41

739 152 1
                                    

"Baiklah, dengarkan," Tuan Adrian memulai obrolan serius bersama Panca dan Bajra, "kita baca rangkuman cerita ini dengan seksama. Kalimat per kalimat. Setelah selesai satu bagian, kita pikirkan apa maksud dari cerita ini."

"Ya, Tuan. Saya mengerti," Panca menganggukan kepala.

"Semoga ini menjadi petunjuk apa yang harus kita lakukan esok hari."

Ditemani lentera dengan cahayanya yang temaram, mereka mulai membaca lembaran kertas yang diberikan oleh Marta siang tadi. Kertas berwarna putih kekuningan, dipenuhi tulisan tangan berhuruf sambung. Bahasa Melayu yang tertera di atas kertas cukup dimengerti oleh Panca dan Bajra meskipun Marta tidak biasa menggunakan bahasa itu dalam kesehariannya.

"Tuan, perkenankan saya menuliskan rangkuman sebuah kisah yang bisa berguna bagi Tuan.

Kisah ini tentang seorang gadis kecil melawan seorang raja yang lalim. Gadis itu bernama Sophia.

Saya tidak mengerti, kenapa namanya begitu sama. Awalnya, saya pikir ini hanya kebetulan. Namun, setelah kejadian belakangan ini maka saya menyimpulkan jika ini bukan kebetulan.

Raja lalim itu bernama Van De Jong."

Sampai di sini, Bajra membaca. Anak remaja itu melirik ke arah Tuan Adrian dan Panca yang duduk berseberangan. Mereka bertiga menghela nafas.

"Adrianus Van De Jong," Tuan Adrian mengucapkan sebuah nama.

"Nama Tuan Gubernur Jenderal," Panca mengerti maksud Tuan Adrian.

"Lanjutkan!"

Bajra kembali membacakan isi kertas yang sedang dipegangnya.

"Pada suatu hari, Sang Raja mengadakan kunjungan ke panti asuhan yang terpencil di sudut kota. Raja datang bersama dengan istrinya. Mereka dikawal oleh pengawal istana.

Ada kejadian aneh di panti asuhan itu. Sang Raja disengat kalajengking.

Tuan, saya kira ini hanya kebetulan. Cerita ini mirip dengan kejadian tempo hari. Namun, saya semakin yakin jika ini pesan tersembunyi yang disampaikan kepada Sophia untuk melakukan hal yang sama pada Tuan Gubernur Jenderal.

Kejadian pada cerita itu sangat mirip dengan kejadian saat jamuan makan pagi di Panti Asuhan kami. Saya tidak akan menceritakannya di sini, karena Tuan sudah tahu bagaimana kejadiannya."

"Sebentar, jadi Marta sudah merasa ada kejanggalan pada diri Sophia," Panca berusaha memahami bagaimana jika dirinya ada dalam posisi Marta.

"Nampaknya begitu."

"Saya merasa gelisah ketika tahu ada pertalian antara kisah di buku itu dengan kejadian yang membuat Nyonya Margareth difitnah. Ya, saya yakin Nyonya Margareth tidak bersalah. Namun, tidak ada bukti untuk menyanggah itu.

Saya teruskan lagi kisahnya.

Pada suatu hari, ada pertemuan antara Sang Raja dengan gadis kecil itu. Ceritanya cukup panjang, namun saya hanya akan menyampaikan ringkasannya saja.

Sang Raja mengadakan pesta rakyat ..."

Bajra berhenti membaca. Dia melirik ke arah Tuan Adrian dan Panca.

"Kalian mendengarnya?"

"Ya, ada seseorang datang."

Tuan Adrian merapatkan telunjuk pada bibirnya. Panca dan Bajra mengangguk. Telinga mereka mendengar sesuatu yang tidak biasa.

Tuan Adrian berjalan ke arah dinding.  Ada sebuah senapan tergantung di sana. Dia pun meraih senapan itu dengan kedua tangannya. Bersiap untuk menembak siapa saja yang berani mengganggu.

Tangan kiri Tuan Adrian membuka gerendel jendela. Cukup berat jendela jelusi itu sehingga sulit untuk dibuka dengan satu tangan. Panca mencoba membantu membukakan.

Siapa di sana?

Hanya cahaya rembulan yang tampak di luar. Kepakan sayap seekor burung hantu terlihat dengan latar belakang langit malam.

Tuan Adrian menggelengkan kepala. Tidak ada siapa-siapa di luar.

Begitulah mereka menyimpulkan. Suasana pun kembali tenang. Senapan di tangan disandarkan di belakang kursi. Sambil berharap jika senapan itu tidak perlu digunakan. Tuan Adrian meminum teh yang tersaji di meja. Kemudian, laki-laki itu menyalakan sebatang sigaret.

"Mungkin tadi hanya suara kucing," Panca menyimpulkan.

"Tapi, kucing milik Tuan ada di sini sedari tadi," Bajra menyanggah seraya menunjuk seekor kucing berbulu hitam-putih yang sedang meringkuk di atas kursi.

"Mungkin kucing tetangga."

"Sudahlah, kita teruskan lagi."

Bajra menganggukan kepala. Dia kembali memperhatikan selembar kertas yang ada di depannya.

Brraakk!

Tiba-tiba saja jendela jelusi yang belum terkunci itu ada yang membuka dengan paksa. Semuanya kaget.

Sontak, semua mata tertuju ke arah jendela.

"Angkat tangan kalian!"

Tak dinyana, banyak orang berhamburan masuk ke dalam ruangan itu. Pakaian mereka seragam, baju dan celana pangsi warna hitam dengan ikat kepala dan penutup wajah berwarna senada. Jumlah komplotan lebih dari sepuluh. Dengan tangan memegang golok, semuanya nampak siap menebas leher siapa pun yang mencoba melawan.

"Jangan melawan jika ingin selamat!" salah seorang diantara mereka memberi perintah.

Tidak ada yang berani bergerak. Tuan Adrian, Panca dan Bajra semuanya terdiam. Senapan yang semula tersimpan di dekat kursi kini diambil. Penghuni rumah itu tertawan.

"Apa mau kalian?" Tuan Adrian mencoba memahami situasi.

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang