21

1K 196 0
                                    

Kepala pengawal menjadi jabatan yang diidamkan oleh Adrian. Baginya,  berada di sisi Gubernur Jenderal hampir sepanjang hari menjadi kebanggaan tersendiri. Dia selalu berada di acara-acara penting dan bergaul dengan banyak pejabat penting di Batavia. Hal demikian menjadi bahan untuk menyombongkan diri di depan teman dan kerabatnya.

Tapi, tampaknya itu tidak akan berlangsung lama lagi. Jabatannya sebagai Kepala Pengawal akan digantikan oleh orang lain. Setidaknya dalam waktu sepekan sebelum ada penggantinya yang pantas untuk menggantikan jabatan itu.

Sore itu, bukan hanya masalah jabatan yang memberatkan pikirannya. Dia juga dihadapkan pada rasa bersalahnya karena telah menangkap orang yang salah. Ketika Nyonya Margareth diseret ke dalam penjara, Tuan Adrian begitu yakin jika wanita itu adalah orang dibalik percobaan pembunuhan pada Gubernur Jenderal. Tapi, kini dia merasa ragu jika kejadian mengerikan tempo hari adalah ulah wanita itu.

"Selamat sore, Tuan."

Ketika Tuan Adrian sedang asyik dengan pikirannya sendiri, tiba-tiba ada yang datang menghampiri. Orang itu tidak asing bagi Adrian.

"Kalian, bagaimana kalian bisa menemuiku?"

"Kami berusaha mencari, Tuan. Ternyata Tuan ada di sini."

"Ya, menikmati sore. Udara di sini terasa sejuk. Bisa membantu menenangkan pikiranku."

"Sesuai dugaan kami. Tuan biasa menghabiskan waktu di taman dekat Istana."

"Sebenarnya aku tidak menghabiskan waktu, aku masih bekerja. Hanya saja aku bekerja dengan menggunakan pikiranku."

Panca dan Bajra datang ketika Tuan Adrian sedang dipusingkan dengan masalah yang dihadapinya. Mata laki-laki itu, menatap tajam 2 orang anak remaja dengan baju lusuh dan tanpa alas kaki. Kalau kalian tidak punya hubungan dengan masalah yang kuhadapi, malas rasanya untuk meladeni.

"Kami, bermaksud menyampaikan sesuatu pada anda, Tuan."

"Apakah ada hubungannya dengan Nyonya Margareth?"

"Iya, Tuan."

Panca dan Bajra saling tatap. Kedua tangan mereka ditaruh di depan perut sebagai tanda penghormatan pada yang lebih tua, sekaligus aparat negara.

"Bukankah semua yang kalian ketahui sudah disampaikan pada penyidik Kepolisian?"

"Sudah, Tuan."

"Lalu?"

"Kami merasa ada suatu kejanggalan dalam masalah ini. Kami merasa Nyonya Margareth bukan pelaku percobaan pembunuhan pada Tuan Gubernur."

Bagaimana bisa kedua anak ini memiliki pemikiran yang sama denganku? Tuan Adrian mengubah posisi duduknya. Dia terlihat antusias mendengar ucapan Panca.

"Kejanggalan apa?"

"Kami merasa ... jika ada seseorang yang merencanakan kejadian ini ... dengan sangat rapih ...."

"Siapa?"

"Entahlah, kami tidak punya bukti. Tapi, alasan yang menjadi kesimpulan kami adalah ... Nyonya Margareth tidak pernah memesan langsung pot bunga itu."

"Ya, aku tahu itu. Pot itu dipesan oleh anak-anak panti untuk hadiah ulang tahunnya."

"Jika begitu, Nyonya Margareth tidak menyentuh pot bunga itu ketika pertama kali dipesan."

"Kalian?  Apakah kalian pantas dijadikan tersangka? Pot bunga itu dibeli dari kalian."

"Bukan. Bukan begitu maksudnya."

Sore itu tidak sepanas beberapa jam sebelumnya. Tapi, Tuan Adrian merasa kekacauan pikirannya malah bertambah. Kepalanya bertambah pusing.

"Lantas, apa? Apa yang ingin kalian bicarakan denganku?"

"Pembawa pesan, ya pembawa pesan ... yang menghubungi saya itu ... apakah dia sudah diketahui namanya."

"Belum. Dan, kami berpikir itu bukan saksi yang pantas ditanyai. Lagipula susah mencari orang itu."

"Tentu susah, Tuan. Karena dia menyamar ...."

Tuan Adrian beranjak.

"Sudahlah, kau tidak usah membuat cerita yang bisa menyulitkan ...."

"Aksen bicara itu orang itu aneh, Tuan."

Tuan Adrian menoleh pada Panca dan Bajra, "maksudnya?"

"Dia berpakaian seperti orang pribumi, tapi caranya bicaranya tidak seperti orang pribumi."

Tuan Adrian mendekat ke arah Panca,  "hei, nak ... apakah itu bisa membantu untuk menggugurkan segala tuduhan pada Nyonya Margareth?"

"Setidaknya, ada petunjuk jika semua kejadian ini sebagai rencana yang rapih ... dan ada dalang di balik semua ini."

"Dalang, lalu wayangnya siapa?"

Panca menghela nafas, menoleh pada Bajra. "seseorang yang ada di Panti Asuhan ... selain Nyonya Margareth."

"Ya, tapi siapa. Di sana begitu banyak orang. Harus ada nama yang ...."

"Orang itu paling menonjol diantara semuanya."

Tuan Adrian hanya menghela nafas, "ah ... itu hanya praduga kalian saja. Sudah jelas bukti mengarah pada Nyonya Margareth. Pot bunga itu miliknya."

"Tapi, yang memesan ... anak-anak itu."

"Mereka terlalu kecil untuk terlibat hal sebesar ini!"

Tuan Adrian meninggikan nada bicaranya. Dia gusar dengan teka-teki yang datang begitu saja padanya.

"Tapi, mereka tidak terlalu bodoh ...."

"Hei, harus ada bukti. Kalian mengatakan ini karena kalian tidak ingin dituduh sebagai tersangka. Iya, kan?"

Panca terdiam. Apalagi Bajra, tidak bicara sepatah kata pun.

"Tuan, bolehkah saya bicara?" Bajra meminta izin.

Tuan Adrian menganggukan kepala.

"Tuan, apakah Tuan tahu bagaimana seekor kalajengking bisa berada di dekat Tuan Gubernur Jenderal saat sarapan pagi itu?"

"Itu yang sulit kuketahui. Aku merasa ada yang hilang dari sana."

"Saya menduga, ada seseorang yang memberitahu anak-anak itu bagaimana menaruh kalajengking di atas meja."

"Si Pembawa Pesan yang kalian curigai? Tapi, dengan apa kalajengking itu dibawa ke atas meja?"

"Toples ...."

"Toples untuk menyimpan makanan? Semua perabotan yang digunakan di atas meja sudah aku periksa. Semuanya aman."

"Tapi, tidak semua toples berada di atas meja, Tuan."

"Hei, bicaramu membingungkan."

"Maksud saya, adakah diantara anak-anak itu yang membawa toples?"

"Tidak ada. Aku pastikan itu!"

"Kalau ... toples yang dibalut oleh kain ... atau apapun itu untuk menutupi ...."

Tuan Adrian paham arah pembicaraan Bajra, "boneka! Anak itu  enggan melepaskan boneka itu dari genggamannya!"




Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang