"Oh, benar-benar ramai pagi ini, Raden!" Bajra berteriak kegirangan.
Panca mengerti kenapa temannya itu begitu senang ketika pertama kali menyaksikan Pesta Rakyat. Sebagai orang desa, Bajra belum pernah melihat orang berkumpul seramai ini. Mata anak remaja itu terbelalak seakan menyaksikan sebuah keajaiban di depan matanya.
Panca tidak menanggapi temannya. Dia berkonsentrasi memperhatikan jalanan yang ramai oleh orang yang lalu-lalang. Pedati hakikatnya berjalan lambat, kerumunan semakin membuatnya melaju lambat.
"Kenapa kau tidak menceritakan ini padaku, Raden?"
"Ya, anggap saja ini kejutan untukmu."
Bajra tak henti-hentinya menatap deretan pedagang yang sudah berjejer menunggu pembeli. Pedagang itu sampai di sana dengan memikul barang dagangan. Beberapa diantaranya baru saja tiba. Peluh masih membasahi tubuh para laki-laki bertelanjang dada itu.
Di seberang jalan, berdiri sebuah bangunan berbahan kayu dan bambu. Bangunan itu seperti benteng di abad pertengahan. Perpaduan antara gaya Cina, Eropa dan sentuhan Jawa. Benteng dadakan itu berfungsi sebagai pintu masuk ke areal Pasar Rakyat.
"Itu bangunan apa, Raden? Tinggi sekali." Bajra menunjuk sebuah bangunan tinggi.
"Itu pagoda, semacam bangunan ala Cina."
"Untuk apa bangunan setinggi itu?"
"Mungkin untuk mengawasi pengunjung yang banyak sekali."
Bajra mengerti kenapa panitia acara itu sengaja membuat bangunan tinggi di tengah keramaian. Selain sebagai penghias, bangunan itu memiliki fungsi sebagai menara pengawas. Dibuat dari bambu ijuk sebagai atap. Terdiri dari beberapa tahap. Dimulai dari yang terbesar di dasar bangunan hingga mengerucut semakin kecil ketika mencapai puncak.
"Saya ingin mencoba naik ke sana, Raden."
"Ah, tidak bisa. Itu khusus untuk petugas keamanan."
"Padahal, sepertinya seru melihat Batavia dari ketinggian."
Panca hanya menganggukan kepala sebagai tanda setuju. Dia belum juga bisa bicara terlalu banyak karena pikirannya masih berkutat dengan 2 ekor sapi yang kebingungan dengan begitu banyaknya orang di jalanan. Sesekali si sapi berhenti melangkah karena ada orang yang menyeberang tiba-tiba.
"Ah, sepertinya kita terlambat tiba di sini, Raden."
"Ya, susah juga menemukan tempat parkir."
"Semalam kita tidur terlalu larut. Jadinya kita kesiangan."
"Mau bagaimana lagi, urusan kita semalam memaksa kita untuk mengurangi jatah tidur."
Panca masih bisa bersabar untuk segera mendapatkan tempat berteduh sekaligus parkir bagi pedati miliknya. Karena terlambat tiba, pinggir jalan sudah dipenuhi pedati milik pedagang lain. Beberapa ekor kuda pun berjejer di bawah pohon rindang untuk berteduh. Sembari menunggu tuannya berbelanja atau sekedar menikmati suasana.
"Ah, Paman. Sejak kapan di sini?" Panca bertemu dengan seseorang yang dikenalnya.
"Sebelum subuh, Raden."
"Waduh, ternyata saya sangat terlambat tiba di sini."
"Iya, Raden. Besok-besok, menginap di sini saja."
Panca tersenyum sambil menganggukan kepala. Sedangkan Bajra masih asyik melihat berbagai ornamen yang terpasang di berbagai sudut jalan.
Di Batavia, kemeriahan seperti ini hanya berlangsung sekali dalam setahun. Dalam rangka memperingati hari ulang tahun Sang Ratu, kota itu menyulap lapangan menjadi tempat keramaian yang menyajikan banyak atraksi. Mulai dari kesenian tradisional dari berbagai suku, parade militer dan tentu saja pasar "dadakan" yang menawarkan banyak sekali barang dan jajanan.
Sang Ratu memang tidak ada di Batavia. Dia berada jauh di negeri Belanda. Sebagai negeri koloni, warga Hindia Belanda diajak untuk mendekatkan diri pada ratunya meskipun belum pernah bertemu muka.
Begitu pun pagi itu, warga Batavia antusias mendatangi hari besar. Sebuah perayaan yang bisa membuat orang dari luar Batavia sengaja datang demi menikmati suasana yang jarang terjadi di kampung mereka.
"Raden, dengar ... ada pengumuman," Bajra mengingatkan kawannya.
"Pengumuman apa?"
"Datangnya dari arah sana," Bajra menunjuk ke depan.
Panca memperhatikan ke ujung jalan sebelum persimpangan. Ada seorang tentara yang berkuda sambil berteriak-teriak. Di tangannya ada pengeras suara berbahan kaleng. Bentuknya kerucut seperti nasi tumpeng.
"Coba dengar, ada apa."
"Sulit, Raden. Suaranya tenggelam karena banyaknya orang bicara dan suara musik dari dalam areal Pasar Rakyat."
Panca menganggukan kepala. Dia setuju dengan pendapat Bajra.
Suara pengumuman itu semakin lama semakin terdengar jelas. Kerumunan orang di jalanan mulai berhenti banyak bicara. Mereka memberikan perhatian pada serdadu yang berteriak-teriak dari atas pelana kuda.
"Pengumuman! Semua orang harus minggir dari jalan! Yang Mulia Gubernur Jenderal Hindia Belanda akan melewati jalan ini!"
Panca dan Bajra menganggukan kepala. Akhirnya mereka tahu pengumuman apa yang disampaikan oleh pria berseragam biru tua itu.
"Hei, pedati yang masih ada di tengah jalan, minggir!"
Panca tahu jika hanya pedati miliknya saja yang masih ada di tengah jalan. Dia merasa malu karena menjadi pusat perhatian.
"Cepat minggir! Atau, kutembak!"
Aduh, ancaman dia serius.
Bajra mulai gugup ketika serdadu itu membentaknya. Dia langsung turun ke jalan. Bermaksud menuntun si sapi untuk segera berjalan ke arah tempat yang lebih lapang. Untungnya si sapi mengerti jika majikannya sedang kesusahan.
"Raden, coba lihat ke depan!"
"Ya, aku tahu ada rombongan kereta kuda."
"Itu rombongan ...."
Panca menatap Bajra yang sedang memegang tali yang terpasang di moncong sapi.
"Sophia, Raden. Mungkin Sophia ... akan menjalankan aksinya hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Dendam Sophia
Mystery / ThrillerPemenang Wattys 2022 kategori Wild Card --------------------------------- Tanpa banyak bicara lagi, sarapan pun berlangsung. Sebagaimana sarapan bersama di pagi hari, para gadis menyantap roti dan sup di sebuah mangkok yang disediakan oleh koki khus...