45

706 156 2
                                    

"Kita terlambat, Tuan," Panca menyimpulkan.

Tampak seekor ular meliuk-liuk di tubuh wanita pengasuh itu. Warna kulitnya yang belang hitam-putih bisa membuat merinding bagi orang yang melihatnya.

Pada mulanya anak-anak menangis terisak, perlahan berubah menjadi tangisan meraung-raung. Bagaimana tidak, melihat wanita pengasuh itu dalam keadaan terbujur ditambah ada seekor ular melingkar di tubuhnya sebuah pemandangan yang menyedihkan.

Ukuran ular itu tidak terlalu besar, namun pengetahuan anak-anak tentang hewan liar cukup untuk menjelaskan bagaimana akibat yang ditimbulkan jika seseorang digigit ular. Kepala ular itu diangkat seakan ingin melawan sekumpulan manusia yang tiba-tiba saja datang tanpa diundang.

"Itu ular welang, bagaimana bisa ada makhluk itu di sini?" Bajra memberikan keterangan sekaligus terheran.

"Pasti dia masuk melalui saluran ...," seorang anak mencoba memperkirakan.

"Bukan, pasti ular itu ... dibawa seseorang ... tapi dengan apa?"

Tuan Adrian paham ke mana arah pembicaraan Bajra. Dia mengarahkan lentera ke berbagai sudut ruangan.

"Toples kaca? Siapa pemilik benda ini?"

Tuan Adrian menatap ke arah kerumunan anak-anak. Tampak wajah-wajah penuh ketakutan ketika cahaya lentera menerpa mereka. Tidak ada yang menjawab.

"Sophia, mana anak itu?"

Semua anak saling lirik. Kemudian mereka menggelengkan kepala.

Cahaya lentera kembali mengarah ke tubuh wanita pengasuh yang terbujur. Kini tidak ada lagi ular di atas tubuhnya. Tuan Adrian mengarahkan lentera ke arah sudut ruangan yang dekat dengan sumur. Ada saluran pembuangan yang menuju ke luar bangunan. Tampaknya ular itu pergi ke sana. Ekornya masih terlihat sebagian ketika mata tertuju ke arah itu.

"Bagaimana keadaan Nyonya Pengasuh, Tuan?" Bajra penasaran dengan kondisi wanita yang sedari tadi menjadi pusat perhatian.

"Sepertinya dia masih pingsan."

Tuan Adrian memangku wanita yang terbujur itu menuju kamar tidur. Seorang anak berlari memanggil polisi yang sedang berpatroli di jalan raya. Beberapa orang membawa lentera ke luar Panti Asuhan menuju rumah dokter.

Sambil menunggu wanita itu kembali siuman, Tuan Adrian berkeliling mengitari gedung. Bermaksud mencari Sophia. Di mana keberadaan anak itu?

Panca dan Bajra berusaha mencari Sophia di pekarangan. Mengitari setiap sudut halaman yang luas. Berharap Sophia ada di bawah pohon atau sedang duduk di bangku, namun gadis itu tidak ditemuinya.

"Tuan, Sophia tidak ada di luar," Panca dan Bajra memberikan laporan.

"Lalu, di mana dia?"

"Entahlah, adakah ruangan yang belum diperiksa?"

Tuan Adrian berpikir keras. Panca dan Bajra menunggu perintah selanjutnya.

"Di menara, mungkin dia sedang ada di sana."

Panca dan Bajra menganggukan kepala.

Tuan Adrian pun berlari ke arah tangga yang membawa mereka menuju ke menara. Diikuti oleh Panca dan Bajra, mereka berjalan tergesa meniti setiap anak tangga dengan lebar tidak lebih dari sejengkal tangan. Sedangkan panjangnya, hanya cukup untuk seorang manusia dewasa melewatinya.

Tangga itu gelap. Namun, setelah beberapa titian terlewati mulai terasa lebih terang oleh cahaya rembulan.

"Hei, gadis kecil. Ternyata kau di sini?"

Tuan Adrian berdiri di tepi menara. Panca dan Bajra mengikutinya di belakang.

"Bagaimana, Tuan. Apakah wanita itu sudah mati?" Begitu datar nada bicara Sophia.

"Tidak. Dia tidak akan mati."

"Bagaimana bisa anda bicara demikian, Tuan. Bisa dari ular itu akan bereaksi dalam waktu cepat. Kematiannya hanya tinggal menunggu waktu."

"Kami sedang memanggil dokter ...."

"Dokter tidak akan bisa menolong. Bisa dari racun ular itu tidak bisa disembuhkan. Tidak ada obatnya."

"Dokter punya ...."

"Tidak. Dokter tidak punya obat penawar. Saya bisa pastikan itu."

Panca dan Bajra saling lirik. Aneh sekali perangai gadis itu.

"Aku heran denganmu, Sophia. Apa yang telah merasukimu sehingga kau begitu tega melakukan ini semua?"

Sophia terdiam. Wajahnya menatap ke depan tanpa bermaksud menoleh ke arah ketiga orang di belakangnya.

"Sebentar lagi polisi datang dan akan menangkapmu."

"Lalu? Apa yang akan mereka lakukan pada saya, Tuan? Memasukan saya ke dalam penjara?"

Sophia menoleh pada Tuan Adrian, kemudian pada Panca dan Bajra.

Panca dan Bajra semakin merinding ketika melihat Sophia tersenyum. Sebuah senyuman yang penuh dengan misteri.

"Coba katakan padaku, apa alasanmu sehingga kau begitu tega membunuh wanita yang telah mengasuhmu?"

Sophia kembali memalingkan muka. Dia menatap ke arah rembulan. Kedua tangan gadis itu diangkat. Angin yang berhembus membuat rambut gadis itu bergoyang-goyang.

"Hahahahahaha!" Sophia tertawa lepas.

Panca dan Bajra mengusap pundak. Bulu kuduk mereka terasa berdiri. Setan apa yang merasuki gadis ini.

"Hei, jawab pertanyaanku. Apa alasanmu melakukan kejahatan ini?"

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang