49

709 154 2
                                    

Setelah negosiasi alot dengan pustakawan, akhirnya Bajra dan Panca diperkenankan masuk. Tentu saja bersama Tuan Adrian yang memiliki hak untuk masuk ke sana. Wanita petugas perpustakaan itu masih merasa heran dengan kegigihan 2 remaja di hadapannya untuk masuk ke dalam gedung dimana tidak bisa sembarang orang bisa berkunjung.

"Nyonya, eeeuu ...."

"Nona, saya belum menikah," wanita petugas perpustakaan meralat sebutan yang disematkan oleh Tuan Adrian.

"Maaf, benarkah? Anda nampak ...."

"Tua?"

"Saya tidak berkata demikian."

Panca dan Bajra tersenyum ketika mendengar percakapan diantara Tuan Adrian dengan petugas perpustakaan. Wanita bergaun putih itu melotot ke arah mereka berdua. Dan, keduanya paham untuk segera merapatkan bibir dan diam.

"Saya hanya ingin bertanya ...."

"Langsung saja, tidak usah berbasa-basi."

Aha, aku tahu kenapa dia belum menikah. Tuan Adrian menghela nafas. "Kami hendak mencari buku tentang ... gadis dan ... raja yang lalim."

"Ada di rak paling ujung. Dekat sudut dinding yang terpasang jendela."

Wajah wanita itu tidak menatap Tuan Adrian. Dia terus menatap buku catatan berukuran besar di hadapannya.

"Baiklah, Nyonya ... Nona, maaf."

Tuan Adrian memberi kode pada Panca dan Bajra. Mereka mengikuti laki-laki itu berjalan ke arah deretan rak yang penuh dengan buku.

"Ah, pantas saja tempat ini sepi sekali. Penyambutannya sangat dingin," Bajra bergumam sambil berlalu di hadapan petugas perpustakaan.

"Aku mendengarmu," tanpa menoleh si pustakawan menyampaikan kalimat yang ditujukan pada Bajra.

Bajra terkekeh, dia hanya bisa bicara tidak lebih dari itu. Walaupun sebenarnya banyak hal yang ingin disampaikannya mengenai tempat itu. Mata Bajra melihat dinding yang kusam, pencahayaan yang kurang serta koleksi buku yang tampak berdebu.

"Di sini, agak gelap ya," Bajra tidak tahan untuk berkomentar.

"Orang-orang Eropa lebih suka membaca di bawah cahaya yang temaram. Mata mereka tidak kuat terkena cahaya yang menyilaukan, " Tuan Adrian memberi penjelasan.

Bajra menganggukan kepala. Panca pun mengerti kenapa tempat itu terasa gelap.

"Di sini, Tuan?"

"Sepertinya begitu."

Mereka bertiga berusaha mencari buku dengan judul dan tema seputar dongeng anak-anak. Ada beberapa buku yang mirip. Namun sayang, judulnya serta isinya tidak sesuai dengan yang mereka harapkan.

"Ah, mungkin ini," Bajra berujar.

Buku yang dipegang Bajra dibawa ke atas meja. Sampulnya berwarna cokelat, terbuat dari kulit rusa. Tercetak judul yang mirip dengan apa yang dimiliki Sophia.

"Pengarangnya bukan ... Valentino."

"Ya, ini orang lain."

Bajra membuka halaman pertama buku itu. Kata yang tercetak menggunakan bahasa Belanda. Hanya Bajra dan Tuan Adrian yang mengerti isinya. Panca yang tidak mengerti, hanya menyimak.

"Bukan, ini bukan tentang ... seorang gadis dan raja yang lalim."

Bajra membuka setiap lembaran buku dengan tebal hampir 500 halaman. Dia berusaha membaca dengan cepat untuk bisa menghemat waktu.

"Kita cari buku yang lain," Bajra menyarankan sambil menggelengkan kepala.

Membutuhkan waktu beberapa menit untuk bisa menemukan buku yang dimaksud. Rak demi rak dihampiri. Berharap ada benda yang bisa membuat mereka memperoleh petunjuk tentang apa yang akan dilakukan Sophia di kemudian hari.

Kekhawatiran Panca, Bajra dan Tuan Adrian sungguh beralasan. Sophia belum sepenuhnya menjalankan aksinya sebagaimana yang tertulis di dalam buku pemberian ayahnya, Tuan Valentjin. Seingat Bajra, akhir dari kisah dalam buku itu akan ada aksi yang dilakukan Sophia. Hanya saja, mereka membutuhkan perincian aksi itu sehingga bisa mencegah jatuh korban selanjutnya.

Tuan Adrian tampak mulai frustasi. Pria itu duduk di kursi yang terletak diantara meja panjang untuk pengunjung membaca. Matanya nampak lelah.

Wajah pria itu mendongak ke atas. Menatap langit-langit gedung yang tinggi. Ruangan itu sebenarnya lapang untuk sebuah tempat membaca. Dihiasi lampu yang menggantung di langit-langit meskipun tidak menyala, luasnya gedung itu sanggup membuat orang di dalamnya merasa kerdil. Luasnya ruangan di sana hanya bisa ditandingi oleh gudang atau pabrik yang banyak dibangun di sekitar pelabuhan. Bedanya, di Perpustakaan Kota tidak akan ditemui orang yang bau keringat dengan pakaiannya yang lusuh; kecuali hari itu.

"Tempat ini akan tutup, sebaiknya kalian semua keluar," sebuah kalimat yang jelas tanpa basa-basi.

"Beri kami waktu sebentar lagi, Nona." Tuan Adrian terdengar memohon.

"Maaf, Tuan. Saya juga membutuhkan waktu untuk beristirahat. Hari sudah sore."

"Hanya beberapa menit. Saya berjanji."

"Besok, kalian bisa kembali."

"Kami tidak punya waktu lagi. Hanya punya waktu saat ini."

"Sepenting itukah buku yang kalian cari?"

"Ya, tentu, Nona."

"Memangnya kalian mencari buku dengan judul apa?"

Tuan Adrian melirik Panca dan Bajra, "judulnya ... Gadis dan Raja yang Lalim."

"Pengarangnya?"

"Valentino."

"Rasanya ... buku itu tidak ada di sini. Kami tidak memilikinya."

"Benarkah? Bisakah Nona menolong ...."

"Akan saya cari di daftar koleksi. Tunggu sebentar."

Wanita itu berjalan ke arah meja kerjanya. Dia membuka buku berukuran besar. Dia mencari setiap judul yang mungkin bersesuaian dengan permintaan ketiga pengunjung perpustakaan.

"Tidak ada. Buku yang kalian maksud tidak ada."

"Benarkah? Mungkin Nona memeriksanya ... terlewat ...."

"Anda tidak percaya pada saya?"

Tuan Adrian tidak bisa bicara lagi ketika mata wanita itu menatap tajam. Meskipun tersamarkan oleh kacamata bulat, namun bola mata wanita itu seakan ingin melompat keluar dari lubangnya. Kedua tangannya ditaruh di depan dada, sambil terus berharap jika ketiga orang di hadapannya segera pergi.

Tidak bisa menolak lagi. Panca, Bajra dan Tuan Adrian berjalan ke arah pintu. Ketiganya melempar senyum pada si wanita pustakawan. Namun, wanita itu tidak membalas senyuman mereka.

Setelah di depan pintu, Bajra teringat sesuatu. Dia berhenti melangkah.

"Tuan, mungkinkah buku itu masih di percetakan?"

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang