64

913 168 0
                                    

Dari atas menara, Bajra bisa menyaksikan dengan jelas apa yang tengah terjadi. Orang-orang yang awalnya berkumpul kini menjauh dari panggung utama.

Gadis berkerudung merah yang sedari awal diduga Sophia, ternyata benar adanya. Bajra tidak salah perkiraan. Meskipun gadis itu menyamarkan wajahnya dengan bedak putih, namun cara dia melakukan aksinya bisa ditebak.

Bagi orang yang belum mengenalnya, apa yang dilakukan gadis sekecil itu sulit diterima nalar. Menembak seorang Gubernur Jenderal tepat di dadanya, tiga kali tembakan.

Pakaian putih yang dikenakan Sang Gubernur berubah warna menjadi merah.

Dari atas menara, Bajra masih bisa melihat jelas meskipun kadang tersamar oleh para pengawal yang mengerumuni tubuhnya. Tanah di sekitarnya berubah menjadi merah. Darah segar mengalir tanpa berhenti.

Gadis 'nekat' yang menembak Sang Gubernur telah diringkus tanpa perlawanan. Rangkaian bunga serta pistol yang semula dipegang, kini tergeletak di tanah berkerikil.

Gadis itu diamankan ke suatu tempat. Entah dibawa ke mana karena dalam waktu singkat para prajurit pengawal membawanya seperti membopong sekarung beras.

"Hahahahaha!"

Hanya tawanya yang terdengar samar   seiring tubuhnya yang semakin menjauh dari tempat kejadian. Tawa khas gadis itu.

Bajra tertunduk lesu.

Anak remaja itu memejamkan mata. Untuk beberapa saat saja.

Samar-samar masih terdengar kerumunan orang yang semakin menjauh dari arena Pasar Rakyat. Anehnya, dia mendengar suara burung gagak yang semakin mendekat.

Kemudian Bajra kembali membuka matanya.

Seekor burung gagak hinggap di atas atap panggung utama. Dimana di bawahnya sedang ada seseorang yang menggelepar meregang nyawa.

Datang lagi seekor burung berbulu hitam itu menemani kawannya. Kemudian datang seekor lagi. Tiga ekor burung gagak bersuara parau seperti mengantarkan kematian.

Koak ... koak ... koak!

Pandangan Bajra beralih ke permukaan tanah. Tidak ada lagi orang di dekat panggung utama. Kecuali seorang dokter, juga beberapa orang prajurit pengawal.

Para pengawal itu tidak merasa terganggu dengan kedatangan ketiga ekor gagak. Mata pria-pria berseragam itu lebih sibuk memperhatikan kondisi di sekitarnya.

Mata Bajra diusap oleh tangan kanannya. Mungkinkah aku salah melihat?

Dia memicingkan mata, berusaha memperjelas penglihatannya. Dari atas menara dia melihat bagaimana si dokter menangani tubuh Sang Gubernur. Dia tidak melakukan apa-apa!

Bajra terperanjat, dia mulai menyadari ada yang tidak beres.

Bajra membalikan badan. Dia berjalan tergesa menuruni tangga.

Tubuh gempal anak itu menyulitkannya untuk bisa menuruni tangga dengan cepat. Namun, dia berusaha untuk segera sampai di dasar sebelum kerumunan prajurit pengawal itu pergi.

Dalam waktu beberapa saat, Bajra bisa sampai di dasar menara. Dia menarik nafas sambil memegang lutut. Lelah.

Bajra berlari ke arah kerumunan prajurit pengawal di bawah panggung utama. Tentu saja kedatangan Bajra menarik perhatian para prajurit pengawal.

"Hei, kau mau apa?"

"Tuan, apakah Tuan ....?"

Bajra belum menyelesaikan kalimatnya. Dia dihampiri oleh seorang pengawal sambil mengacungkan senapan.

"Maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud mengganggu."

"Lantas apa maumu, pergi!"

Bajra melangkah mundur. Kedua tangannya diangkat sejajar dengan kepala.

"Saya hanya bermaksud bertanya, kenapa Tuan Gubernur ... tidak diberi penanganan?"

Prajurit pengawal itu menoleh pada teman-temannya. Mereka tersenyum.

"Tuan, Dokter. Kenapa anda diam saja. Kenapa ...?"

Prajurit itu meninggikan suaranya, "sudah kubilang, ini bukan urusanmu!"

Mata Bajra memandang ke arah sosok yang sedang terbaring. Dia tidak terlihat bergerak.

Si dokter yang sedari tadi terdiam, kini bergerak. Meraih tangan si korban. Kemudian dia mengangguk ke arah prajurit pengawal.

"Hei, kalian tidak bermaksud menolongnya! Kalian membiarkan Tuan Gubernur meninggal!"

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang