12

1.5K 255 0
                                    

"Bagaimana keadaan Tuan Gubernur?"

"Beliau semakin membaik," dokter memberi harapan pada Kepala Pengawal yang selalu cemas akan keadaan tuannya.

"Syukurlah. Ternyata racun kalajengking itu tidak terlalu berbahaya ...."

"Sebenarnya berbahaya, dan bisa membawa seseorang pada kematian. Untungnya, staf Istana begitu sigap mengatasi kejadian ini."

Kepala Pengawal menghela nafas. Dia menengadahkan wajah. Menatap langi-langit.

"Saya masih sulit mengerti, Tuan Pengawal. Bagaimana bisa seekor kalajengking menyengat Tuan Gubernur. Apakah anda ada di tempat kejadian saat itu?"

"Ya, tentu saja. Makanya semua mata tertuju pada saya. Kesalahan ada di pundak saya."

"Itu pula yang membuat anda khawatir?"

"Bagaimana tidak, Tuan Dokter. Kalau terjadi hal yang lebih dari ini ... anda paham kan maksud saya ... saya bisa dibuang ke pulau seberang dan tak akan dibiarkan hidup tenang."

Dokter tahu maksud Kepala Pengawal. Dia menganggukan kepala sebagai tanda jika dia paham akan kekhawatiran orang di depannya.

"Kami memiliki dugaan jika ini ... pembunuhan terencana."

"Tapi sangat rapih?"

"Sangat, sangat rapih. Dan, sulit menentukan siapa pelakunya."

"Saya hanya bisa berdo'a yang terbaik untuk Tuan Gubernur ... dan juga untuk Anda, tentunya."

Dokter Istana merogoh saku jas. Dia memperhatikan arloji saku. Bentuknya bulat dengan rantai seperti kalung. Bagi seorang dokter, benda itu sungguh alat penting. Maka dari itu dia selalu membawanya. Kepala Pengawal tahu jika orang itu sibuk. Gelagat melihat arloji bisa dimengerti apabila seorang dokter enggan untuk diajak mengobrol terlalu lama. Dan, Kepala Pengawal mengantarkan sang dokter hingga ke pintu utama Istana.

Mereka berjalan di antara koridor yang dihiasi lukisan-lukisan para gubernur jenderal Hindia Belanda dari masa ke masa. Tembok putih dengan relief khas zaman Romawi Kuno sebagai penanda sebuah peradaban Eropa telah sampai di sebuah wilayah bernama Nusantara.

Dinding-dinding itu bisa menjadi simbol kebesaran sekaligus keangkuhan. Ditambah, langit-langit yang melengkung yang berfungsi mengumpulkan udara bisa membuat ciut seorang warga dusun. Membandingkan gubuk reyot di kampungnya dengan sebuah istana hanya membuat pusing kepala.

Setelah sampai di beranda, Kepala Pengawal menyalami sang dokter sambil membisikan sesuatu.

"Apakah anda mendengar percakapan kami tadi?"

Sang dokter tidak langsung menjawab, dia memalingkan wajah ke arah kereta kuda yang berjalan ke arahnya.

"Saya minta, anda merahasiakannya."

"Tenang, Tuan. Saya seorang dokter, terbiasa menjaga rahasia pribadi banyak orang."

"Saya harap begitu."

Kemudian, mata Kepala Pengawal menatap kereta kuda yang melaju menjauhi istana. Kereta kuda itu berbelok ke kanan setelah keluar dari gerbang.

Kini, Kepala Pengawal berdiri sendirian.

Cukup lama pria itu berdiri di sana. Memandang langit Batavia yang berawan. Awan yang menghitam walaupun bukan berarti akan segera turun hujan. Bisa saja itu hanya sekumpulan asap dari pabrik yang mulai mencemarkan udara ibu kota.

Ketika laki-laki itu berdiri di sana, ada seseorang yang menghampiri. Laki-laki yang hampir setiap hari dilihat mondar-mandir di gedung Istana.

"Selamat pagi, Tuan Kepala Pengawal."

"Selamat pagi, Tuan Kepala Staf."

"Siang nanti saya sudah menjadwalkan pertemuan Tuan dengan anggota Dewan Negara."

"Dewan Negara? Apakah ini tentang apa yang telah terjadi pada Tuan Gubernur?"

"Sepertinya begitu. Mereka hanya ingin meminta kejelasan kabar dari orang yang bertanggung jawab langsung pada keselamatan pemimpin negara."

"Aku paham. Mereka pasti akan menekanku habis-habisan."

"Dewan Negara hanya khawatir akan masa depan Hindia Belanda. Terlebih, berita tentang percobaan pembunuhan ini sudah menyebar ke seluruh Batavia, mungkin ke luar Batavia."

Kepala Pengawal kembali menghela nafas. Dia berusaha mengumpulkan tenaga untuk menghadapi para anggota dewan yang akan menanya banyak hal di depan ruang pertemuan. Setelah sekian lama berkarir di dunia militer, baru kali ini laki-laki itu harus mempertanggungjawabkan kinerjanya. Karirnya benar-benar dipertaruhkan.

"Tuan Kepala Staf, apa kemungkinan terburuk jika Dewan Negara ... maksud saya ... bisakah mereka memecat saya?"

"Secara undang-undang, mereka tidak berhak melakukan itu. Tapi, mereka akan menjadikan masalah etika sebagai alasan untuk meminta anda untuk mundur."

"Tapi, Tuan Gubernur berjanji tidak akan memecat saya."

"Dalam keadaan normal, janji itu bisa dipegang. Tapi, ini sudah menjadi berita yang menggemparkan. Dibahas di mana-mana, di koran, di klub malam bahkan di warung kopi, Tuan."

"Ah, itu kan hanya opini belaka."

"Saran saya, Tuan ...."

"Apakah itu?"

"... Ikuti saja kemauan mereka ... tidak usah melawan."

"Tapi, Dewan Negara* tidak memiliki kekuasaan mutlak."

"Memang, tapi ... uang milik mereka lebih berkuasa dibanding seorang Gubernur Jenderal ...."

Kepala Pengawal tampak lesu, dan laki-laki di depannya paham kenapa dia begitu.



-------------
* Pada masa Hindia Belanda ada lembaga bernama Dewan Hindia (Raad van Indie) bertugas mengawasi dan memberi nasehat pada Gubernur Jenderal
Untuk kemudahan, saya menggunakan istilah Dewan Negara sebagai pengganti.
(Sumber: wikipedia.org)

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang