Penjara itu sesak oleh begitu banyak pesakitan. Kepala Pengawal merasa itu menjadi tempat yang cocok untuk orang yang membuat jabatannya di ujung tanduk.
"Ini memang tempat yang cocok untukmu, pelacur!"
"Jaga ucapanmu! Kau bisa saja bicara seperti itu saat ini. Tapi, aku akan membalas semua perbuatanmu padaku!"
"Ha, kapan kau akan melakukan itu? Karena sebentar lagi kau akan mati ... di tiang gantungan."
Nyonya Margareth menatap tajam laki-laki di hadapannya. Andaikan jeruji besi tidak menjadi pembatas diantara mereka, mungkin saja wanita itu sudah mencakar wajah laki-laki berseragam biru itu. Wajahnya yang lusuh kini lebih mirip seorang nenek sihir dibandingkan seorang Ibu Panti yang senantiasa tampil rapih.
"Hei, gara-gara perbuatanmu ... aku dipecat dari jabatanku sebagai kepala pengawal."
"Tapi aku tidak pernah melakukan apa seperti yang kau tuduhkan."
"Semua penjahat tidak akan mengakui kesalahannya."
Kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Kepala Pengawal terdengar oleh penghuni sel lain. Mereka berteriak memperingatkan. Untungnya, para sipir bisa membungkam mereka entah bagaimana caranya.
Cahaya matahari masuk menyelinap ke dalam jendela berukuran kecil di dinding bagian atas. Hampir dekat dengan langit-langit. Begitu sulit dijangkau sehingga tahanan tidak bisa tahu ada apa di balik tembok kokoh nan tebal itu. Terlebih, tangan dan kaki mereka dirantai sehingga membelenggu keleluasaan untuk bergerak.
"Bagaimana rasanya tidur di tempat pengap seperti ini?"
Teng teng teng, jawaban dari pertanyaan itu ternyata bukan seuntai kalimat. Nyonya Margareth memukulkan rantai ke jeruji besi yang berdiri membatasi dirinya dengan dunia luar.
"Kau marah? Semarah itukah dirimu?"
"Andai kau ada di posisiku ...."
"Tidak akan terjadi!"
"Bisa saja. Karena penyidik bisa mencurigaimu."
"Justru mereka akan semakin yakin jika kau pelakunya. Karena kau ... punya dendam lama pada Tuan Gubernur?"
Nyonya Margareth terdiam.
Ruangan sel tahanan yang sempit itu semakin terasa sempit. Nyonya Margareth tidak menyangka orang di depannya akan berkata demikian.
"Hei, katakan padaku. Dendam apa yang kau simpan?"
"Oh, ternyata kau belum tahu persis. Sudahlah."
Nyonya Margareth mundur mendekat ke tembok. Dia merapat ke dinding yang lembab.
"Ah, kau sudah menghitung masa sisa hidupmu. Goresan di dinding menjadi tanda keputusasaan seorang tahanan di penjara. Sebentar lagi ... riwayatmu akan tamat."
"Tidak, tidak akan." Nyonya Margareth kembali mendekat ke jeruji. "Hakim akan membebaskanku. Tidak ada bukti atas apa yang telah kalian tuduhkan padaku!"
"Benarkah? Jika kau ingin mengajukan pembelaan silakan membela. Tapi, akal busukmu terlalu mudah untuk dibaca."
"Aku tidak pernah menyentuh pot bunga yang menjadi barang bukti itu!"
"Tapi barang itu milikmu! Semua penghuni Panti Asuhan mengatakan itu!"
"Bagaimana bisa kalian menuduhku! Pada hewan beracun itu pun aku takut."
Kepala Pengawal menghela nafas. Dia enggan mendengar pembelaan apa pun.
"Aku difitnah!"
"Oleh siapa? Kau punya bukti?"
Nyonya Margareth tidak menjawab.
"Nyonya, desas-desus tentang masa lalumu mulai menjalar diantara para pejabat. Mereka tahu bagaimana hubunganmu dengan Tuan Gubernur ...."
"Ya, aku punya masa lalu yang buruk dengan dia. Tapi, aku berani bersumpah jika aku tak berniat jahat padanya."
"Hei, rencanamu memang sangat rapih. Kau menjalani prosesnya dengan seksama. Tapi sayang, kami bisa mencium kebusukanmu."
Kepala Pengawal mencoba menyalakan sebatang sigaret. Asap mengepul membumbung ke langit-langit. Kemudian kembali ke dalam sel tahanan dan ke luar melalui jendela berukuran kecil satu-satunya.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan padaku jika aku benar-benar merencanakan pembunuhan itu?"
"Aku tidak akan melakukan apa-apa. Hanya menunggumu mati di tiang gantungan."
"Kalau begitu, buat apa kau datang ke sini? Hanya membuang-buang waktumu."
"Aku hanya berpamitan padamu."
"Pamit? Siapa kau sehingga harus berpamitan padaku."
"Aku akan pergi jauh meninggalkan kota ini. Sebelum aku pergi, aku hanya ingin melihatmu menderita. Karena kau ... aku dipecat ...."
"Baguslah."
"Kau puas?"
Nyonya Margareth tidak menjawab apa-apa.
"Setidaknya, aku merasa tidak penasaran. Kenapa kau begitu bernafsu membunuh seorang Gubernur Jenderal. Mengingat kau hanya seorang pengurus sebuah panti asuhan."
"Ingin kutegaskan. Aku tidak berniat membunuhnya. Aku memang membencinya. Tapi, aku tidak sekejam itu."
"Andaikan Tuan Gubernur ... benar-benar meninggal ... kau merasa senang?"
"Tidak. Tidak juga. Aku berusaha berdamai dengannya. Walaupun itu sulit bagiku. Kejadian masa lalu itu sungguh menyayat hati."
Kepala Pengawal hanya mendengarkan sambil sesekali mengisap sigaret di tangan kanannya.
"Laki-laki itu hanya peduli pada ambisi pribadinya. Dan, dia tidak mempedulikan diriku. Padahal, aku sudah mengorbankan banyak hal untuknya."
"Kenapa kau tidak pulang saja ke Eropa? Apakah karena kau benar-benar ingin membalaskan sakit hatimu dengan tinggal di kota ini?"
"Itulah masalahnya. Aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, selain anak-anak itu. Keluargaku di Eropa sudah mengusirku sejak waktu itu."
"Sungguh malang ...."
"Tadinya aku berharap pada laki-laki itu, tapi ... dia malah memanfaatkanku. Dia tidak mencintaiku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Dendam Sophia
Mystery / ThrillerPemenang Wattys 2022 kategori Wild Card --------------------------------- Tanpa banyak bicara lagi, sarapan pun berlangsung. Sebagaimana sarapan bersama di pagi hari, para gadis menyantap roti dan sup di sebuah mangkok yang disediakan oleh koki khus...