50

731 161 6
                                    

Panca, Bajra dan Tuan Adrian berjalan masuk ke dalam sebuah bangunan berukuran besar. Mereka disambut oleh seorang pria bertubuh gemuk dengan wajahnya yang bulat.

"Tuan, selamat datang di Percetakan Indies. Kami sudah menerima kabar dari penerbit jika anda membutuhkan bantuan kami."

"Terima kasih anda sudah sudi menerima kami malam-malam begini."

"Kami terbiasa bekerja larut malam, Tuan. Seperti burung hantu, di kala warga Batavia sedang terlelap tidur maka kami malah membuat kegaduhan di tempat ini, ha ha ha."

Pria gemuk itu menyalami Tuan Adrian. Kemudian melirik ke arah Panca dan Bajra.

"Oh, dia anak-anak didik saya."

Panca dan Bajra tersanjung ketika diperkenalkan sebagai anak didik. Padahal, perkenalan diantaranya ketiganya baru seumur jagung.

Kita sebut saja orang itu Mandor Percetakan. Berpakaian serba putih. Serta, berkumis pirang dengan ujungnya yang melengkung. Lengkap dengan topi ala pegawai pemerintah, berwarna putih pula.

Si Mandor Percetakan berbicara panjang lebar dengan Tuan Adrian. Tidak jelas apa yang mereka bicarakan. Suara deru mesin percetakan lebih mendominasi di gedung itu. Terlebih, suara berisik itu memantul pada dinding yang tinggi sehingga menimbulkan gema.

Panca dan Bajra lebih tertarik pada kegiatan beberapa orang pegawai yang sedang bekerja. Para pegawai mengawasi mesin yang bekerja seperti tanpa dikendalikan. Mesin raksasa itu bergerak sendiri.

Ada baling-baling besar serta roda-roda yang terdengar berdenting. Suaranya seperti logam yang dipalu. Bertalu teratur seperti gamelan yang memiliki nada.

"Tampaknya, sedang mencetak koran!" Bajra berteriak kencang.

"Iya, mungkin untuk besok pagi!"

Mereka berdua menganggukan kepala.

Deru mesin cukup memekakan telinga. Berteriak di ruangan itu harus berteriak. Pantas saja Mandor Percetakan menyambut tamunya dengan berteriak.

"Hei, ikut kami!" Tuan Adrian melambaikan tangan mengajak Panca dan Bajra.

Mereka berempat berjalan ke arah sebuah ruangan khusus. Ruangan lebih gelap dibandingkan tempat mesin-mesin cetak itu bekerja.

"Ini ruangan khusus untuk buku-buku yang belum dipasarkan," Mandor menjelaskan.

"Oh, kami merasa tersanjung bisa menyentuh buku yang masih baru dimana orang lain belum membacanya," Tuan Adrian tersenyum.

"Sepertinya anda penyuka buku, Tuan."

"Sangat, sangat suka."

Tumpukan buku dengan berbagai judul berjejer rapi diantara di atas meja. Seorang pekerja sedang memberi label pada setiap tumpukan buku.

"Untuk dikirim ke tempat berbeda."

Tuan Adrian menganggukan kepala.

"Jadi, buku ... itu ...."

"Maaf, Tuan. Buku berjudul Gadis dan Raja yang Lalim belum dicetak kembali."

"Maksudnya? Pernah dicetak di sini?"

"Ya, Tuan. Tapi, penulisnya meminta kami untuk menghentikan pencetakan untuk sementara waktu. Menunggu momen yang tepat untuk memasarkannya."

"Pantas saja, buku itu belum ada di toko."

"Ya, anda tidak akan menemuinya di toko mana pun."

Tuan Adrian menganggukan kepala. Dia menghela nafas. Kemudian melirik ke arah Panca dan Bajra.

"Tapi, apakah di sini ... masih ada ... pencetaknya?" Bajra bertanya pada si Mandor.

"Plat, plat untuk mencetak buku itu ada di sini. Tapi, ...."

Si Mandor seperti ragu untuk mengatakan sesuatu.

"Tuan, kami akan membayar untuk informasi yang anda miliki," Tuan Adrian menatap si Mandor.

Laki-laki berwajah bulat itu nampak berpikir. Dia menimbang-nimbang sesuatu dalam pikirannya. Sebelum akhirnya dia bersedia menunjukan sesuatu yang ingin diketahui oleh ketiga tamunya.

"Baiklah, ikut saya."

Keempat orang itu berjalan ke ruangan lain. Sebuah ruangan yang penuh dengan benda logam berbentuk pipih.

Si Mandor menunjukan sesuatu dengan tangan kirinya. Setumpuk lempengan logam berwarna mengkilat.

"Boleh saya pegang?" Tuan Adrian meminta izin.

Si Mandor menganggukan kepala.

Tuan Adrian menatap ke arah Bajra dan Panca. Keduanya menghampiri.

"Itu yang kalian cari?"

Semuanya menganggukan kepala. Wajah ketiganya tampak antusias.

"Coba perhatikan lempengan paling akhir ...," Bajra memberi saran.

Tuan Adrian membaca apa yang tertulis di sana. Dengan suara cukup terdengar oleh Panca dan Bajra, laki-laki itu membaca setiap lempengan yang diletakan di meja.

Bajra dan Panca menyimak. Hanya Bajra yang mengerti alur cerita dalam setiap lempengan itu. Bahasa Belanda tidak dimengerti Panca. Bajra pun masih sulit memahami beberapa kata yang baru didengarnya.

"Maaf jika aku menyela, aku sebaiknya keluar. Silakan kalian menyelesaikan urusan kalian," Si Mandor pamit undur diri.

Ketiga tamu Percetakan Indies menganggukan kepala. Mereka pun meneruskan membaca setiap lempengan yang tertulis di meja.

"Ini bahaya," Tuan Adrian tiba-tiba berkata demikian.

"Kenapa, Tuan?" Panca penasaran.

"Kalau tidak salah mengerti ... Si Gadis akan kembali melancarkan aksinya ...," Bajra menimpali.

Tuan Adrian menganggukan kepala.

"Kita harus berhati-hati pada Sophia. Mungkin dia telah memiliki rencana selanjutnya."

Mereka bertiga menganggukan kepala. Memahami apa yang akan terjadi kemudian.

"Kita lanjutkan, Tuan," Panca memberi saran.

Tuan Adrian kembali membaca kalimat demi kalimat yang tertera di lempengan logam itu. Namun, ketika sedang teliti membaca ternyata ada seseorang yang memintanya untuk keluar dari ruangan itu.

"Sebaiknya kalian keluar dari tempat ini ...!"

Oh, sialan. Ternyata orang-orang ini lagi.

"Cepat keluar atau kutembak!"

Panca dan Dendam SophiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang