5

1.9K 312 0
                                    

"Tadi kau duduk di sini, sangat dekat dengan Tuan Gubernur."

"Ya, Tuan."

Kepala Pengawal menanyai Sophia di ruang makan. Mereka berdua kembali ke tempat kejadian dimana seekor kalajengking menyengat seorang pejabat negara. Sungguh hal yang memalukan bagi seorang pengawal karena tidak sanggup mengamankan acara yang dianggap penting meskipun bukan acara resmi kenegaraan.

Laki-laki itu tampak mengintimidasi seorang gadis cilik. Itu yang aku rasakan. Begitulah pikir Sophia.

Wajah lugu Sophia menyiratkan jika dia hanya sanggup menjawab setiap pertanyaan dengan kalimat-kalimat pendek. Menjawab seperlunya.

"Siapa namamu, aku lupa?"

"Sophia, Tuan."

"Sebuah nama yang bagus. Siapa yang  memberi nama itu?"

"Ayah dan ibu saya, Tuan."

"Oh, jadi kau tinggal di Panti Asuhan tidak sejak bayi?"

"Tidak, Tuan. Baru beberapa bulan."

Kepala Pengawal menatap mata Sophia. Dia seakan sulit menerima keluguan anak itu.

"Sophia, apakah ayahmu masih hidup?"

"Tidak tahu, Tuan."

"Kapan terakhir kau bertemu?"

Sebenarnya Sophia mau menjawab pertanyaan itu. Tapi, Ibu Panti menyela pertanyaan itu.

"Maaf, Tuan. Bisakah memberi pertanyaan seputar kejadian barusan saja?"

Kepala Pengawal menatap Ibu Panti yang berdiri di depan pintu.

"Baiklah. Sophia, kenapa kau bisa tahu ada seekor kalajengking berdiri di meja?"

"Karena dia dekat dengan saya, Tuan."

"Lalu, kenapa orang lain tidak bisa melihatnya?"

"Entahlah."

"Sophia, kenapa kau mau duduk di dekat Tuan Gubernur?"

"Saya senang bisa duduk dekat dengan Tuan Gubernur."

Ibu Panti mulai gusar dengan pertanyaan Kepala Pengawal. Wanita itu merapatkan bibirnya sambil meremas-remas jemari seakan ingin melakukan sesuatu yang tak sanggup dia lakukan.

"Nyonya, apakah anda keberatan dengan pertanyaan yang saya ajukan?" Kepala Pengawal tahu kegusaran wanita yang berdiri di depan pintu.

"Oh, tidak Tuan. Saya hanya merasa anda menyudutkan anak asuh saya."

"Saya tidak bermaksud menyudutkan."

"Dari cara anda bertanya jelas terdengar menyudutkan Sophia. Tuan, dia hanya anak kecil."

"Saya hanya mencari kebenaran."

"Sepertinya anda berusaha menutupi perasaan bersalah anda dibandingkan mencari kebenaran."

"Apa maksud anda, Nyonya?"

Ibu Panti tidak mau meladeni Kepala Pengawal.  Wanita itu memalingkan muka.

Sophia sulit mengerti obrolan orang dewasa. Anak itu belum sepenuhnya paham apa yang dicari oleh Kepala Pengawal. Dia hanya mencoba membeberkan apa yang dilihatnya kala sarapan bersama Tuan Gubernur.

"Maaf, Tuan. Masih adakah pertanyaan yang akan Tuan sampaikan pada saya?"

"Ada, Sophia. Aku hanya ingin tahu, kenapa kau membawa boneka itu ke mana-mana?"

Sophia ingin menjawab pertanyaan itu, tapi lagi-lagi Ibu Panti menyela, "maaf Tuan, berhakkah Tuan untuk tahu hal demikian? Dia hanya anak kecil."

"Nyonya, aku hanya sulit mengerti kenapa ada 5 ekor kalajengking di ruang makan sebuah Panti Asuhan."

"Tuan seharusnya mencari tahu sendiri. Bukan menyudutkan anak ini!"

Ibu Panti bicara dengan suara meninggi. Nampaknya dia tahu maksud si Kepala Pengawal. Dia menanyai seorang anak kecil seperti seorang tersangka pencuri padahal seraya menutupi kesalahan para serdadu itu yang tidak sanggup melindungi tuannya.

Kepala Pengawal mendekati Ibu Panti. Langkah kakinya pelan. Tidak terdengar suara sepatu beradu. Mereka saling tatap. Sebuah keberanian seorang wanita Eropa di hadapan serdadu berkulit gelap. Seragam yang digunakan pengawal tidak bisa menekan kehormatan istimewa seorang wanita kulit putih.

"Nyonya, jika kau tidak bisa diajak bekerjasama maka aku pastikan kau akan ...."

"Apa? Ancaman apa yang akan kau berikan padaku? Penjara ... atau ... kematian? Aku tidak takut."

"Oh, kau begitu berani?"

"Karena seluruh hidupku telah aku dermakan untuk anak-anak tak berdosa ini. Mereka tidak dilindungi oleh negara atau siapa pun yang berkuasa ... dan aku akan melindunginya."

Si Kepala Pengawal menarik nafas. Dia memperhatikan kembali seisi ruangan. Dinding putih ruang makan seakan menertawakan laki-laki itu karena tidak berkutik ketika berhadapan dengan seorang wanita. Segala lencana dan tanda pangkat di seragam serdadu itu seakan tak berarti di depan wanita pengasuh anak-anak terlantar.

"Anak buahku sudah menjaga jendela begitu ketat. Pintu pun tak terjaga dari makhluk apa pun yang berani masuk. Tapi, aku masih tidak mengerti kenapa kalajengking-kalajengking itu merayap hingga berdiri di atas meja."

Kepala Pengawal menengadahkan wajah hingga matanya tertuju ke langit-langit. Tidak mungkin dia datang dari atas sana.

"Tuan, apakah Tuan masih mencaritahu dari mana asalnya binatang itu?"

"Ya, Sophia. Apakah kau tahu?"

"Tentu saja, Tuan."

"Bisa kau tunjukan?"

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang