Beberapa bulan telah berlalu ...
Seorang wanita bergaun putih sedang berdiri termangu di depan jendela sebuah toko buku. Dia tidak sedang melamunkan sesuatu atau menatap seseorang di balik jendela. Matanya jeli membaca poster iklan yang ditempel tepat di pinggir jendela.
Poster iklan itu menggunakan bahasa Belanda. Ada gambar sebuah buku di tengahnya. Nampaknya, itu poster iklan buku yang baru saja diterbitkan.
"Permisi, Nona. Ternyata anda ada di sini," Tuan Adrian menyapa wanita bergaun putih dan bertopi bundar itu.
"Maaf, apakah kita ...?"
"Ya, saya pernah berkunjung ke perpustakaan anda."
"Oh, ya saya ingat. Maaf, Tuan. Itu bukan perpustakaan milik saya. Saya hanya bekerja di sana."
Tuan Adrian menganggukan kepala.
"Apakah Tuan bermaksud membeli buku?"
"Tidak, saya tidak bermaksud membeli buku. Saya ingin menemui pemilik toko buku ini."
Tuan Adrian tersenyum, "anda sendiri ... mencari koleksi baru?"
"Ya, saya mau mengambil beberapa buku hibah dari toko ini."
"Termasuk yang tertera di poster?"
"Mungkin."
Wanita bertubuh ramping itu tersenyum. "Sepertinya ini buku bagus."
"Kuharap begitu."
Wanita itu mengangguk. Kemudian wajahnya menghadap ke dinding, kembali memperhatikan poster di dinding.
"Tuan, bukankah ... waktu itu anda mencari buku ini?"
"Ya, ternyata baru diterbitkan. Pantas saja waktu itu tidak ada di Perpustakaan Kota."
Tuan Adrian menampakan wajah kecewa ketika membicarakan buku itu. Dia menghela nafas.
Pagi itu menjadi pagi yang sejuk di depan toko. Jalanan di depannya basah karena guyuran hujan semalam. Mereka berdua terlibat percakapan akrab tentang beberapa hal. Termasuk membicarakan musim hujan yang baru saja mulai.
Wanita pengunjung toko setia dengan payung di tangannya. Sedangkan Tuan Adrian mengeluhkan sepatu kulit lembu yang dikenakannya menjadi mudah kotor.
"Oh, ternyata kalian sudah akrab."
Obrolan Tuan Adrian dengan wanita pengunjung toko terganggu oleh kedatangan seseorang. Seorang lelaki bertubuh gempal. Perutnya terlihat membuncit di balik baju ketat yang dia kenakan.
"Tuan, sepertinya kita harus bicara."
Tuan Adrian dan lelaki itu berpamitan pada wanita si pengunjung toko. Kedua lelaki itu meninggalkan si wanita dan berjalan ke arah sebuah tangga. Tangga yang mengarah pada sebuah kantor penerbitan.
"Maaf, Tuan. Gedung ini tampak sempit. Masih satu atap dengan toko buku. Seharusnya, kami memiliki gedung tersendiri."
Tuan Adrian tidak memberikan tanggapan. Matanya tertuju pada deretan meja yang terlihat kusam, kurang perawatan. Beberapa pegawai duduk di belakang meja itu sambil mengetik tanpa menghiraukan orang yang datang.
"Saya pikir, kantor ini perlu sentuhan wanita," Tuan Adrian memberi pendapat.
"Hahaha," si Direktur tertawa.
Gedung itu terasa sempit bukan karena bangunannya yang kurang luas. Namun, banyak tumpukan buku dan koran yang ditaruh begitu saja. Para pekerja di penerbitan sudah terbiasa dengan suana kerja yang serba sumpek. Pikiran orang-orang itu benar-benar berada di dimensi lain sehingga lupa jika ruang kerja mereka tidak tertata.
Tuan Adrian diajak masuk ke ruang kerja Direktur Penerbitan. Ruang kerja yang dipenuhi buku. Seperti sebuah perpustakaan pribadi dibanding kantor sebuah penerbitan. Tanpa hiasan di dinding karena dindingnya habis dihiasi oleh rak buku bertingkat hingga menyentuh langit-langit.
"Tuan, Penerbit Batavia sudah memanfaatkan keadaan berkabung ini untuk meraih keuntungan," Tuan Adrian langsung membuka wacana.
"Anda melontarkan sebuah tuduhan tak berdasar Tuan Adrian."
"Kau sendiri tahu jika buku yang baru saja kau terbitkan persis sama dengan kejadian yang menimpa mendiang Gubernur Jenderal."
"Hanya kebetulan."
"Dan, itu yang kau harapkan. Membuat rumor di koran dan majalah, kemudian orang berbondong-bondong datang ke tokomu."
"Itu hanya strategi penjualan."
"Bukan, kau sengaja menunggu bencana ini terjadi sehingga ...."
"Demi Tuhan, sebelum Gubernur Jenderal dibunuh kami sudah memulai mencetak buku itu. Jadi, aku tidak tahu bila ini benar-benar akan terjadi!"
Wajah Tuan Adrian terlihat marah. Tangannya dikepalkan di atas meja. Dia memalingkan wajah. Menatap ke jendela yang lebar.
Angin laut masuk ke dalam ruangan itu. Cukup untuk meredakan kemarahan orang di dalam ruangan. Jendela jelusi yang dibuka sengaja untuk mengusir suasana pengap di dalam ruangan sumpek milik Direktur Penerbitan.
Tampak seekor merpati terbang mendekat ke arah jendela. Hap, dia hinggap di jendela. Menatap kedua orang di dalam ruangan itu. Mata burung itu tampak berbinar. Bulat matanya bergerak-gerak mencari sarapan. Warna abu-abu bulunya semakin jelas terlihat ketika sinar matahari menerpa.
Namun, si merpati kembali terbang karena ketakutan dengan wajah Tuan Adrian yang tidak bersahabat. Dia kembali berkumpul bersama kawan-kawannya yang sedang berjejer di atap sebuah gedung.
"Kau bisa memberiku alamat penulis buku itu?"
"Oh, maaf. Ini sudah kesepakatan kami untuk merahasiakan penulisnya. Dia tidak ingin diketahui oleh khalayak."
"Kenapa? Apakah dia akan melakukan sebuah kejahatan ...."
"Bukan. Dia tidak bicara demikian. Dia kurang percaya diri dengan nama aslinya."
Tuan Adrian menghela nafas. "Sejak awal aku sudah menduga bila ini akan terjadi. Sayang, penulis itu pergi menjauh."
"Pergi?"
"Ya, katanya dia pergi ke Borneo. Entah untuk apa?"
Tuan Adrian menatap Sang Direktur, ada yang aneh dengan reaksinya ketika mendengar berita itu.
"Kenapa? Kau seperti terkejut?"
"Tidak, tidak apa-apa."
Tuan Adrian berdiri, dia hendak berpamitan.
"Sudahlah, rasanya sia-sia bicara denganmu. Kau tidak mau memberitahu apa yang ingin kutahu."
"Maaf, ini kode etik. Aku menjaga itu."
"Ya, tapi bila kau terbukti bersekongkol, aku tidak segan-segan menyeretmu ke penjara ...."
"Tuan, tolong jangan lakukan itu."
"Kalau begitu, katakan padaku ... Siapa penulis buku itu dan dimana alamatnya?"
Si Direktur terdiam. Bola matanya menghindar bertatapan langsung dengan laki-laki di hadapannya.
"Kalau aku memberitahumu, apa yang akan kau lakukan?"
Tuan Adrian terdiam sejenak. "Aku akan memperkarakannya di Pengadilan!"
"Ha, sejauh itukah rencanamu?"
"Ya."
"Tapi, tegakah kau akan melakukan itu pada anak kecil?"
Tuan Adrian terheran-heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Dendam Sophia
Mystery / ThrillerPemenang Wattys 2022 kategori Wild Card --------------------------------- Tanpa banyak bicara lagi, sarapan pun berlangsung. Sebagaimana sarapan bersama di pagi hari, para gadis menyantap roti dan sup di sebuah mangkok yang disediakan oleh koki khus...