13

1.3K 245 0
                                    

Sophia masih terlihat murung ketika anak-anak lainnya sibuk bermain. Dia duduk sendiri di beranda, memasang wajah seakan tak peduli pada suasana sekitarnya.

Bagaimana bisa mereka tetap riang ketika Ibu Panti diseret paksa oleh para pengawal Istana?

Saat hari masih pagi, biasanya anak-anak di Panti Asuhan sibuk dengan kegiatan belajar. Menulis dan membaca menjadi pelajaran utama bagi mereka. Namun, kali ini anak-anak itu dibiarkan bermain sesukanya. Demi menghilangkan kesedihan yang baru saja dialami.

"Mereka masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang telah terjadi pada Ibu Panti," Marta mendekati Sophia.

Sophia tidak memberikan reaksi apa pun.

Gadis itu sulit melupakan kejadian tempo hari ketika prajurit pengawal menyeret Ibu Panti meskipun wanita itu mencoba melawan. Anak-anak bisa melihat dari balik jendela ketika wanita itu meronta-ronta sambil terus berteriak; mengajukan pembelaan.

"Mereka masih kecil, mudah untuk dikelabui. Ketika dikatakan jika Ibu Panti hanya pergi karena ada keperluan, mereka percaya."

"Tapi aku tidak percaya," Sophia bicara masih dengan wajah murungnya.

"Karena kau, aku dan beberapa anak yang agak besar sudah mengerti apa yang telah terjadi di sini. Ibu Panti tidak sedang baik-baik saja."

"Dia dituduh sebagai pembunuh."

"Ya, aku tahu. Aku mengerti kenapa tuduhan itu ditujukan padanya. Tapi, apa yang bisa kita perbuat selain ...."

"Bisa, ada banyak hal yang bisa kita lakukan, Marta."

Marta terdiam. Dia nampak berpikir.

Memang bukan perkara mudah untuk menerima seseorang yang disebut "ibu" oleh kita ketika dia tersandung masalah hukum. Hanya anak yang belum mengerti sajalah yang masih menganggap itu hal lumrah. Tapi, tidak demikian dengan Sophia, Marta dan beberapa anak yang sudah agak besar.

Mereka seperti anak ayam yang kehilangan induknya.

Walaupun masih ada pengasuh dan juru masak, tapi kehadiran Ibu Panti di sebuah panti asuhan adalah hal yang sangat dirindukan. Sophia tahu jika wanita itu agak "galak", tapi bagaimanapun dia telah mengasuh anak-anak itu tanpa berharap imbalan.

Bangunan yang terbilang megah untuk ukuran sebuah panti asuhan, ternyata tidak menjadi jaminan kebahagiaan anak-anak penghuninya. Mereka merasakan ada sesuatu yang hilang.

"Marta, apakah kita diperbolehkan untuk menengok Ibu Panti di penjara?"

"Entahlah, kita masih kecil. Belum tentu mendapat izin untuk itu."

"Kalau diizinkan, aku ingin menyampaikan jika Ibu Panti tidak layak berada di sana. Justru para prajurit pengawal itu yang harus dijebloskan ke penjara. "

"Kenapa kau berkata begitu?"

"Karena mereka tidak becus menjaga Tuan Gubernur. Seharusnya mereka dihukum karena kesalahan mereka."

"Ya, aku setuju."

Marta memasang wajah penuh amarah. Kulit mukanya memerah. Dia sependapat dengan Sophia karena bagi mereka tidak ada bukti untuk mendukung tuduhan para prajurit pengawal itu.

Sophia menatap Marta. "Marta, apakah kau merasa jika ...."

"Jika apa?"

"Prajurit pengawal ... menuduh Ibu Panti untuk menutupi kesalahan mereka."

"Bagaimana bisa kau berpikir begitu?"

"Coba kau bayangkan, Marta. Ini seperti hal yang biasa terjadi diantara kita."

"Kau ingat, apabila ada anak yang melakukan kesalahan, misalnya memecahkan piring, maka anak yang berbuat kesalahan menuduh anak lain ...."

"Agar anak itu tidak dianggap bersalah."

"Ya, untuk menutupi kesalahan dirinya dia menjadikan orang lain sebagai tertuduh."

"Ibu Panti difitnah."

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang