17

1K 192 0
                                    

Kepala Pengawal berjalan meninggalkan Nyonya Margareth dengan langkah tegap. Tergesa.

"Tuan, apakah anda benar-benar akan mengundurkan diri?" asisten pimpinan pasukan pengawal istana itu bertanya dengan penasaran.

"Itu bukan urusanmu. Aku hanya ingin menyelesaikan perkara ini sebelum aku pergi dari Batavia."

"Apalagi yang harus kita selesaikan, Tuan? Wanita itu sudah ditahan dan sebentar lagi akan disidang."

Kepala Pengawal berhenti melangkah. Dia menatap orang di depannya. "Hei, apakah kau tidak merasa ada sesuatu yang janggal di sini?"

"Maksud Tuan?"

"Kau mendengar percakapanku tadi?"

"Tidak, Tuan."

Kepala Pengawal membuang sisa sigaret di tangannya. "Sejujurnya, aku ragu jika wanita itu pelaku percobaan pembunuhan ini."

"Tapi, bukti sudah mengarah padanya."

"Ya, tapi ... aku merasa ... dia bukan pelaku sebenarnya."

"Maksud, Tuan? Ada orang lain yang merencanakan ini?"

"... Wanita itu ... korban fitnah ...."

Si Asisten tampak keheranan.

"Kita salah tangkap orang."

"Apakah penyidik juga berkesimpulan demikian?"

"Tidak, mereka tetap ingin wanita itu dihukum gantung."

"Demi keadilan?"

"Bukan. Dengar ...," Kepala Pengawal bicara dengan pelan, "aku berpikir jika ini ... masalah kekuasaan. Kau tahu, kita hanya bidak catur yang dimainkan oleh penguasa di Batavia."

Asisten itu tampak kebingungan.

Kepala Pengawal berjalan semakin cepat, setengah berlari. Asistennya tampak kewalahan.

"Ayo, kita harus segera membicarakan ini dengan Tuan Gubernur!"

Para sipir yang menyaksikan tampak keheranan. Ada seorang serdadu yang tergesa meninggalkan gedung penjara nan gelap dan pengap. Seperti ada hajat yang ingin segera dipenuhi.

Mereka berdua tiba di pintu utama yang terkunci rapat dari luar. Bermaksud meninggalkan deretan pintu dengan jeruji besi yang kokoh.

Kemudian, keduanya berjalan melewati pekarangan luas dengan rumput terpelihara rapih. Terhampar hijau seperti karpet yang digelar di lapangan luas.

"Ada apa ini, berisik sekali," Kepala Pengawal bertanya pada seorang petugas jaga yang sedang berdiri di pintu gerbang.

"Ada anak-anak kecil yang ingin bertemu seorang tahanan."

"Anak-anak kecil? Darimana mereka?"

"Katanya dari Panti Asuhan."

Kepala Pengawal menengok melalui celah yang disediakan khusus. Pintu gerbang berukuran besar itu menjulang tinggi hampir sama tinggi dengan benteng yang tebal. Dibuat dari kayu dan besi dengan ketebalan jauh melebihi ketebalan pintu di gedung manapun. Ketebalannya bisa 5 kali lipat pintu sebuah istal kuda.

"Sebaiknya kalian izinkan mereka masuk."

"Tidak bisa, Tuan. Anak-anak tidak diperkenankan masuk ke dalam."

"Apakah mereka disertai orang dewasa?"

"Tidak, Tuan. Mereka datang tanpa ditemani seorang pun orang dewasa."

Kepala Pengawal meminta dibukakan pintu. Dia keluar menemui sekumpulan anak dengan pakaian rapih yang terus berteriak-teriak. Beberapa diantaranya memukul-mukul pintu walaupun mereka tahu pintu itu sulit untuk dibuka. Terlalu berat bagi tubuh kecil mereka.

"Tuan, kami mohon ... bolehkah kami bertemu dengan Ibu Panti. Kami merindukannya."

"Tidak bisa!" bentak petugas jaga.

"Hanya sebentar, Tuan."

Kepala Pengawal menemui seseorang yang telah dia kenal sebelumnya.

"Sophia," dia memanggil salah seorang diantara anak-anak yang berkerumun.

"Tuan, andalah yang telah menyeret Ibu Panti ke tempat ini."

"Tapi dia bersalah ...."

"Tidak! Ibu Panti tidak bersalah!" Sophia berteriak kencang, kemudian menangis hebat.

Tentu saja anak-anak lain menangis hebat. Mereka semua seperti paduan suara. Sophia sebagai konduktornya. Saling sahut satu sama lain. Awalnya suara tangisan mereka terdengar samar. Lama-lama terdengar jelas hingga mengundang perhatian penghuni penjara yang lainnya.

Tangisan puluhan anak-anak menggema seperti suara sekawanan serangga yang berdengung. Dinding-dinding penjara yang tinggi memantulkan suara mendengung itu.  Orang yang mendengar pun menyangka jika suara tangisan itu datang dari arah berlainan.

Ternyata, suara mereka terdengar oleh Kepala Penjara yang sedang menikmati makan siangnya. Tanpa diundang, dia berjalan menghampiri sumber suara. Laki-laki itu merasa jengkel jika penjara menjadi bising oleh para narapidana. Apalagi kebisingan itu ditimbulkan oleh suara tangisan anak-anak.

"Ada apa ini? Kenapa banyak anak-anak di sini? Kenapa tidak kalian usir?!"

Suara Kepala Penjara bisa meredakan tangisan anak-anak itu. Begitupula Sophia. Anak itu berhenti menangis. Dia berjalan mendekati laki-laki bertubuh tinggi itu. Mengiba.

"Tuan, bebaskan Ibu Panti ...!"

"Siapa Ibu Panti?"

"Maksudnya, Nyonya Margareth, Tuan," Kepala Pengawal membantu menjelaskan.

"Tidak bisa, Nak. Dia harus menjalani sidang ...."

"Aku tidak peduli!"

Kepala Penjara menatap Kepala Pengawal. "Tuan Adrian. Bagaimana ...."

"Saran, saya ... hadirkan wanita itu di sini. Setidaknya, sebelum dia dihukum gantung."

"Apa? Ibu Panti akan dihukum gantung?"

Sophia kaget dengan ancaman hukuman yang terdengar. Sontak, dia menangis keras. Tentu saja, diikuti oleh puluhan anak lainnya.

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang