39

797 167 7
                                    

Sophia duduk di pinggir ranjang. Gadis itu belum bisa memejamkan mata setelah berkegiatan seharian. Ketika saudaranya sudah bisa tertidur pulas, Sophia masih sulit beranjak ke alam mimpi.

Sebatang lilin hanya bisa menerangi sedikit bagian di dalam kamar yang berukuran luas. Tubuh Sophia nampak seperti siluet yang diterangi cahaya redup itu.

"Sophia, kenapa kau belum tidur?" seorang anak ternyata terbangun dan melihat kenyataan jika Sophia hanya duduk di tepi ranjang.

"Aku belum mengantuk."

"Kenapa? Adakah hal yang kau khawatirkan?"

"Tidak, tidak ada."

Gadis yang semula bertanya, kembali tertidur. Sophia memastikan gadis yang tidur di ranjang dekatnya itu sudah benar-benar tertidur. Menunggu beberapa saat sebelum Sophia melakukan sesuatu.

Kemudian, gadis dengan rambut bergelombang itu turun dari ranjang. Tanpa alas kaki, Sophia berjalan menyusuri deretan ranjang para gadis penghuni Panti Asuhan.

Sophia berjalan ke arah jendela. Melihat rembulan yang sedang bercahaya.

Tanpa ada yang menemani, anak itu berdiri termangu di depan jendela. Hanya langit malam dan suara burung hantu sesekali terdengar menyapa. Dan, Sophia tidak peduli dengan sapaan burung yang aktif di malam hari itu.

"Ini waktunya kau tidur, Sophia," wanita pengasuh berbadan gemuk itu kembali menemui Sophia.

"Saya belum mengantuk, Ibu."

"Ibu perhatikan, akhir-akhir ini kau sering melamun sendirian di depan jendela. Menatap langit."

"Saya merindukan kedua orang tua saya, Bu."

"Semua anak di sini, juga merindukan orang tuanya."

"Tidak, Bu. Mereka tidak merindukan orang tuanya. Mereka betah tinggal di sini."

"Memangnya, kau sudah tidak betah?"

"Sejak awal, aku tidak merasa betah tinggal di sini. Aku ingin pulang."

"Pulang ke mana? Rumahmu di sini."

"Tidak, Bu. Ayahku berjanji akan mengajakku pulang. Tapi, dia belum juga menjemputku pulang."

"Mungkin ayahmu sedang ...."

"Sedang apa, Bu? Dia tidak ke mana-mana. Dia ada di Batavia."

"Benarkah? Bagaimana kau tahu?"

Sophia tidak langsung menjawab pertanyaan pengasuhnya.

"Apakah dia pernah ke sini menemuimu akhir-akhir ini?"

Sophia pun tidak menjawab pertanyaan pengasuhnya untuk kedua kalinya.

Wanita pengasuh itu memeluk Sophia. Namun, Sophia menolak untuk dipeluk.

"Ibu tidak usah pura-pura menyayangiku. Saya tahu Ibu membenciku."

"Bagaimana bisa kau berpikir begitu? Aku tulus menyayangimu."

"Semua orang menuduhku karena menyebabkan Ibu Panti dihukum mati. Anak-anak telah terkena hasutan Marta karena dia pun terpengaruh oleh Kepala Pengawal itu."

"Ah, itu kan ...."

"Makanya, saya setuju jika Marta memang harus disingkirkan."

"Apa maksudmu? Marta memang sudah sejak lama akan diadopsi oleh seseorang. Makanya dia pergi."

"Tidak, Bu. Marta terlalu dalam mencampuri urusanku. Makanya dia harus enyah ...."

"Apa maksudmu? Ibu tidak paham. Bukankah kau begitu dekat dengan Marta?"

"Justru itu. Marta selalu mencampuri urusanku. Makanya ... ayahku sudah lama berencana untuk ...."

Sophia tidak meneruskan kalimatnya. Dia mulai menyadari jika terlalu banyak bicara.

"Apa maksudmu hai gadis kecil?"

"Ibu kaget dengan apa yang saya katakan? Saya hanya ingin memberi peringatan pada Ibu."

"Peringatan? Kau terdengar seperti orang ...."

"Kejam? Ya, saya memang kejam, Bu."

"Tidak, tidak, tidak. Kau jangan bercanda."

"Saya tidak bercanda, Bu. Jika nasib Ibu tidak ingin sama dengan Nyonya Margareth, maka ikuti saja saran saya. Jangan ikut campur!"

Mata Sophia menatap tajam wanita pengasuhnya. Sinar rembulan yang masuk ke sela jendela mempertegas bagaimana mata anak itu seperti mata seekor serigala yang sedang mengancam mangsanya.

"Sophia, mungkin kau sedang tidak enak badan. Maka bicaramu melantur."

"Aku tidak sedang melantur ... wanita gemuk ...," kata-kata yang terlontar dari mulut Sophia terdengar sangat kasar.

Wanita pengasuh itu mencoba memahami situasi. Dia teringat pembicaraan dengan Tuan Adrian beberapa hari lalu jika Sophia telah merencanakan sesuatu.

"Hei gadis kecil, aku tidak takut denganmu. Atau, ayahmu. Atau, siapa pun orang yang ada di belakangmu."

"Begitukah?"

"Ya, meskipun aku menyesal telah mengasuh seorang anak iblis tapi ...."

"Jaga mulutmu, wanita gemuk!"

Suara Sophia membuat anak-anak lain terbangun.

Tentu saja wanita pengasuh itu mencoba menenangkan mereka. Berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Bahkan, dia memeluk Sophia. Agar terlihat jika keadaan baik-baik saja.

"Ingat, Sophia. Kau sedang dalam pengawasanku. Jika kau macam-macam, justru nasibmu yang akan sama dengan Nyonya Margareth."

"Tidak akan, aku hanya anak kecil."

"Bukan, kau orang dewasa dalam tubuh seorang gadis kecil. Aku tahu itu. Aku tahu kau merencanakan banyak hal. Rencana jahat."

"Oh, kau sudah berani mengancam anak Valentjin."

"Aku tidak peduli kau anak siapa. Aku perempuan merdeka. Tidak ada yang bisa mengaturku. Apalagi seorang gadis ingusan sepertimu."

"Ingat, ayahku bisa saja mengeluarkanmu dari Panti Asuhan ini ...."

"Lalu, kau akan mengirimku ke penjara? Sebelum itu terjadi, maka aku akan pastikan ... kau yang terlebih dahulu masuk ke sana."

Sophia mendorong tubuh wanita di depannya yang semula memeluknya. Matanya tajam menatap. Menantang.

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang