Tuan Adrian sudah resmi diberhentikan dari Kepala Pengawal Istana Gubernur Jenderal. Kini dia tidak punya pekerjaan lain selain mengisi waktu bersama keluarganya.
Bagi seorang tentara yang selalu siap siaga sepanjang waktu, bebas dari tugas dan tanggungjawab bukanlah perkara yang menyenangkan. Dia masih membutuhkan tantangan untuk dituntaskan. Kala itu, mengorek keterangan dari penghuni Panti Asuhan menjadi satu-satunya tantangan yang harus segera diselesaikan.
Walaupun, keterangan yang dibutuhkan itu tidak kunjung didapatkan.
"Tuan, apakah Tuan sudah membaca koran hari ini?" seorang wanita bertanya sambil menyodorkan secangkir kopi.
"Belum, memangnya kenapa?"
"Tadi, penjual korannya mengatakan jika orang yang mencoba membunuh Gubernur Jenderal ...."
"Akan segera dieksekusi?"
Wanita berkebaya itu menganggukan kepala.
"Aku sudah tahu, dan ... itu menjadi kegelisahanku."
Dunia tidak selalu berpihak pada Tuan Adrian. Setelah dipecat dari pekerjaanya, kini pikirannya dihantui rasa bersalah.
"Sulit bagiku untuk menyembunyikan rasa bersalah ini," tanpa ada yang bertanya tiba-tiba dia mengungkapkan isi hatinya.
"Jika Tuan memiliki cara untuk menebus rasa bersalah itu, kenapa tidak Tuan lakukan?" wanita pembantu rumah tangga itu memberikan tanggapan. Dari lantai berubin, dia bersimpuh sambil menatap wajah majikannya.
"Sudah aku lakukan. Namun belum menemukan hasilnya."
"Lantas, jika tidak ada hasilnya ... wanita itu benar-benar akan dihukum mati."
Tuan Adrian menganggukan kepala. Tangan kanannya mengambil cangkir berisi kopi hangat di meja.
Laki-laki itu menarik nafas panjang. Udara serta air hangat yang mengalir di rongga dadanya tidak sanggup mencairkan hatinya yang membeku. Keriangan suara burung gereja yang mampir ke genting rumah pun belum sanggup menghibur pikirannya.
Laki-laki itu kebingungan harus melakukan apa lagi hari itu. Setelah bangun agak siang, dia tidak punya kegiatan lain selain kembali tertidur hingga sore hari. Dia resmi menjadi pengangguran.
"Tuan, untuk mengisi waktu, mungkin Tuan bisa membaca buku. Akan saya ambilkan."
"Ya, boleh. Aku nyaris tidak punya waktu untuk melakukan itu. "
Wanita yang bersimpuh di lantai itu bangkit. Dia berjalan ke arah ruangan kerja sekaligus ruang perpustakaan Tuan Adrian. Laki-laki itu mengoleksi cukup banyak buku. Dia tahu jika berada di lingkungan Istana harus memiliki banyak pengetahuan. Dengannya, membicarakan banyak hal bersama pejabat lain menjadi lebih hidup.
Kala itu pun, dia menjalankan kembali kebiasaannya membaca. Di kursi goyang berbahan rotan, pria itu membuka beberapa halaman buku berbahasa Belanda. Bukan buku tentang politik ataupun ekonomi, membaca novel karangan penulis Hindia Belanda memberinya pencerahan.
Cukup lama pria itu tenggelam dalam imajinasinya. Menyelami setiap kata yang tercetak di atas kertas. Hingga dia tidak sadar jika seekor kucing menghampirinya, meminta dielus.
"Kau kesepian, kucing? Nasibmu sama denganku."
Si kucing tertidur di pangkuan Tuan Adrian. Mata hewan itu terpejam. Menikmati elusan tangan kekar majikannya.
Belum sempat laki-laki itu meneruskan membaca, dia mendapatkan kilatan cahaya di otaknya. Membaca sebuah buku membuatnya mendapatkan pencerahan.
Buku itu. Apa isi buku yang dibaca gadis itu?
Tuan Adrian meletakan si kucing di lantai. Dia beranjak kemudian berjalan ke arah kamar tidurnya. Pria itu jadi penuh semangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Dendam Sophia
Mystery / ThrillerPemenang Wattys 2022 kategori Wild Card --------------------------------- Tanpa banyak bicara lagi, sarapan pun berlangsung. Sebagaimana sarapan bersama di pagi hari, para gadis menyantap roti dan sup di sebuah mangkok yang disediakan oleh koki khus...