Panca dan Bajra hanya menatap matahari yang terus memancarkan sinarnya. Masih pagi, tapi Batavia terasa panas. Itulah yang dikeluhkan kedua anak remaja itu.
"Raden, apakah Batavia selalu sepanas ini?"
"Tidak juga, hanya saja pagi panas lebih dahulu menghampiri," Panca menjelaskan pada Bajra.
"Kalau di Desa Pujasari, udara pagi begitu sejuk rasanya. Lalu kenapa di sini panas ya?"
"Di sana kan lereng gunung. Sedangkan Batavia dataran rendah yang dekat dengan laut."
Bajra tidak sesering Panca bepergian ke Batavia. Sesekali saja Bajra ikut berdagang gerabah bersama Panca. Menjajakan barang buatan desa mereka kepada pelanggan setia atau pelanggan baru. Sebuah kebiasaan yang sudah dilakukan oleh orang tua kedua remaja itu sejak lama.
"Nanti juga kau terbiasa dengan udara di sini," Panca memaklumi keluhan dari sahabatnya.
"Mungkin begitu."
"Lagipula tubuhmu gempal, menyimpan banyak lemak."
"Hahaha, karena itu juga aku sering merasa gerah."
Berteduh di bawah pohon menjadi cara untuk menurunkan suhu tubuh. Sembari memandangi air kanal yang mengalir, setidaknya pandangan terasa lebih sejuk meskipun udara tidak bisa dibilang sejuk.
Ketika matahari mulai tergelincir, biasanya pembeli mulai sepi. Orang-orang di Batavia lebih suka berbelanja di pagi hari. Maka dari itu, Panca dan Bajra berpikir untuk menjajakan barang dagangan mereka dengan berkeliling. Berharap orang-orang yang sudah malas keluar rumah tertarik untuk membeli guci, kendi dan beberapa peralatan dapur berbahan tanah liat.
"Raden, bagaimana kalau kita berkeliling? Saya sudah rindu suasana kota Batavia."
"Baiklah," Panca beranjak dari bawah pohon kemudian membereskan barang dagangan yang terhampar di tanah.
"Saya bantu, Raden."
"Sudah seharusnya."
"Hehehe."
Pedati yang ditarik seekor sapi menjadi kendaraan satu-satunya yang sanggup membawa barang pecah belah yang dijajakan oleh Panca dan Bajra. Meskipun di Batavia banyak kereta kuda, tapi pedati dianggap lebih aman karena berjalan pelan. Hewan penarik seperti sapi tidak berjalan terburu-buru seperti seekor kuda.
Begitu juga kala itu si sapi yang berjalan begitu pelan menyusuri jalanan Batavia. Langkah kaki yang beradu dengan bebatuan pelapis jalanan nan keras terdengar pelan pula. Sebagai penghibur bagi kusirnya, suara kelotok di leher si sapi mengalunkan nada berirama senada dengan langkah kaki hewan pemakan rumput itu.
"Banyak yang berubah ya dari kota ini," Bajra berkomentar pada apa yang dilihatnya.
"Kau kan sudah lama tidak ikut bersamaku berdagang. Sebenarnya, perubahannya tidak tiba-tiba."
Bajra menganggukan kepala. Keheranan anak remaja itu semata karena dia lebih sering berada di desa dengan suasana yang tidak banyak berubah.
"Raden, itu apa?"
Bajra menunjuk sesuatu yang menarik perhatian. Panca pun mengarahkan pandangan pada ujung jalan dekat jembatan.
"Mungkin itu iring-iringan pejabat."
"Wah, banyak sekali pengawalnya."
Ketika Bajra terheran-heran dengan iring-iringan yang terlihat. Ternyata ada seorang serdadu mendekati pedati dengan berkuda. Serdadu itu berpakaian serba biru dengan menenteng senjata di tangan.
"Hei, hentikan pedati kalian. Minggir!"
Serdadu itu sanggup menghentikan kendaraan yang sedang berjalan di kalan raya dan memaksa mereka untuk terdiam di pinggir jalan. Begitu juga dengan pedati milik Panca. Si sapi menuruti keinginan pemiliknya ketika tali kekang ditarik.
"Kita harus menunggu, Raden?"
"Ya, meskipun iring-iringan masih jauh. Terpaksa, kita harus mengalah."
Perlahan suara hentakan kaki kuda terdengar dari kejauhan. Bukan hanya seekor kuda, ada banyak sekali kuda. Diawali dengan barisan kuda yang ditunggangi serdadu pengawal, kemudian 2 kereta kuda dengan warna gelap serta ukiran nan indah. Kereta kuda itu ditarik 4 ekor kuda putih yang dihiasi ekor bulu merak di kepalanya.
Warga yang sedang bekerja atau sekedar berjalan kaki, terhenti demi menyambut belasan ekor kuda yang melewati jalan raya. Bajra terpana ketika melihat mereka yang berseragam jas serta bertopi laken. Wajah garang terpasang tanpa senyuman tersungging.
Kini, kereta kuda itu berjalan tepat di depan Bajra dan Panca. Mereka bisa melihat cukup jelas siapa orang yang ada di dalamnya.
Ternyata dia, pantas saja pengawalannya sangat ketat. Tapi, kenapa dia terlihat tak sadarkan diri.
Panca tahu siapa orang yang ada di dalam kereta kuda itu. Tapi, Bajra tidak mengenalinya. Anak bertubuh gempal itu masih bertanya-tanya dalam hatinya. Penasaran.
Setelah iring-iringan itu menjauh, Bajra pun bertanya pada sahabatnya yang duduk bersebelahan di bangku tepat di belakang pantat sapi. Rasa penasaran yang biasa terpancar di wajah Bajra, anak yang serba ingin tahu.
"Dia Gubernur Jenderal," Panca seakan sudah tahu apa yang akan ditanyakan Bajra.
"Oh ...."
"Sepertinya dia ...."
"Sakit. Wajahnya pucat."
Panca menganggukan kepala tanda setuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Dendam Sophia
Mystery / ThrillerPemenang Wattys 2022 kategori Wild Card --------------------------------- Tanpa banyak bicara lagi, sarapan pun berlangsung. Sebagaimana sarapan bersama di pagi hari, para gadis menyantap roti dan sup di sebuah mangkok yang disediakan oleh koki khus...