Panca turun dari pedati dengan langkah tergesa. Bajra belum sempat untuk menarik tali kekang, ternyata sahabatnya sudah melompat turun dari pedati.
Panca berjalan ke arah pintu gerbang sebuah bangunan besar. Dikelilingi benteng tebal serta penjagaan yang sangat ketat, bangunan itu tampak angker. Ditambah batu yang terlihat menonjol diantara polesan semen menambah kesan kokoh.
"Hei, Nak. Apa gerangan yang membuat kau datang ke tempat ini?"
"Saya, bermaksud menjenguk Nyonya Panti, Tuan."
Seorang penjaga bertubuh tinggi serta berkumis tebal menanyai Panca hanya beberapa langkah sebelum anak itu sampai di Pos Jaga. Langkah tergesa dari Panca, terpaksa terhenti sebelum dia benar-benar bisa mendekat dengan pintu gerbang.
"Hei, kau tahu ini tempat apa, Nak?"
"Ini penjara, Tuan."
"Maksudku, ini bukan tempat untukmu, Nak. Pergilah!"
"Tapi, Tuan. Saya hanya ingin ...."
"Sekarang bukan waktu yang tepat untuk menjenguk tahanan. Lagipula kau siapa? Apa hubunganmu dengan tahanan yang kau maksud?"
"Saya Panca ...."
"Aku tak peduli. Pergi!" Prajurit Penjaga memotong kalimat sebelum anak remaja itu menyelesaikan kalimatnya.
"Tapi, Tuan ...."
"Pergi! Atau kutembak!"
Senapan laras panjang sudah diarahkan ke wajah Panca. Dan, dia terpaksa menuruti kemauan petugas jaga.
Panca pun mundur dengan perlahan. Kemudian dia membalikan badan, lalu berlari.
Bajra yang masih menunggu di bangku pedati, hanya bisa tersenyum.
"Kita cari cara lain, Raden."
"Bagaimana? Pikiranku tak bisa tenang apabila Nyonya Margareth masih mendekam di penjara."
"Nyonya Margareth? Kau mengenalnya secara pribadi?"
"Tidak, dia hanya menyebutkan namanya ketika memesan pot bunga itu tempo hari. Aku juga mengenal Sophia, dia pernah mengenalkan dirinya ketika pertama kali aku datang ke sana."
"Oh, aku pikir kau akrab dengan mereka."
"Waktu aku mengirim pot bunga itu, Sophia menyambutku di pintu gerbang. Dia yang memanggilku untuk menghampirinya."
"Jadi, bukan Nyonya Margareth yang membelinya?"
"Bukan, aku datang ke sana karena mendapat pesan dari seseorang jika Nyonya Margareth memesan sebuah pot bunga, dia minta dikirim langsung ke Panti Asuhan."
"Tunggu, lalu siapa yang membayar pot bunga itu?"
"Anak-anak Panti Asuhan."
"Tanpa sepengetahuan Nyonya Margareth?"
"Ya, dan katanya ... mereka membelikan itu untuk hadiah ulang tahun."
Bajra menatap tajam sahabatnya.
Panca menoleh, "kenapa kau menatapku begitu?"
Panca baru menyadari jika sahabatnya itu 'menangkap' sesuatu. Bajra seakan membayangkan kejadian sebagaimana yang telah diceritakan Panca. Tatapan aneh dari Bajra bisa menjadi pertanda jika anak remaja itu memikirkan sesuatu.
"Kenapa? Ada yang aneh?"
Bajra tidak segera menjawab.
"Kau memikirkan sesuatu yang tidak terpikirkan olehku?"
Bajra mengalihkan pandangan dari wajah Panca ke bangunan di depannya. Bangunan besar dengan benteng kokoh menjulang. Dijaga oleh begitu banyak serdadu bersenjata lengkap.
"Hei, kenapa malah menerawang entah ke mana ....?"
Bajra masih tidak bicara ketika Panca menanyainya tentang apa yang dipikirkannya.
"Raden, kau tahu ... saya orang desa ...."
"Aku juga, Bajra. Rumah kita bertetangga. Ke mana arah pembicaraanmu?"
Bajra seperti baru dirasuki setan yang datang entah ke mana. Dia tampak linglung.
Bagi Panca hal demikian bukanlah baru pertama kali dilihatnya. Sahabatnya itu sering terlihat seperti orang bingung ketika memikirkan sesuatu.
Bajra dikaruniai kecerdasan untuk memahami hal-hal yang tidak dimengerti oleh banyak orang. Cara dia 'menangkap' pertanda alam seperti seorang cenayang. Bagi orang yang tidak mengerti, anak itu dianggap memiliki indera keenam. Tapi, Panca melihatnya sebagai sebuah kemampuan untuk memahami pola-pola yang tersaji di alam.
Bila Bajra melihat tingkah laku hewan di alam, dia bisa menerka jika akan terjadi sesuatu seperti bencana alam. Awalnya, orang-orang di desanya sulit menerima kemampuan itu. Tapi, setelah Bajra memberikan penjelasan maka orang-orang mulai paham cara berpikirnya.
Begitupula dengan hari itu. Bajra seakan memahami pola-pola kejadian sebagaimana yang disebutkan Panca. Dan, dia bisa menerka bagaimana kejadian selanjutnya.
"Baiklah, bila kau tidak ingin bercerita ... ya tidak apa-apa. Aku hanya ingin ...." Panca menyerah untuk memaksa Bajra bicara.
"Raden ... aku tidak ingin kita terseret pada masalah yang lebih rumit."
"Ya, aku merasa demikian. Makanya aku ingin menjelaskan pada orang-orang di sana jika Nyonya Margareth tidak bersalah."
"Aku ... hanya takut, Raden."
"Takut ...."
"Takut dihukum di tiang gantungan."
"Tidak, tenang saja. Kita hanya saksi bukan tersangka."
"Justru ... bisa jadi kita berubah status menjadi tersangka."
"Bagaimana bisa?"
"Karena ... Nyonya Margareth tidak memesan pot bunga itu ...."
Panca terhenyak.
"Raden, jika Nyonya Margareth tidak memesan pot bunga itu ... berarti tersangka bisa beralih pada kita ...."
"Atau ... anak-anak Panti Asuhan itu."
"Mereka masih terlalu kecil untuk melakukan itu. Dan, pada kitalah kecurigaan para prajurit pengawal tertuju ...."
"Oh, tidak ... aku baru menyadarinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan Dendam Sophia
Mystery / ThrillerPemenang Wattys 2022 kategori Wild Card --------------------------------- Tanpa banyak bicara lagi, sarapan pun berlangsung. Sebagaimana sarapan bersama di pagi hari, para gadis menyantap roti dan sup di sebuah mangkok yang disediakan oleh koki khus...