marta menoleh ke arah kereta kuda. Seorang pria paruh baya menganggukan kepala, meminta untuk menyudahi percakapan.

"Lalu bagaimana ...?"

"Saya sudah menulis rangkuman cerita itu di sini.  Malam tadi sungguh malam yang melelahkan."

Marta menyerahkan sebuah gulungan kertas yang diikat oleh pita berwarna merah. Panca pun menerimanya.

"Saya hanya ingin meninggalkan kota ini dengan tenang. Berharap bisa sedikit membantu kalian."

"Nona, kenapa ini tidak diserahkan kepada Tuan Adrian?"

"Saya sudah ke rumahnya, tapi beliau masih tidur."

Panca menganggukan kepala. Tangannya bermaksud membuka gulungan kertas itu tapi Marta melarangnya.

"Sebaiknya dibuka di tempat yang aman, Raden."

Panca menganggukan kepala, "terima kasih, Nona."

Marta benar-benar tidak bisa bicara lebih lama lagi. Dia langsung berjalan berpamitan dan meneruskan perjalanan.

Panca menoleh pada Bajra sambil mengangkat gulungan kertas di tangannya, "sekarang kita bisa tahu ... apalagi yang direncanakan Sophia."

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang