7

1.8K 293 0
                                    

Panca dan Bajra kembali meneruskan perjalanan. Kedua anak remaja itu masih duduk di bangku sebuah pedati yang ditarik seekor sapi. Mereka bermaksud menjajakan barang dagangan berupa gerabah yang dibuat di Desa Pujasari.

"Raden, ternyata tidak semua jalanan di Batavia itu panas ya. Di wilayah ini terasa sejuk."

"Karena banyak pohon yang tumbuh dengan rindang. Makanya, udara di sekitarnya menjadi lebih sejuk," Panca mengemukakan alasan atas pernyataan Bajra.

"Kebetulan pohonnya sedang berbuah, andaikan aku bisa memetiknya."

"Huss, jangan. Nanti kau bisa ditangkap polisi."

Bajra tersenyum sembari melihat seorang polisi sedang berpatroli di sebuah persimpangan. Dia berdiri tepat di bawah lampu jalan yang tidak menyala. Wajah laki-laki berseragam biru itu tampak mengarah pada Panca dan Bajra. Seketika itu juga, mereka berdua tidak berani lagi banyak bicara.

Roda pedati terus berputar di antara jalanan yang dihiasi pohon-pohon. Sesekali terlihat sepasang burung tekukur yang berjalan di tanah. Sepertinya mereka mencari remahan beras yang tercecer di jalan.

Ketika sepasang tekukur itu tahu jika ada seekor sapi akan melintas, maka mereka pun terbang menjauh. Kepakan sayapnya terdengar oleh telinga Panca dan Bajra. Adegan itu mengingatkan mereka pada Desa Pujasari yang jauh di sana.

"Ternyata di Batavia juga masih ada burung tekukur," Bajra menyimpulkan.

"Masih ada, tapi tidak sebanyak di desa kita. Burung tekukur di sini banyak diburu."

"Untuk dimakan dagingnya?"

"Bukan, untuk dipelihara dalam kurungan."

"Sungguh kebiasaan yang aneh, padahal burung lebih indah dipandang jika dibiarkan terbang bebas."

Bajra memang seorang anak yang suka mengamati keadaan di sekitarnya. Dia tertarik pada banyak hal untuk memuaskan rasa keingintahuannya. Begitupula ketika melihat begitu banyak gedung yang berjejer di kiri dan kanan jalan.

"Itu bangunan apa ya?"

"Itu Panti Asuhan."

"Bangunannya bagus ya. Tidak kalah dengan bangunan sekitarnya."

"Khusus untuk anak-anak Eropa."

"Oh, pantas."

Bajra mengamati sebuah bangunan 2 lantai dengan atap tinggi bergaya Eropa. Ada 2 menara yang mengapit bangunan yang memanjang itu. Entah apa fungsi dari menara itu. Sebuah lonceng besar tergantung di atasnya.

"Siapa yang membangun panti asuhan semegah itu, ya?" Bajra masih penasaran dengan apa yang dilihatnya.

"Ah, aku tak tahu. Katanya bangunan itu sudah lama berdiri. Mungkin dibangun oleh Pemerintah."

"Aku masih penasaran dengan anak-anak yang ada di sana."

"Penasaran kenapa? Kau mau berkenalan."

"Penasaran dengan warna kulitnya."

"Ah, kau ini ada-ada saja. Tentu saja kulit mereka putih.  Mereka itu anak Eropa."

"Belum tentu, siapa tahu ada anak campuran."

Panca mengerti ke mana arah pembicaraan sahabatnya. Dia menganggukan kepala sambil terus memperhatikan si sapi yang berjalan  lenggak-lenggok. Panca paham jika keingintahuan bagi seorang Bajra adalah sumber pengetahuan. Ketika sahabatnya banyak bertanya, dengan sabar dijawabnya tanpa merasa terganggu.

Pedati terus bergerak pelan. Si sapi berjalan dan tidak akan berhenti sebelum pemiliknya menyuruh untuk berhenti. Atau, ada seseorang yang meminta mereka untuk berhenti.

"Hei, tunggu!"

Terdengar seseorang meminta pedati untuk berhenti berjalan. Suara itu datang dari arah Panti Asuhan yang baru saja menjadi bahan pembicaraan antara Panca dan Bajra.

"Alhamdulillah, akhirnya ... ada juga yang mau membeli barang dagangan kita," Bajra sumringah ketika melihat seseorang di pinggir jalan melambaikan tangan.

"Tapi, itu tentara ...."

Bukan hal lumrah seorang tentara membeli gerabah. Begitu pikir Panca sembari melirik ke arah si sapi kemudian bergantian menoleh ke arah seorang tentara yang berjalan mendekat.

"Kalian menjual gerabah?"

"Ya, Tuan."

"Bisakah kalian turun dan ikut denganku?"

"Apakah Tuan bermaksud membeli ...?"

"Tidak, aku hanya ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada kalian."

Panca saling lirik dengan Bajra. Ada apa ini?

Tentara itu mengajak Panca dan Bajra  menyusuri jalan berbatu yang membentang di sebuah pekarangan yang luas. Rumput menghampar di sana terpelihara dengan penuh ketelatenan. Di depan ketiganya, gedung Panti Asuhan yang sebelumnya dibicarakan oleh Panca dan Bajra.

Ketika dilihat lebih dekat, Bajra semakin terpana dengan keindahan gedung Panti Asuhan. Tembok putih memberi kesan bersih dan terawat ketika pertama kali melihat. Perbedaan yang mencolok dirasakan anak remaja itu bila membandingkannya dengan rumah-rumah panggung di Desa Pujasari.

"Kalian ikut ke arah sini," tentara itu menunjukan sebuah koridor yang menghubungkan dengan selasar bagian kiri bangunan itu.

"Baik, Tuan."

Tidak lama kemudian, Panca dan Bajra menyaksikan tiga orang sedang berbincang tepat di dekat taman bunga. Seorang tentara berpakaian serba biru dongker, seorang wanita berambut pirang serta seorang gadis kecil yang memeluk sebuah boneka.

"Jadi kalian yang menjual pot bunga ini?"

"Ya, Tuan. Pot bunga ini dibeli dari saya beberapa waktu yang lalu," Panca memberikan penjelasan.

"Apakah sebelumnya kalian melihat makhluk ini ada di dalamnya?" pria berseragam tentara itu menunjukan sesuatu pada Panca dan Bajra.

Panca dan Bajra saling lirik. Mengapa hewan-hewan mengerikan ini bersarang di pot bunga?

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang